Jayapura, Jubi – Jumlah penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di Tanah Papua dalam beberapa tahun ke depan bisa tembus 1 juta orang jika tidak segera diantisipasi. Demikian disampaikan Dr Agus Sumule, dosen Universitas Negeri Papua (Unipa).
Sumule mengatakan tercatat ada sekitar 620.000 anak Papua kategori Penduduk Usia Sekolah (PUS) yang tidak bersekolah. Saat ini, setelah dua tahun angkanya naik drastis, bertambah 70.000 menjadi 693.000 orang.
“Melihat fenomena ini, kalau pemerintah daerah tidak bergerak maka dalam waktu tidak lama akan ada 1 juta Penduduk Usia Sekolah berusia 7-18 tahun di Tanah Papua yang tidak bersekolah,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi hal itu, Sumule mengajak pemerintah-pemerintah daerah di Tanah Papua untuk fokus menggunakan anggaran membangun pendidikan anak-anak Papua.
“Kalau tidak, kita akan terus melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) mereka dan tentunya akan berdampak kepada pembangunan Papua,” katanya.
Sumule menceritakan ketika ia mengeluarkan data anak-anak Papua yang tidak sekolah, sejumlah kepala daerah di Tanah Papua tersinggung. Sebab menurut mereka sama dengan mengatakan bahwa pemda tidak bekerja.
Namun, katanya, respon berbeda datang dari Bupati Sorong Selatan dan Penjabat Bupati Maybrat yang sekarang Penjabat Wali Kota Sorong.
“Mereka bertanya, kalau begitu kita harus buat apa, maka lahirlah gagasan Sekolah Sepanjang Hari (SSH) dan diujicobakan,” kata Sumule.
Menurutnya Sekolah Sepanjang Hari (SSH) merupakan salah satu jalan keluar, yaitu dengan diberlakukan di semua Sekolah Dasar, khususnya di kampung-kampung di Tanah Papua.
Menurut Sumule fenomena besarnya jumlah dan naik drastisnya angka penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah merupakan bencana yang menanti Tanah Papua. Karena itu, dalam momentum Pilkada Serentak 2024 Sumule berharap para Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di seluruh Tanah Papua bisa serius memerhatikan masalah ini.
Hampir semua penduduk yang tidak bersekolah, kata Sumule, adalah anak-anak Papua. Jika para calon kepala daerah yang akan menjadi kepala daerah tidak serius mengurusi pendidikan dan sembrono menggunakan Dana Otsus dan dana lainnya yang ditransfer dari pusat, maka setelah lima tahun menjabat, yaitu 2029, berdasarkan analisisnya jumlah anak-anak yang tidak bersekolah akan tembus 1 juta orang.
Dampak pemekaran
Anggota DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Rupublik Indonesia) dari Provinsi Papua Tengah Eka Kristina Yeimo yang akan membidangi Komisi III menyampaikan, implementasi UU Otsus dalam hal pendidikan harus diperhatikan dari pendidikan dasar, kemudian dilanjutkan hingga ke jenjang Perguruan Tinggi.
“Kebijakan pemerintah daerah soal pendidikan harua diubah total, karena kalau pemerintah memikirkan pendidikan yang jejang atas maka pendidikan dasar akan terbengkalai, dampaknya angka putus sekolah juga bisa bertambah karena kekurangan guru,” ujarnya.
Menurut Yeimo banyaknya anak-anak putus sekolah selama ini juga karena banyak pemekaran kampung, distrik, dan kabupaten.
“Seiring pemekaran wilayah, sekolah-sekolah juga dimekarkan dan semakin banyak sekolah maka semakin minim tenaga pengajar yang datang mengajar, hal ini harus dievaluasi, jangan dibiarkan larut dalam fenomena seperti ini dari waktu ke waktu,” katanya.
Ketua Gerakan Papua Mengajar (GPM) Pusat Jhoni Degei mengatakan selama berkegiatan pihaknya juga menemukan banyak anak putus sekolah yang umumnya didampingi GPM.
“Ada anak-anak yang putus sekolah dan kami bertemu dengan pihak guru dan orang tua dari siswa yang putus sekolah, kemudian di sekolah. Kami bantu memediasi dan anak-anak itu kembali bersekolah,” ujarnya.
Menurut Degei fenomena anak putus sekolah tidak hanya di kampung-kampung, tetapi juga terjadi di wilayah perkotaan.
“Wilayah perkotaan yang saya maksudkan adalah di wilayah perbatasan antar kota, antar kabupaten, dan antar negara, di sana juga banyak anak yang tidak tersentuh pendidikan. Kalau di kampung-kampung, apalagi di daerah konflik lebih parah lagi,” katanya.
Degei mengatakan sepajang pemerintah tidak memerhatikan fenomena ini maka persoalan anak yang tidak bersekolah ini akan semakin bertambah rumit.
“Kami berharap pemerintah hadir dalam situasi ini, pemerintah jangan membiarkan situasi ini terus terjadi, kalau dibiarkan masa depan anak-anak generasi emas Papua ini terancam,” katanya. (*)