Jayapura, Jubi – Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) DPR Papua, Laurenzus Kadepa, mengatakan semua pihak mesti memahami sikap korban dan keluarga korban kasus Paniai Berdarah.
Ia mengatakan korban dan keluarga korban kasus Paniai Berdarah menolak menghadiri rencana persidangan terhadap terdakwa di Pangadilan HAM Makassar, Sulawesi Selatan.
Penolakan ini merupakan bentuk kekecewaan mereka, sebab hanya ada satu terdakwa dalam kasus yang menewaskan lima orang dan melukai belasan warga itu.
“Kalau keluarga korban dan korban nyatakan tidak akan ikut persidangan, itu sikap mereka dan mesti dihargai. Kita mesti memahami kekecewaan mereka,” kata Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Kamis (25/8/2022).
Laurenzus Kadepa mengingatkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI), tidak mengabaikan suara korban dan keluarga korban.
“Suara korban dan keluarga korban mesti didengar. Saya juga bertanya-tanya, kenapa kasus Paniai, terdakwanya hanya satu,” ujarnya.
Terdakwa dalam kasus Paniai berinisial IS, merupakan pensiunan anggota TNI. Saat kejadian ia menjabat perwira penghubung Kodim Paniai.
Katanya, pelaku peristiwa 8 Desember 2014, di Lapangan Karel Gobay, Kabupaten Paniai tersebut mestinya lebih dari satu orang.
Sebab, lima korban tewas dan belasan warga yang terluka dalam peristiwa berada di lokasi berbeda. Tidak mungkin pelaku penembakan hanya satu orang.
“Sebagai mantan Ketua Pansus Paniai Berdarah DPR Papua, dan anggota Komisi I DPR Papua, saya terus berkoordinasi dengan Komnas HAM mengenai kasus ini,” ujarnya.
Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu menyatakan, ia bersama Komnas HAM RI terus mengawal proses persidangan kasus Paniai Berdarah, agar sidang benar-benar berjalan baik dan putusannya adil.
“Kami sadar ini tidak akan maksimal, tapi di satu sisi kami harap ini menjadi pintu masuk membongkar kasus-kasus HAM lain di Papua,” ucapnya.
Laurenzus Kadepa menegaskan, ia mempunyai tanggung jawab moral terhadap korban dan keluarganya untuk mendapat keadilan.
Sebab, selain sebagai mantan Ketua Pansus Paniai Berdarah DPR Papua, ia juga merupakam anak asli Papua dan berasal dari daerah pemilihan Kabupaten Paniai dan sekitarnya.
“Kecuali kelurga korban dan korban yang meminta saya untuk tidak bersuara, barulah saya akan diam,” ucapnya.
Kadepa juga mempertanyakan bedanya korban kasus Paniai atau kasus HAM lain di Papua dengan kasus polisi tembak polisi, yang melibatkan Irjen Pol Ferdy Sambo.
Katanya, dalam kasus yang menewaskan Brigadir Josua itu, negara begitu cepat bereaksi. Membentuk tim untuk segera mengusut pelaku dalam waktu singkat.
Sementara kasus Paniai sudah menahun. Terdawaknya hanya satu. Padahal ada lima korban meningal dunia dan belasan warga lain terluka.
“Apakah karena korban ini orang Papua, sehingga tidak penting. Ini terlihat bagaimana perbedaan sikap negara dan bagaimana negara melihat itu. Padahal kami ini juga warga negara, yang punya hak sama,” kata Kadepa.
Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mendorong agar kasus Paniai diusut hingga ke pejabat yang paling bertanggung jawab.
Katanya, dalam kasus ini, IS dijerat dengan Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 40 jo Pasal 9 jo Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Salah satu pasal tersebut berisi tentang tanggung jawab komando.
“Kalau tersangkanya hanya berpangkat mayor atau perwira penghubung Kodim, apakah dia yang paling bertanggung jawab? Seorang Perwira Penghubung, setahu saya, tidak bisa perintahkan batalion,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Amir kepada Tempo, Senin, 22 Agustus 2022.
Katanya, kekuasaan seorang perwira batalion sangat terbatas, sehingga IS diduga bukan pihak yang mengerahkan pasukan ke Paniai untuk menjalankan operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) di Painai.
Amir menyebut pihak yang memerintahkan batalion lah yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Paniai.
Ia berharap Kejaksaan Agung dapat menjalankan maksud pasal tersebut secara maksimal. Itu yang harus dikejar penyidiknya kalau mau melihat rantai komandonya.
“Pengadilan ini, kalau berjalan fair, bisa berguna untuk memperbaiki langkah-langkah penanganan ke depan,” kata Amir. (*)