Sentani, Jubi – Panti Asuhan Harapan Kita yang berada di seputaran Pasar Baru Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, bukan hanya menampung dan membina para anak-anak yatim atau yatim-piatu. Mereka juga menampung dan membina anak-anak dari berbagai daerah konflik di Papua.
Panti Asuhan Harapan Kita adalah panti asuhan di bawah naungan Gereja Bethel Indonesia atau GBI Jemaat Eklesia. Panti asuhan itu berdiri sejak 2020, seiring dengan dibentuknya Yayasan Sabda Harapan Kita serta SD dan SMP Sekolah Teologia Kristen Sabda Harapan.
Sebagian siswa yang mengenyam pendidikan di panti maupun sekolah Yayasan Sabda Harapan Kita berasal dari daerah konflik di Tanah Papua seperti Kabupaten Intan Jaya, Puncak Jaya, maupun Puncak di Provinsi Papua Tengah. Ada pula sejumlah anak dari Kabupaten Pegunungan Bintang dan Yahukimo di Provinsi Papua Pegunungan.
Sebagian lainnya adalah anak-anak yang daerah asalnya bukan termasuk wilayah konflik, seperti Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Mamberamo Raya di Provinsi Papua. Mereka juga kesulitan mengakses pendidikan di tempat tinggalnya.
Hamba Tuhan yang juga Ketua Yayasan Sabda Harapan Jayapura, Pendeta Morgan Daulay menuturkan awalnya Gereja Bethel Indonesia Jemaat Eklesia Sentani hanya menampung anak-anak yatim-piatu. Pada masa awal, GBI Jemaat Eklesia menampung anak-anak itu tanpa membentuk suatu yayasan.
“Saat pandemi di 2020, kita banyak mengumpulkan anak-anak. [Karena] harus ada legalitas badan hukum, maka kita buat yayasan. Apalagi saat [pandemi] Covid itu tidak boleh banyak orang berkumpul. Akhirnya Gereja membentuk [yayasan] itu, agar anak-anak yang kami bina selama ini juga ada kejelasan dalam suatu badan hukum,” kata Pendeta Morgan Daulay di Sentani pada Jumat (12/7/2024).
Ada 87 anak-anak yang kini berada di panti asuhan tersebut, dengan kisaran umur 4 tahun hingga yang sudah berkuliah di perguruan tinggi. Dari jumlah itu, sekitar 40 anak berasal dari berbagai daerah konflik di Tanah Papua, baik itu daerah konflik bersenjata maupun konflik sosial.
Pendeta Morgan sejak 2006 melakukan pelayanan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Ketika ia dipindah untuk memberikan pelayanan di Sentani, ia membantu anak dari berbagai daerah yang tidak mendapatkan akses pendidikan.
“[Itu] karena panggilan jiwa. Mengasihi jiwa-jiwa, percaya terhadap panggilan Tuhan, sehingga apa yang bisa dilakukan, saya kerjakan,” ujarnya.
Panti asuhan Harapan Kita menerima anak-anak yang nyaris kehilangan harapan, misalnya karena orangtuanya tercerai berai karena konflik, ataupun anak yatim piatu. “Kebanyakan keluarga mereka [anak] yang datang menitipkan [anak] ke panti asuhan. Masyarakat tahu [panti asuhan kami] dari mulut ke mulut saja, karena saya tidak pernah mengiklankan yayasan atau panti kami,” katanya.
Anak asuh yang berasal dari daerah konflik akhirnya diasuh di panti asuhan itu karena berbagai latar belakang. Sebagian dari mereka berasal dari keluarga yang memilih mengungsi karena daerah asalnya didatangi banyak aparat keamanan atau anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Beruntung ada orang yang bisa membawa anak-anak itu keluar dari wilayah konflik, dan membawanya ke Panti asuhan Harapan Kita.
“Bahkan kami pernah kedatangan anak dari daerah konflik bersenjata yang tertembak. [Anak itu] berhasil diselamatkan, dan kini sudah berusia 11 tahun,” katanya.
Hingga pendidikan karakter
Anak asuh Panti Asuhan Harapan Kita yang masih dalam usia sekolah bersekolah di Sekolah Teologia Kristen Sabda Harapan tingkat SD maupun SMP. Sekolah itu menggunakan kurikulum yang sama dengan sekolah umum, namun menambah porsi pelajaran tentang agama.
