Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Franis Wasini, salah satu orang yang ditangkap karena dituduh terlibat unjuk rasa anti rasisme Papua pada 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 dikeluarkan dari tahanan demi hukum, karena masa penahanannya habis pada Selasa (22/2/2022). Akan tetapi, proses hukum perkara makar yang didakwakan kepada Franis Wasini di Pengadilan Negeri Jayapura akan tetap berjalan.
Hal itu disampaikan tim penasehat hukum Franis Wasini, Helmi melalui layanan pesan Whatsapp pada Selasa. “Meski sudah bebas dari tahanan, proses persidangan akan tetap digelar kembali pada hari Jumat, dengan agenda pembelaan dari penasehat hukum terkait dengan pembacaan dakwaan,” kata Helmi.
Helmi menyatakan Franis Wasini sudah dikeluarkan dari tahanan, dan proses itu didampingi tim penasehat hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua. “Sa su bilang ke Franis Wasini [agar] datang saja ke Lembaga Pemasyarakatan Abepura untuk diambil sidik jari. Saya juga sudah sampaikan Franis untuk sidang pada Jumat, agenda pledoi,” katanya.
Baca juga: Victor Yeimo: Saya dikriminalisasi dengan dakwaan yang dipaksakan
Helmi mengatakan pembebasan tahanan demi hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman nomor M.04-UM.01.06 Tahun 1983. Helmi menyatakan masa tahanan kliennya habis karena proses penanganan perkaranya berlarut-larut.
“Kami menilai bahwa penundaan sidang yang berlarut-larut. Perkara Franis Wasini tidak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,” katanya.
Perkara Franis Wasini sudah memasuki tahapan penuntutan, di mana pada 18 Februari lalu Jaksa Penuntut Umum menuntut Wasini dinyatakan bersalah melakukan makar dan dihukum 10 tahun penjara. Helmi menyatakan selama proses persidangan perkara itu, sidang mengalami penundaan sebanyak 24 kali.
“Hal tersebut disebabkan ketidaksiapan Jaksa Penuntut Umum dalam menangani perkara, sehingga masa perpanjangan penahanan Franis Wasini habis. Tetapi proses persidangan masih tetap berlanjut. Kondisi itu tak sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,” katanya.
Menurut Helmi, proses perkara yang berjalan lambat merugikan Wasini selaku terdakwa dalam perkara itu. “Asas cepat, asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat ini terkenal dengan adagium ‘justice delayed, justice denied’. Proses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan dan kepastian hukum kepada terdakwa,” katanya.
Baca juga: Viktor Yeimo didakwa makar
Helmi menjelaskan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan mengatur agar setiap perkara diselesaikan dalam waktu 5 bulan. “Kami selaku Tim Penasehat Hukum Franis Wasini berharap majelis hakim yang memeriksa pekara berkenan untuk dapat mempertimbangkan hal tersebut dalam putusannya,” kata Helmi.
Sementara itu, Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Emanuel Gobay mengatakan Franis Waisini adalah korban kriminalisasi yang dijerat dengan delik makar. “Farnis Wasini menunjukan dia korban pasal makar, sebab dalam pembuktian dua orang saksi tidak melihat Frans saat aksi pada 19 Agustus 2019 dan 29 agustus 2019,” kata Gobay.
Gobay mengatakan unsur pidana makar yang dituduhkan kepada Franis Wasini tidak terbukti dalam persidangan. Gobay juga mengkritik proses sidang yang berlarut-larut itu. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!