Jayapura, Jubi – Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM se-Jayapura membantah tudingan bahwa massa demonstrasi tolak Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang berunjuk rasa di Kampus Universitas Cenderawasih Abepura pada Rabu (16/11/2022) memulai kericuhan dan serangan kepada polisi. Mereka menyatakan justru sikap represif polisi yang menyebabkan demonstrasi itu ricuh dan menyebabkan sejumlah orang terluka.
Hal itu dinyatakan para aktivis Aliansi BEM se-Jayapura dalam keterangan pers mereka di Kota Jayapura pada Minggu (20/11/2022). Mereka juga menyatakan demonstrasi menolak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sudah memenuhi prosedur penyampaian pendapat di muka umum, termasuk mengirimkan pemberitahuan rencana aksi mereka kepada polisi.
Salah seorang mahasiswa sekaligus demonstran yang sempat ditangkap polisi pada Rabu, Yabeth Degei menyatakan sekitar 20-an mahasiswa terluka saat polisi membubarkan demonstrasi tolak KTT G20 di gerbang Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura. “Sebanyak 20-an mahasiswa juga mengalami berbagai tindakan kekerasan dalam pembubaran aksi [secara] represif yang dilakukan aparat keamanan pada aksi damai penolakan KTT G20,” kata Degei dalam keterangan pers yang berlangsung di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua pada Minggu.
Degei membantah pernyataan polisi yang menyebut ada serangan terlebih dahulu dari kelompok mahasiswa yang berunjuk rasa pada Rabu. Ia juga membantah jika mahasiswa lebih dulu melewati batas polisi sebelum demonstrasi Aliansi BEM se-Jayapura itu dibubarkan.
“Kami sebagai mahasiswa telah memenuhi syarat berunjuk rasa. Namun polisi sebagai penegak hukum [membubarkan kami], kita lihat faktanya di lapangan. Kami tujuh orang yang menyerahkan diri saja kami dapat pukul sampai habis. Jadi jumlah aparat [yang melakukan pemukulan] itu bukan hanya satu orang. Ada polisi, ada juga intel yang ikut serta memukul kami,” katanya.
“Teman-teman teman kami dipukul, [dilempari] batu, dan [disemprot dengan] water canon. [Ada] tembakan gas air mata, dan teman-teman dapat lemparan batu dari aparat keamanan dan intel,” kata Degei.
Degei mengatakan ia bersama enam orang pimpinan demonstrasi itu menyerahkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas unjuk rasa itu. Akan tetapi, mereka tetap dipukuli. Menurutnya, saat mereka diseret menuju mobil aparat keamanan, mereka dipukul sejumlah aparat berseragam maupun berpakaian preman.
Degei meminta kepolisian tidak menutupi fakta bahwa ada sejumlah polisi dan intel yang memukul massa Aliansi BEM se-Jayapura. “Kami tujuh orang mahasiswa sudah mendapat fakta polisi dan intel melakukan tindakan kekerasan kepada kami, tujuh mahasiswa yang menyerahkan diri. Jadi, kami meminta Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota jangan menyembunyikan pelaku yang melakukan kejahatan kepada kami, tujuh mahasiswa [yang] serahkan diri,” tegasnya.
Wakil Koordinator Lapangan aksi itu, Nania Bayage menegaskan Aliansi BEM se-Jayapura sudah mengirimkan surat pemberitahuan rencana demonstrasi mereka kepada Kepolisian Resor Kota (Polresta) Jayapura Kota pada 14 November 2022. Menurut Bayage, surat pemberitahuan itu diantar ke Polresta Jayapura Kota oleh beberapa perwakilan Aliansi BEM se-Jayapura, termasuk BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dan Majelis Perwakilan Mahasiswa Uncen.
“Saat kita antar [ke Polresta Jayapura Kota, polisi di sana] mengatakan ‘atasan kami sudah keluar, jadi surat pemberitahuan itu nanti titip di pos’. Sehingga, kami titip di pos. Nama [polisi] yang terima itu Bunci dan Kevin. Selesai itu, mereka terima surat pemberitahuan yang kami masukkan, [lalu] kita pulang,” kata Bayage.
