Enarotali, Jubi – Pernyataan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak yang dilontarkan di salah satu media nasional, menuai kritik pedas oleh pemerhati kemanusiaan di tanah Papua.
Setelah Natalius Pigai dan Direktur LBH Papua Emanuel Gobay, menantang pernyataan itu, kini giliran Theo Hesegem selaku Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua yang angkat bicara.
Menurutnya, pernyataan Pangkostrad justru meremehkan harkat dan martabat korban dan keluarga korban, lebih khusus lagi bagi Orang Asli Papua (OAP).
“Pangkostrad menganggap terlalu remeh dan dianggap biasa-biasa, sehingga kasus yang dimaksud digiring menjadi kasus kriminal. Pernyataan seorang jendral sangat menyakiti orang asli Papua dan lebih khusus lagi bagi keluarga korban mutilasi,” kata Theo Hesegem selaku Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua kepada Jubi, Senin, (19/9/2022).
Dari pernyataan Pangkostrad, Letjen Maruli Simanjuntak, pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil asal Nduga di kampung Pigapu, Distrik Mimika Timur yang dilakukan oleh enam anggota TNI, menurut dia bukan pelanggaran HAM berat.
Hesegem sebagai pembela HAM sangat sedih dengan pernyataan yang dilontarkan seorang jenderal. “Semestinya pernyataan seperti ini tidak dulu disampaikan, karena situasi di Timika sendiri masih hangat, sedangkan keluarga masih berduka dan mereka sedang menunggu hasil penyelidikan dari perbagai pihak,” ucapnya.
“Pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan oleh anak buahnya adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi, keji dan sadis serta merendahkan harkat dan martabat Manusia yang diciptakan oleh Tuhan,” tegasnya.
“Kalau memang beliau sampaikan bahwa kasus pembunuhan disertai dengan mutilasi terhadap 4 warga sipil bukan pelanggaran HAM berat, kira-kira Pangkostrad pakai teori atau perspektif apa? Sebut kasus memutilasi empat warga sipil itu bukan pelanggaran HAM berat? Menurut saya, pernyataan ini lebih menyakiti hati keluarga korban dan orang asli Papua,” katanya.
Ia menyarankan Pangkostrad perlu pelajari dan memahami Undang-Undang No 39 tahun 1999 dan UU No 26 tahun 2000 agar memahami dengan sungguh-sungguh. Kira-kira siapa yang punya memiliki kewenangan untuk menetapkan status kasus tersebut pelanggaran HAM berat atau bukan pelanggaran HAM.
“Undang-undang sangat jelas bahwa yang punya kewenangan hanya Komnas HAM. bukan Pangkostrad, saya harap masalah mutilasi di Timika tidak membuat kabur,” ucapnya.
Ia mengatakan, pembunuhan disertai mutilasi terhadap 4 warga masyarakat sipil tidak bisa dianggap biasa-biasa, kasus ini sudah menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebab, Pangkostrad gagal dalam proses pembinaan sehingga anggotanya tidak menjalankan tugasnya dengan profesional.
“Seharusnya Pangkostrad Letjen Maruli Simanjuntak seharusnya mengevaluasi kesalahan anak buahnya, karena pembunuhan terhadap empat warga sipil di Timika pada 22 Agustus 2022, oleh 6 anggota TNI adalah kurang adanya pembinaan khusus, dan menurut saya beliau gagal melakukan pembinaan terhadap anggotanya,” katanya.
Sebenarnya lanjut dia, Pangkostrad perlu ketahui dengan benar bahwa masyarakat yang dibunuh dan dimutilasi di Timika sebenarnya memalukan wajah Negara Kesatuan Republik di mata internasional.
Perlu ketahui situasi di Papua dan kasus mutilasi sudah menjadi perhatian PBB sehingga pada tanggal 12 September 2022, PBB menyampaikan keprihatinan dari pejabat tinggi Hak Asasi Manusia PBB bahwa kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat, negara Indonesia semakin intensif.
“Di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) di Indonesia, kami mendapat laporan tentang kekerasan yang semakin intensif, termasuk bentrokan antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok bersenjata yang mengakibatkan korban sipil dan korban jiwa yang tidak diketahui jumlahnya serta pengungsian internal. Saya terkejut dengan laporan baru-baru ini tentang potongan-potongan tubuh empat warga sipil asli Papua yang ditemukan di luar Timika di Provinsi Papua Barat pada tanggal 22 Agustus. Saya mencatat upaya awal Pemerintah untuk menyelidiki, termasuk penangkapan setidaknya enam personel militer, dan mendesak penyelidikan yang menyeluruh, tidak memihak, dan independen, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab,” kata Nada Al-Nashif, Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari pernyataan Global Update-nya yang membuka sesi ke-51 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Jenewa, (12/9/2022). (*)