Makassar, Jubi – Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM berat Paniai di Pengadilan Makassar berlangsung pada Kamis pekan lalu (13/10/2022), dengan terdakwa tunggal Mayor (Pur) Isak Sattu sebagai Perwira Penghubung.
Ini sidang keenam kalinya digelar, dengan total saksi 24 orang, dari unsur TNI, Polri, masyarakat sipil, dan Tim Gabungan Pencarian Fakta TNI-Polri.
Dalam sidang itu, tim Jaksa Penunut Umum menghadirkan enam orang saksi atas tragedi penembakan yang menewaskan empat orang warga pada 8 Desember 2014. Tiga orang anggota Tim Gabungan TNI-Polri Pencari Fakta (TGPF), mengungkapkan laporan mereka tak menemukan pelaku penembakan.
Ketua TGPF Komjen (Purn) Ari Dono Sukmanto, yang hadir menjadi saksi, mengungkapkan pembentukan tim investigasi itu untuk melihat unsur pidana yang terjadi pada peristiwa di lapangan Karel Gobay, Paniai Timur, pada 8 Desember 2014. Temuan tim, hanya menghasilkan rekomendasi pemeriksaan lanjutan untuk anggota TNI dan Polri.
Tahun 2015, tim investigasi ini dibentuk oleh Menko Polhukam. Ketuanya, Ari Dono yang menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri tahun 2014. Belakangan dia menjabat sebagai Wakapolri tahun 2018, dan menjadi Plt Kapolri tahun 2019. Bersama Kombes Jhon Charles Edison Nababan yang saat itu sebagai Pemeriksa Utama Provos Divpropam Polri, serta Letkol Cpm Wiryadi, yang saat itu sebagai Dansubdenpom (Komandan Sub-Datasemen POM) Nabire Periode 2012-2015.
Tiga orang ini diperiksa secara bersamaan, dalam sidang Paniai berdarah.
Tim ini bekerja dengan surat tugas pada 26 Mei hingga 13 Juli 2015. Mereka memeriksa 59 orang saksi dari berbagai unsur. Masing-masing 9 orang dari unsur Polri, 11 orang dari anggota Koramil Paniai Timur, 7 orang dari Satgas Yonif 753, 14 orang anggota Paskhas, 11 orang dari unsur masyarakat sipil, serta 7 lainnya dari pengembangan.
Di lapangan, menurut Ari Dono, tim hanya memiliki 15 hari waktu kerja dalam mengumpulkan bukti. Pengumpulan fakta itu kemudian dirangkum dalam berita acara pemeriksaan, bukan dalam rangka penyelidikan.
Dalam rentang 15 hari itu, tim pencari fakta menggunakan laporan awal internal Polri dan TNI. “Beban kami waktu itu memang agak berat. Kami ingin melihat satu peristiwa utuh. Tapi kami agak sedikit pesimis waktu berangkat, karena empat korban tidak mau diotopsi,” kata Ari Dono.
Selain itu Kata Ari Dono, tim terpadu yang dibentuk Menkopolhukam seharusnya melibatkan Komnas HAM, namun tidak ikut serta. “Komnas HAM hanya menitipkan beberapa unsur yang harus kami mintai keterangan. Dan kami melakukannya,” lanjutnya.
Yunius Pamatan, kuasa hukum terdakwa, menyatakan fakta dalam peristiwa di lapangan Karel Gobay terdapat empat orang warga sipil yang menjadi korban. “Apakah tim ini tidak maksimal karena dibatasi waktu?,” katanya.
“Begini bapak, dari hasil pemeriksaan saksi-saksi. Itu kita menemukan keterangan dan mendapatkan keterangan dari si A mengaku menembak. Menembak dalam artian membunyikan letusan,” jawab Ari Dono.
“Kemudian ada saksi lain mengatakan, betul dia menembak. Tapi tidak mengatakan dia menembak si A, tidak ada. Betul dia melakukan penembakan, maka rekomendasinya, A, B, C, itu untuk dilakukan pendalaman,” lanjut Ari Dono.
“Hanya menurut kami penyidik pak. Saya mantan penyidik. Gak mungkin bisa ketemu kalau memang, nda ketemu proyektilnya di dalam tubuh korban, atau proyektil itu yang mematikan, menurut perkiraan saya, tidak mungkin saya dituduh membunuh dia,” tegas Ari Dono.
Ari Dono kemudian meminta, istilah pembunuhan dalam persidangan HAM itu diluruskan. Bagi dia, peristiwa Paniai dalam temuan timnya adalah penembakan. “Jadi, hasil pemeriksaan itu tidak ada pembunuhan. Jadi maksudnya itu penembakan. Kalau pembunuhan, itu kesannya kurang baik sebagai prajurit yang mengayom. Ada serangan dari masyarakat dan ada tembakan peringatan,” katanya.