Bayage menyatakan dalam demonstrasi Rabu itu para pimpinan aksi bernegosiasi dengan polisi, karena ingin menyampaikan aspirasi di Kantor DPR Papua. Ia membenarkan jika semua demonstran ingin berpawai bersama-sama menuju Kantor DPR Papua.
Akan tetapi, polisi tetap melarang mahasiswa keluar dari Kampus Uncen, dan menyatakan hanya 20 orang yang diizinkan menyampaikan aspirasi di Kantor DPR Papua. “Kami harus ke Kantor DPR Papua, kami [ingin] sampaikan [aspirasi kami] kepada DPR Papua untuk ditindaklanjuti, dan polisi tidak izinkan,” katanya.
Menurut Bayage, di tengah proses negosiasi yang alot itu, sekitar pukul 12.45 WP, massa Aliansi BEM se-Jayapura yang sebelumnya berkumpul di Perumnas 3 Waena tiba di gerbang Kampus Uncen Abepura. Demonstran yang ada di dalam Kampus Uncen Abepura pun ingin bergabung dengan rombongan dari Waena itu, namun dihalang-halangi polisi. Menurut Bayage, pada saat itulah terjadi bentrokan di antara massa demonstrasi dan polisi.
Bayage menyatakan polisi melempari demonstran dengan batu, sehingga massa demonstran membalas dengan melempari polisi dengan batu. Ia menyatakan bentrokan itu berlangsung hingga sekitar pukul 13.35 WP, dan berhenti setelah massa demonstrasi tolak KTT G20 menarik diri ke arah Asrama Tunas Harapan di Padang Bulan.
“Kami sudah baca pernyataan, dan tujuh orang teman sudah dapat tangkap. Yang dapat pukul itu 23 orang,” kata Bayage.
Koordinator Litigasi Koalisi Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, Emanuel Gobay menyatakan langkah polisi membubarkan demonstrasi tolak KTT G20 pada Rabu itu melanggar hukum. “[Pembubaran itu melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum serta peraturan internal kepolisian berkaitan dengan implementasi HAM, dan melanggar sejulah kewajiban administratif pejabat publik, dalam hal ini aparat penegak hukum,” kata Gobay.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota, AKBP Victor Dean Mackbon mengatakan demonstrasi menolak KTT G20 di Kota Jayapura dibubarkan polisi karena massa demonstrasi itu keluar dari kampus dan menyerang polisi. Mackbon menyatakan sejak awal polisi telah menolak rencana demonstrasi itu.
Mackbon menyebut sebenarnya demonstrasi Aliansi BEM se-Jayapura sempat berjalan dengan baik. “Petugas mengamankan dengan baik. Tetapi, [massa aksi] yang di auditorium itu terprovokasi sehingga melawan garis petugas, dan masuk ke badan jalan. Mereka ingin melakukan long march. Itu kami prediksi adalah niatan tidak baik. Untuk itu, kita sebagai aparat yang menjaga keamanan melakukan dorongan kepada massa yang terprovokasi tersebut,” kata Mackbon di Kota Jayapura pada Rabu.
Pada Jumat (18/11/2022), Mackbon menyatakan pihaknya telah menetapkan dua mahasiswa yang menggelar demonstrasi menolak KTT G20 sebagai tersangka. Kedua mahasiswa yang ditetapkan sebagia tersangka itu adalah Gerson Pigai selaku Koordinator Lapangan Aksi Aliansi BEM Se-Jayapura yang menolak KTT G20, dan Kamus Bayage. “Dari hasil pemeriksaan, GP dan KA sudah kami tetapkan tersangka. Sedangkan lima orang lainnya telah dipulangkan,” kata Mackbon.
Menurut Mackbon, Gerson Pigai dan Kamus Bayage ditetapkan sebagai tersangka aksi yang melawan dan menyerang petugas. Keduanya dijerat dengan Pasal 160 dan 124 ayat (1) dan (2) junto pasal 212 KUHP, dan terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara. (*)