Jayapura, Jubi – Para mahasiswa penerima beasiswa Papua berharap pemerintah daerah di Papua dapat menyediakan lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka. Lapangan kerja yang sesuai itu penting agar mereka dapat kembali dan mengabdi di Papua setelah menyelesaikan pendidikannya.
Ketua Ikatan Mahasiswa Papua atau IMAPA di Rusia, Yosep Iyai menyatakan kembali mengabdi di Papua merupakan sebuah tantangan berat. Kendati demikian, mengabdi di Papua merupakan sebuah panggilan bagi anak-anak Papua yang kuliah di luar Papua, baik di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, maupun di luar negeri.
“Mahasiswa punya kesempatan untuk menambah pengalaman dan keterampilan tertentu di luar, sehingga ketika balik ke Papua isi otak mahasiswa tersebut tidak kosong. Tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan, mereka juga memiliki pengalaman dan keterampilan, sebab dua hal tersebut adalah modal yang kuat dan efektif untuk membangun Tanah Papua,” kata Iyai kepada Jubi pada Rabu (4/1/2023).
Iyai menyatakan memang tidak ada perjanjian atau ketentuan yang mewajibkan penerima beasiswa Papua untuk kembali ke Tanah Papua setelah menyelesaikan studi mereka. Menurutnya, banyak mahasiswa Papua di luar negeri yang sudah selesaikan pendidikannya tidak mau kembali ke Papua, dan memilih bekerja di luar negeri. Salah satu alasannya, tidak ada kejelasan tersedianya lowongan kerja bagi mereka jika kembali ke Tanah Papua.
“Beasiswa dari pemerintah daerah di Papua untuk mahasiswa yang kuliah di luar negeri maupun dalam negeri belum disertai perjanjian atau pernyataan di atas materai [yang menyatakan] mahasiswa harus kembali mengabdi di Papua,” ujarnya.
Iyai menyatakan pemerintah daerah harus memastikan adanya lowongan pekerjaan bagi penerima beasiswa Papua yang sudah menyelesaikan pendidikannya. Mereka seharusnya dapat ditempatkan di institusi, lembaga atau organisasi yang ada di Papua, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan keterampilang yang dimiliki masing-masing lulusan.
“Misalnya ada mahasiswa Magister Hubungan Internasional yang baru selesaikan pendidikannya. Setidaknya pemerintah daerah bisa bantu lobi dan support agar kemudian mahasiswa yang baru selesai tersebut bisa kerja di salah satu kantor kedutaan atau di Kementerian Luar Negeri,” katanya.
Iyai menyatakan seharusnya ada kontrak atau surat pernyataan untuk memastikan penerima beasiswa Papua kembali mengabdi di Papua usai menyelesaikan pendidikan. Sebab, beasiswa itu dibiayai dengan Dana Otonomi Khusus Papua, dan seharusnya ada keluaran dari program beasiswa Papua yang dapat dirasakan masyarakat Papua.
Iyai menyatakan manajemen beasiswa juga harus jelas, karena banyak mahasiswa penerima beasiswa Papua yang terlambat menerima kiriman biaya hidup maupun biaya kuliah mereka. Ia mengingatkan keterlambatan pembayaran biaya studi ikut berdampak terhadap waktu studi mahasiswa.
“Banyak mahasiswa terancam putus kuliah akibat dari tidak efektifnya manajemen beasiswa. Bila manajemennya bagus, pendanaan mengalir lancar, maka mahasiswa akan menyelesaikan pendidikan tepat waktu dan dapat kembali mengabdi di Papua,” ujarnya.
Laurens Ikinia, mahasiswa program magister di Auckland University of Technology, Selandia Baru menyatakan pada prinsipnya setiap penerima beasiswa Papua siap untuk kembali ke tanah air. Akan tetapi, BPSDM Papua seharusnya memberikan kejelasan mengenai kesempatan bekerja yang sesuai dengan jurusan dan keahlian masing-masing penerima beasiswa untuk bekerja di Tanah Papua
“Mahasiswa yang selesai bisa saja balik kapan saja. Tapi, apakah lapangan kerja untuk mereka tersedia atau tidak? Kalau ada, sangat baik. Kalau tidak ada, mereka mau dikemanakan? Hal itu perlu dipikirkan secara komprehensif dan holistik,” katanya. (*)