Jayapura, Jubi – Agenda perumusan RUU KKR yang sedang didorong oleh pemerintah pusat, dinilai mencederai keputusan Mahkamah Konstitusi, terkait judicial review atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) Emanuel Gobay kepada Jubi, saat ditemui di ruangan kerjanya, Rabu (24/8/2022).
Gobay mengatakan, presiden Republik Indonesia melalui Menkopolhukam Mahfud MD sebagai mantan Hakim Konstitusi diminta agar tidak melanggar dan melangkahi putusan Mahkamah Konstitusi.
“Karena dengan tegas MK telah menjelaskan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 secara nyata dan terang-terang melakukan pelanggaran terhadap hak konstitusional bagi rakyat yang dijamin dalam Undang-Undangnya Dasar Tahun 1945 khususnya perihal tetang hak atas keadilan,”katanya.
Karena menurut dia, faktanya pemerintah Indonesia tidak menjalankan amanah undang undang nomor 21 tahun 2021 tentang pengadilan HAM di Papua. Pihaknya kemudian dikagetkan dengan perumusan undang undang tentang KKR yang tidak diketahui tujuannya apa.
Beberapa organisasi yang tergabung dalam organisasi Bersatu untuk kebenaran menegaskan untuk menolak RUU KKR yang didorong oleh Pemerintah Pusat.
Gobay mengatakan, RUU KKR yang dibentuk tidak diketahui atas rekomendasi siapa. Karena itu korban sendiri menolak. “Kami tahu, hakim Mahkamah Konstitusi sudah menolak Undang Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena jelas- jelas bertentangan dengan Undang-Undangnya Dasar Tahun 1945.
Gobay mengatakan, rencana pemerintah untuk mendorong KKR ini, seperti terang-terangan ingin menabrak UUD 1945 yang mengatur tentang hak dasar terutama hak atas keadilan.
“Kami kemudian mempertanyakan komitmen pemerintah RI sampai bawahannya sedang mendorong KKR ini dalam konteks melindungi konstitusional warga negara khususnya hak atas keadilan dan lebih khusus bagi korban pelanggaran HAM berat. Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi kami yang memiliki tanggungjawab menghormati, memenuhi dan menegakkan HAM sesuai dengan perintah pasal 28 I ayat 4 Undang Undang Dasar 1945,” katanya.
Gobay menegaskan apabila RUU KKR ini didorong, pihaknya akan menggunakan yurispundensi putusan hakim Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016 lalu, terkait menghapus undang-undang nomor 27 tahun 2006 tentang KKR, kemudian melakukan upaya hukum apabila itu terjadi pelanggaran HAM berat.
“Perlu saya sampaikan bahwa di Papua fakta pelanggaran HAM berat, kurang lebih ada dua kasus yang masih ditindaklanjuti oleh Komnas HAM, untuk kemudian diserahkan ke jaksa agung namun belum ada kelanjutannya. Yaitu kasus pelanggaran HAM berat Wasior di tahun 2003 dan juga khasus Wamena berdarah,” katanya.
Selain itu, di Papua sendiri banyak kasus pelanggaran HAM berat yang sudah dilaporkan ke Komnas HAM perwakilan Papua dan juga di Komnas HAM RI. Kasus yang sudah dilaporkan dan ditindaklanjuti oleh Komnas itu ada 3, yakni Wamena berdarah, Wasior berdarah dan juga Paniai berdarah.
“Paniai berdarah yang kemudian sudah ditindak lanjuti untuk jaksa membentuk tim penyelidik jaksa agung dan dirindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dan rencana sidang akan digelar pada bulan Agustus tahun 2022 ini, yang kemudian menjadi keberatan bagi pihak keluarga korban,” katanya.
Gobay mengatakan, dari semua kasus, apabila dilihat berdasarkan undang-undang Otsus No 21 Tahun 2001 dan pengadilan HAM, masuk dalam kategori kejahatan masa lalu sebelum tahun 2000 dan di atas tahun 2000. Ada juga pelanggaran yang masuk dalam kategori terjadi setelah ada undang undang nomor 26 tahun 2014 tentang pengadilan HAM.
Dari dua kategori ini pemerintah pusat sudah punya kewajiban bagaimana membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, untuk pengadilan HAM berat masa lalu, khususnya Biak berdarah tahun 1998 datanya lengkap dan tersimpan dalam arsip Komnas HAM RI.
Kemudian pada 2000, tercatat beberapa kasus termasuk Abepura berdarah yang sudah diproses, kasus penghilangan Aristoteles Masoka, sopir dari almarhum tokoh Theys Hiyo Eluay.
Kemudian kasus Theys Hiyo Eluay dan pasca kasus PT Istaka karya tahun 2018 di Nduga. Di luar itu, banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi, mulai dari kasus ditemukan mayat atau kuburan di bawah bukit Kanbobo di Ndugama. Ada juga kasus di kabupaten Nduga Intan Jaya, termasuk penembakan pendeta Peniel Zanambani, beberapa kasus Puncak Papua, Mimika, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan terakhir di kabupaten Maybrat,”katanya.
Lanjut Gobay, pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi di atas tahun 2000 dan yang sudah dilaporkan ke Komnas HAM RI, hanya ada 2 kasus yang akan diselesaikan melalui mekanisme undang undang 2006 tahun 2000 tentang pengadilan HAM , yaitu kasus Abepura berdarah.
“Saat ini yang sedang diproses UU Otsus No 2 Tahun 2021 dalam pasal 45-56 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk pengadilan HAM di Papua. Semestinya kasus Paniai berdarah diproses menggunakan undang-undang nomor 21 tahun 2021 tentang Otsus,”katanya.
“Melalui fakta pelanggaran HAM dan sikap pemerintah Jakarta, kami melihat bahwa Pemerintah Jakarta berjalan sendiri tanpa melihat aspirasi dari korban pelanggaran HAM di Tanah Papua bahkan tidak menghargai Lembaga peradilan di tanah Papua,”tutupnya. (*)