Tiga anggota dari TGPF dalam sidang Pelanggaran HAM Paniai itu dicecar pertanyaan. Dalam pemeriksaan saksi sipil sebelumnya, diungkapkan sebanyak 17 korban dalam peristiwa di lapangan Karel Gobay. Empat orang meninggal dunia dan 13 lainnya masih hidup. “Apakah tim menemui dan mencari korban yang masih hidup itu?,” kata Syahrir Cakkari, kuasa hukum terdakwa lainnya.
Tapi Ari Dono beralasan, waktunya sangat singkat. “Kalau betul mau periksa, nda cukup waktunya. Kita sampai malam pemeriksa pak. Kita mencari saksi, bisa tiga hari saksi itu pak. Kondisinya seperti itu,” katanya.
Tapi Ari Dono menegaskan, jika beberapa korban yang kena tangan memang lebih dekat dengan kantor Polsek Paniai Timur. Kemudian ungkapan warga lainnya yang mengatakan ada tembakan dari arah tower juga dijelaskan sebagai sesuatu yang mustahil, sebab jaraknya jauh. “Jauh pak (tower). Mungkin saja nembak, tapi gak kena, saya yakin.”
Uji Balistik Tanpa Hasil
Kombes Jhon Charles Edison Nababan, adalah anggota tim investigasi internal pertama yang dibentuk Polri. Dia tiba di Paniai pada 10 Desember 2014 dan mengunjungi lapangan Karel Gobay.
Kala itu suasana sekitar lapangan itu masih ramai oleh massa. Sebab akan dilakukan pemakaman. Dia melihat beberapa bercak darah di beberapa titik lapangan. Melihat pula empat peti jenasah korban penembakan. Menelisiknya dari jauh dan tak memungkinkannya mendekat. “Boro-boro mendekat pak, suasana masih hangat,” kata Nababan.
Tim awal yang dipimpin Nababan ini berakhir bekerja mengumpulkan kepingan fakta di lapangan pada 13 Desember 2014. Mengunjungi rumah sakit dan menerima serpihan logam dari beberapa korban luka tembak.
Sementara pemeriksaan permukaan yang dilakukan tim dokter pada jenasah empat korban, menduga proyektil masih bersarang di tubuh korban. Tapi otopsi tak memungkinkan, sebab keluarga korban dan masyarakat tak mengijinkannya.
Sementara itu, laporan investigasi internal Polri tahap awal itu hanya dilaporkan ke Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman. Hasilnya tak diketahui lagi, kemudian muncul pembentukan TGPF yang diketuai Ari Dono.
TGPF meyakini, jika masyarakat memberikan izin otopsi, akan membuka peristiwa Paniai Berdarah menjadi terang. Saksi yang menyatakan melihat pembunuhan dengan sangkur, atau tembakan, akan menampilkan semua itu. Proyektil yang masih bersarang di tubuh mayat, akan menjadi titik terang menentukan siapa dan dari kesatuan mana, yang melepaskan tembakan.
“Kami membuatkan rekomendasi untuk tim terpadu selanjutnya. Jadi tim pertama belum ada kesimpulan,” kata Nababan.
Salah satu fokus rekomendasi itu adalah uji balistik. Selanjutnya TGPF setelah mengumpulkan beberapa kesaksian melakukan uji balistik pada 32 pucuk senjata dari TNI dan Polri. Pengujian itu dilaksanakan di Polres Paniai. Sementara serpihan logam yang diduga dari proyektil dari korban luka, dibawa ke laboratorium forensik di Makassar.
Hasilnya tak menemukan siapa pemilik senjata dan pelaku penembakan. Tim investigasi, kata Ari Dono, mempunyai dua tim utama. Pertama yang mengerjakan pencarian lapangan. Kedua, adalah tim forensik. Uji balistik untuk mencocokkan logam dari sisa proyektil hanya orang forensik yang memahaminya. “Identik atau tidak, saya tidak memahaminya. Kemudian setelah pengujian laporan itu diberikan ke saya, lalu saya tandatangan. Itu saja,” katanya.
Letkol Cpm Wiryadi, yang ikut menyaksikan uji balistik di Polres Paniai, tak mengetahui detail prosedur pengujian itu. Di TGPF, tugas utamanya adalah melakukan pemeriksaan saksi.
Dia memeriksa tiga orang saksi mata yang dianggap mengetahui peristiwa 8 Desember 2014. Interogasi wawancaranya dilaksanakan di kantor Distrik Paniai Timur. Satu orang dari masyarakat sipil, satu orang TNI dan seorang lainnya dari Polri. “Jadi waktu itu saya baru selesai memeriksa satu saksi. Saya dapat perintah dari atasan saya. Jadi saya dapat perintah, ke Polres (Paniai) untuk menyaksikan uji balistik,” katanya.
“Hasilnya saya tidak paham. Karena setelah uji balistik dilakukan, saya diminta seseoang menandatangi berita acara. Selesai,” lanjutnya.
Selanjutnya, Wiryadi, melaporkan kegiatannya saat ikut serta dalam pengujian balistik itu. “Saya melaporkannya pada yang memberi saya perintah. Jadi bagaimana kelanjutannya saya tidak tahu sampai sekarang.” . (*)