Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan negara melalui aparat keamanan wajib memenuhi, melindungi dan menghormati hak Anak di Papua. Sebab nihilnya perlindungan mengakibatkan anak-anak di bawah umur sering mendapatkan perlakuan kekerasan oleh aparat keamanan.
“Ada pula kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan terhadap anak selama tahun 2022 yang terus meningkat di wilayah Papua,: ujarnya.
Pertama, kasus oknum aparat keamanan menginterogasi dan menyiksa tujuh anak secara berulang kali dengan kabel dan besi dari 23 Maret 2022 hingga 24 Maret 2022 di Kabupaten Puncak Papua di Distrik Sinak.
“Ketujuh anak korban tindakan kekerasan serta penyiksaan yaitu : 1. DM (SD kelas 5), 2. DK (SD Kelas 4), 3. FW, 4. EM, 5. AM, 6. WM, 7. Makilon Tabuni (SD Kelas 6),” katanya.
Kedua, kasus pembunuhan dan multilasi yang melibatkan oknum anggota TNI sebagai pelaku yang terjadi pada tanggal 22 Agustus 2022. Salah satu korban pembunuhan dan mutilasi masih berusia anak.
“Hal tersebut dibuktikan dengan data administrasi kependudukan berupa kartu keluarga yang menyatakan bahwa korban JT masih berusia 17 tahun,” katanya.
Ketiga, kasus kekerasan dalam bentuk penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oknum aparat keamanan di Kabupaten Keerom.
“Anak- anak yang mendapatkan pemukulan adalah Rahmat Faisei (14) bersama dua temannya, Bastian Bate (13) dan Laurents Kaung (11) yang dilakukan prajurit TNI AD pada tanggal 28 Oktober 2022 di Kabupaten Keerom,” katanya.
Kasus keempat, tertembaknya seorang anak perempuan berinisial ED di Kampung Yokatapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya pada tanggal 4 November 2022.
“Dari beberapa kasus yang dialami anak-anak papua di atas sudah dapat menunjukan fakta, perayaan hari anak sedunia pada tahun 2022 menunjukan tingginya kasus kekerasan terhadap anak, dalam praktik pendekatan keamanan di Papua. Terjadi secara berulang di tempat yang berbeda-beda dengan bentuk yang beragam, mulai dari pengerahan pasukan yang berujung pada terjadinya penggungsian yang diisi oleh anak-anak, tindakan penganiayaan terhadap anak, tindakan penyiksaan terhadap anak, tindakan penyalahgunaan senjata api terhadap anak dan pembunuhan dengan cara mutilasi terhadap anak,” katanya.
Lanjut Gobay, fakta-fakta itu menunjukkan nihilnya implementasi ketentuan “Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak, negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak,” sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Gobay mengatakan, dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pusat sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Atas dasar kesimpulan di atas, LBH Papua mengunakan kewenangan terkait “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,.
Gobay menegaskan, residen Republik Indonesia dalam menjalankan kewenangan pertahanan keamanan di Papua wajib menjalankan ketentuan negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sesuai Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014.
“Kami minta Ketua DPR RI segera mengawasi kewajiban memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sesuai Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua,” katanya.
Pihaknya juga mendesak , Panglima TNI segera proses hukum seluruh oknum anggota TNI pelaku tindakan kekerasan terhadap anak di Papua.
“Kami meminta kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera menjalan tugas sesuai Pasal 76, UU Nomor 35 Tahun 2014 di Papua. Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota di Papua segera membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sesuai perintah Pasal 74 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014,” katanya.
Gobay mengatakan, pada prinsipnya “Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan; dan f. kejahatan seksual” sebagaimana diatur pada Pasal 15, UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
“Sekalipun demikian, pada praktiknya masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana dimaksudkan di atas. Aparat keamanan harus menyadari bahwa di semua negara di dunia terdapat anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sangat sulit dan anak-anak seperti itu memerlukan perhatian khusus sehingga dirumuskannya Konvensi Tentang Hak Anak yang telah diratifikasi kedalam sistim hokum Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-hak Anak,” katanya.
Selain itu, kata Gobay kebijakan perlindungan terhadap anak nasional yang dijamin sebagaimana dalam ketentuan terkait “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” sebagaimana diatur pada Pasal 28b ayat (2), UUD 1945.
“Dalam rangka mengefektifkan jaminan perlindungan anak maka Negara telah diberikan kewajiban sesuai ketentuan “Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak, negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak” sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,” katanya. (*)