Enarotali, Jubi – Pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil yang berasal dari Nduga di Timika yang terjadi pada tanggal 22 Agustus 2022, merupakan sebuah amunisi yang menyebabkan penduduk pribumi lebih cepat berjuang dan menentukan nasib sendiri.
“Dan mutilasi terhadap empat warga sipil menjadi alat tembakan jitu untuk berhadapan dengan Pemerintah Indonesia. Sekalipun ada upaya penyelesaian melalui jalur hukum, namun pembunuhan sadis dan keji tidak pernah akan dilupakan oleh orang asli Papua dan mereka akan terus bicara di mana-mana karena proses hukum bukan menjadi jaminan,” kata Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua kepada Jubi, Rabu (7/9/2022).
Ia menegaskan, perlakuan enam anggota TNI yang tidak profesional menjalankan tugas di lapangan sangat memalukan dan menjatuhkan wibawa dan harga diri Negara Republik Indonesia.
Menurutnya, semua pihak telah mengetahui dengan jelas bahwa suhu politik Papua Merdeka, dan situasi krisis kemanusiaan di tanah Papua sangat subur dan sedang berkembang di tanah Papua dan internasional.
Dijelaskannya, ribuan pasukan non organik yang di kirim ke Papua, hanya untuk mengamankan situasi suhu politik dan penegakan hukum. Sehingga mereka ditugaskan langsung oleh Panglima TNI atas persetujuan Presiden dan DPR RI. Dan yang ditargetkan adalah mengejar dan menangkap TPNPB-OPM demi penegakan hukum.
“Tugas dan tanggung jawab mereka bukan untuk membunuh dan menghilangkan nyawa warga masyarakat sipil yang tidak bersalah,” ucapnya.
“Menghilangkan nyawa warga masyarakat sipil merupakan sebuah amunisi, termasuk pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan oleh 6 anggota TNI terhadap empat warga sipil di Timika dengan tindakan yang sangat sadis, keji dan tidak manusiawi merupakan tembakan jitu bagi Orang Asli Papua,” sambung Hesegem.
Niat enam anggota TNI, sebenarnya ingin membongkar jaringan jual beli senjata di tanah Papua. Maka, 6 anggota TNI memancing dan menawarkan untuk menjual senjatanya kepada 4 korban mutilasi dan kemudian 4 korban itu bersedia untuk membeli senjata yang di jual anggota TNI.
“Kalau memang mereka sudah bersedia membeli senjatanya dari tangan anggota TNI, seharusnya TNI profesional melakukan pendekatan secara humanis seperti yang sampaikan oleh Panglima TNI Jendral Andika Perkasa, lalu bertanya kepada mereka mengapa ingin membeli senjata, apa tujuan kalian ingin membeli senjata, dan atas perintah siapa?,” ujarnya.
“Seharusnya mereka ditangkap dan diserahkan kepada pihak kepolisian demi kepentingan penyelidikan. bukan mereka ditangkap dan dibunuh,” tegasnya.
Ia meminta kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo segera mengundang Komisi Ham Perserikatan Bangsa-bangsa untuk melakukan visi pemantauan pelanggaran ham di tanah Papua, sekaligus membuka akses wartawan internasional.
“Pemerintah Indonesia membuka diri untuk berdialog dengan masyarakat orang Asli Papua, secara bermartabat dan berwibawa yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral seperti Aceh,” ujar Hesegem. (*)