Jayapura, Jubi – Pendiri Papua Language Institute, Samuel Tabuni menyatakan penyelenggaraan pendidikan dasar di Papua harus diperkuat. Penguatan pendidikan dasar di Papua itu dapat dilakukan dengan penerapan kurikulum pembelajaran yang kontekstual dan berbasis budaya Papua.
Hal itu dinyatakan pendiri Papua Language Institute, Samuel Tabuni kepada Jubi di Kota Jayapura pada Sabtu (27/11/2022). “Kurikulum itu menjadi tantangan tersendiri, karena Papua terdiri dari banyak suku-suku. Tapi saya pikir bisa buat desain kurikulum kontekstual,” kata Tabuni.
Tabuni menyatakan upaya untuk memperkuat pendidikan dasar di berbagai kampung sangat penting. Sebab desain pendidikan dasar akan membentuk orang Papua asli yang berkarakter dan beridentitas.
“Pendidikan mestinya tidak hanya menjadikan kita pintar, berwawasan saja melainkan juga menjadikan kita semakin mencintai identitas asli [bahasa, tradisi] yang melekat pada diri setiap kita, orang Papua. Tong orang Papua menjadi apa. Kita mau jadi orang apa. Kalau kita mau jadi orang Papua di dalam NKRI, yang pertama [harus] kita tahu, kita ini siapa. Ini dulu yang pertama bicara, jangan bicara yang tinggi,” ujarnya.
Tabuni menyatakan pendidikan yang benar menjadikan Orang Papua berkhidmat dan bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat dalam banyak hal, termasuk dalam usaha membangun Papua. Ia menyampaikan negara telah memberikan banyak terobosan dalam dunia pendidikan khususnya melalui berbagai program termasuk program merdeka belajar.
Hal ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membangun pendidikan yang kontekstual dengan situasi Papua, yang membuat Orang Asli Papua tidak tercerabut dari akar atau budayanya.
“Kita tidak bisa menyalahkan Jakarta atas ketertinggalan dan keterbelakangan sektor pendidikan di Tanah Papua. Jakarta justru perlu ditolong oleh kita yang lahir dan hidup di atas Tanah Papua ini. Saya berharap pendidikan yang kita bangun bersama di atas tanah ini dapat melahirkan para ahli dalam berbagai bidang, yang mewakili suku-suku yang ada di atas tanah ini, sehingga kita bisa membantu pemerintah membangun negeri Papua,” katanya.
Pendiri Universitas Internasional Papua tersebut menyatakan pemerintah harus mengedukasi dan membangun kesadaran orangtua bahwa pendidikan itu penting. Jadi pemerintah harus membuat program atau inovasi pendidikan yang bisa menyakinkan orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya.
“Saya kira pemerintah dan semua pihak harus kampanyekan pendidikan, dan itu tidak boleh berhenti di kota-kota. [Upaya itu] harus sampai ke kampung-kampung di seluruh Tanah Papua. [Upaya itu] tidak bisa hanya [melibatkan] guru saja. Guru pun, kalau orang Papua asli, tapi orangtuanya tidak pernah arahkan anaknya ke sekolah, kan sama saja,” ujarnya.
Deputi Peace Literacy Institut Indonesia di Papua, Maiton Gurik menyatakan dalam konteks Papua yang memiliki ratusan suku dan bahasa perlu mendorong pendidikan kontekstual. “Kita tidak bisa terapkan sistem pendidikan Jawa di Papua, karena itu tidak nyambung,” katanya.
Gurik menyatakan penerapan kurikulum pembelajaran kontekstual berbasis budaya membutuhkan peraturan daerah atau peraturan daerah khusus yang dibuat DPR Papua. Gurik menyampaikan Otonomi Khusus Papua membuka peluang besar untuk membuat kebijakan kurikulum pembelajaran kontekstual berbasis budaya di Papua.
“Saya kira kita punya peluang besar untuk mendorong pendidikan yang kontekstual. Seperti mata pelajaran bahasa ‘Ini Budi”, harus kita ganti ‘Ini Marianus, ini Matius’, karena nama-nama itu ada di Papua. Dinas Pendidikan dan DPR Papua harus berpikir keras [untuk menyusun kurikulum] pendidikan kontekstual dalam sebuah kebijakan, dan Otonomi Khusus Papua sudah memerintahkan [hal] itu,” ujarnya. (*)