Jayapura, Jubi – Keluarga empat korban pembunuhan dan mutilasi asal Nduga di Kabupaten Mimika, Papua mendesak DPR Papua segera membentuk panitia khusus atau Pansus.
Anggota Tim DPR Papua, Namantus Gwijangge mengatakan desakan itu disampaikan keluarga korban mutilasi kepada pihaknya saat ke Timika, Kabupaten Mimika pekan lalu.
Ketika itu tim DPR Papua ke Timika menyerahkan bantuan kepada keluarga korban, ikut bersama keluarga mengambil bagian jenazah keempat korban di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika, hingga mengikuti proses kremasi jenazah pada 16 September 2022.
“Keluarga meminta secara terbuka kepada DPR Papua, agar membentuk pansus untuk mengawal semua proses hukum kasus ini. Sebab, tugas kami adalah mengawal aspirasi rakyat,” kata Namantus Gwijangge, Senin (19/09/2022).
Menurutnya, keluarga korban menyayangkan DPR Papua yang dinilai lamban menyikapi kasus ini, dengan membentuk Pansus.
Keluarga berpendapat, seakan kasus pembunuhan dan mutilasi itu disederhanakan, padahal ini kasus besar sehingga lembaga DPR Papua mestinya segara bersikap.
“Sejak awal, kami tim DPR Papua komitmen mengawal kasus ini, karena kami khawatir penyelesaiannya tidak akan memberikan keadilan terhadap keluarga korban,” ujarnya.
Katanya, ini sejalan dengan keinginan keluarga korban. Mereka meminta tim DPR Papua terus mengawal semua proses hukum kasus ini. Namun keluarga ingin DPR Papua membentuk Pansus, agar legitimasinya lebih kuat dalam mengawal semua proses hukum.
“Alasan keluarga, karena selama ini ada beberapa kasus yang sudah ditangani, namun hasilnya sampai hari ini belum jelas,” ucapnya.
Namantus Gwijangge mengatakan, DPR Papua juga mendesak agar persidangan enam oknum anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus ini, disidangkan di Papua.
Apabila persidangan tidak dapat dilakukan di Mimika, setidaknya di Mahkamah Militer Jayapura, bukan di luar Papua seperti yang direncanakan.
“Kalau diproses di luar Papua, kami tim DPRP khawatir, ini batu loncatan untuk menyelematkan para pelaku. Jadi penyelesaian kasus ini mesti bisa memberi rasa keadilan kepada keluarga korban,” kata Namantus.
Selain itu, tim DPR Papua ingin proses hukum terhadap enam prajurit TNI yang diduga terlibat tidak hanya lewat Mahkamah Militer, juga melalui peradilan umum.
“Nanti misalnya apabila enam terduga pelaku dari oknum TNI diberhentikan secara tidak hormat, dapat dilanjutkan ke peradilan umum. Saya pikir itu bisa dilakukan lewat peradilan koneksitas,” ucapnya.
Namantus Gwijangge menambahkan, keluarga korban berharap pelaku dihukum mati. Sebab apabila dihukum seumur hidup atau hanya 20 tahun, ada peluang mereka dapat bebas.
Sebab seiring waktu tidak menutup kemungkinan pelaku akan mendapat remisi atau pengurangan masa hukuman, dan kebijakan lainnya. Apabila itu terjadi, tidak memberikan rasa adil terhadap keluarga korban.
Anggota Tim DPR Papua lainnya, Laurenzus Kadepa mengatakan pihaknya mengapresiasi keluarga korban, yang bersedia mengikuti semua proses hukum.
“Mengenai desakan pembentukan pansus, ini tuntutannya dari banyak kalangan, bukan hanya keluarga korban. Tuntutan pembentukan pansus ini dari berbagai pihak termasuk mahasiswa Nduga dalam beberapa kali aksi unjukrasa mereka,” kata Kadepa.
Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM DPR Papua itu juga mengkritik pernyataan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Maruli Simanjuntak.
Beberapa hari lalu, Maruli Simanjuntak menyatakan kasus pembunuhan dan mutilasi itu bukan pelanggaran HAM.
“Pangkostrad bukan komnas HAM. Untuk menentukan suatu kasus pelanggaran HAM atau bukan, itu ranah Komnas HAM. Kini Komnas HAM RI sedang melakukan penyelidikan kasus Mimika. Dari hasil itulah barulah Komnas HAM akan menentukan apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak,” ucap Laurenzus Kadepa. (*)