“Rutinitas jam 04.00 WP adalah berdoa bersama, kerja bakti, persiapan, sarapan, lalu masuk pembelajaran pukul 07.00 hingga 13.00 WP. Setelah makan siang siswa berkegitan bebas, istirahat dan sore harinya kerja bhakti lagi, lalu jam 6 sore makan malam dan belajar,” katanya.
SD Sekolah Teologia Kristen Sabda Harapan memiliki kelas 1 – 6. Sedangkan SMP Sekolah Teologia Kristen Sabda Harapan hanya memiliki kelas 7 dan 8, sehingga siswa yang naik ke kelas 9 akan melanjutkan pendidikannya di SMP lain yang masih dalam naungan yayasan. Begitu pun anak asuh yang akan melanjutkan pendidikannya di tingkat SMA hingga perguruan tinggi.
Dengan dibantu sembilan orang tenaga pengajar yang hanya digaji Rp1 juta per bulan, yayasan tidak memaksakan seorang anak harus cepat naik kelas, meskipun dari segi usia sang anak seharusnya telah berada di kelas yang lebih tinggi.
“Misalnya, [jika seorang anak] umurnya harusnya di kelas 6 SD, tetapi kalau belum bisa membaca tetap di kelas 1 SD, sehingga bukan sekedar mengejar tingkatan tapi betul-betul dididik hingga bisa,” katanya.
Setiap anak asuh juga mendapatkan pendidikan untuk membangun karakter, kedisiplinan, tanggung jawab, kesetiaan, ketertiban, dan kepercayaan diri. Pendidikan di panti asuhan itu juga mengembangkan keterampilan seperti menjahit, pertukangan dan bermusik.
“Kalau agama kami ajarkan tentang kasih, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kami [mendidik] mereka untuk lebih baik, karena tidak sedikit juga anak-anak yang datang penuh dengan rasa sakit hati, dan hal itu tidak diperbolehkan. Jadi kami murni di jalan Tuhan, [mendidik anak asuh kami] untuk menjadi orang baik,” katanya.
Perlunya perhatian pemerintah
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, panti asuhan memang cukup kesulitan. Kendala yang dihadapi pun cukup banyak, pasalnya panti dan sekolah dibangun atas swadaya umat dan orang-orang yang peduli.
Namun selalu datang dari pertolongan Tuhan melalui orang-orang yang peduli dengan memberikan bantuan. Yang kurang adalah perhatian dari pemerintah, termasuk dari pemerintah daerah asal anah asuh Panti Asuhan Harapan Kita.
“Sekolah kami di dalam gereja. Ruang kelas [kami] hanya disekat batas tripleks. Belum lagi makan minum anak-anak panti, minimal untuk makan dalam sehari menghabiskan 50 kg beras,” kata Pendeta Morgan.
Salah satu tenaga pengajar, Yusius Mimin yang berasal dari Pegunungan Bintang menuturkan ia sudah mengikuti Pendeta Morgan Daulay sejak dirinya masih duduk di kelas 5 SD. Setelah lulus kuliah, Mimin mendedikasikan dirinya untuk membantu orang tua angkatnya mengembangkan pelayanan.
Ia akhirnya mengajar di panti asuhan itu. “Suka duka karena masih dalam proses dan tahap belajar sehingga menikmati proses saja,” kata Yusius Mimin.
Ia pun berbicara mengenai daerah asalnya yang kini menjadi daerah konfliknya. Ia ingin agar setiap anak-anak di Pegunungan Bintang mengenyam pendidikan. Jika konflik melanda sebuah wilayah, anak-anak harus bisa dibawa ke kota atau daerah yang lebih aman, sehingga bisa melanjutkan pendidikan mereka.
“Waktu Desember 2023 juga saya sempat di Pegunungan Bintang untuk pelayanan. Saya rasakan bagaimana susahnya keadaan ketika konflik. Bahkan sekarang ini ada beberapa anak usia sekolah yang ingin saya bawa ke Jayapura, karena [mereka] masih tersandera konflik di Pegunungan Bintang. Ada dua anak yang mau masuk SMP, namun masih ditahan dengan alasan tidak boleh bersekolah,” ujarnya.
Seorang siswi SD Sabda Harapan berinisial MS yang berasal dari Mamberamo Raya kini tengah duduk di bangku kelas 6 SD. Ia merasa antusias menjalani masa sekolahnya.
“Saya masuk panti sejak 2021 dari kampung datang ke sini untuk belajar. Bapak antar saya. Dulu [saya] tidak bisa membaca, sekarang sudah bisa baca tulis berhitung,” ujar siswi yang berusia 12 tahun itu. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!