Jayapura, Jubi – Anggota komisi bidang pendidikan DPR Papua, Natan Pahabol menyatakan, persentase buta aksara di Papua masih cukup tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua pada 2021, persentase buta aksara di sana mencapai 21,9 persen. Situasi ini menempatkan Papua pada urutan teratas provisi dengan persentase buta aksara tertinggi pada tahun lalu, untuk penduduk usia 15 tahun ke atas.
Pernyataan ini disampaikan Natan Pahabol berkaitan dengan peringatan Hari Aksara Internasional, 8 September 2022.
Katanya, masih tingginya persentase buta aksara di Papua mesti menjadi perhatian semua pihak, bagaimana bekerjasama menurunkan persentase itu.
“Kita tidak bisa saling menyalahkan. Menyalahkan pemerintah, gereja LSM atau pribadi. Namun saya mau memberikan beberapa catatan, ini mesti menjadi perhatian kita semua. Misalnya pihak gereja, lewat metode pengajaran dengan buku kontekstual, pendekatan membentuk tutor, pengasuh sekolah minggu di gereja dan pemerintah memfasilitasi lewat dukungan anggaran, juga melakukan evaluasi,” kata Natan Pahabol saat menghubungi Jubi melalui panggilan teleponnya, Jumat (09/09/2022).
Menurutnya, apabila persentase buta aksara di Papua mencapai 21,9 persen, ini berarti lebih dari 900 ribu penduduk Papua masih tergolong buta aksara. Sebab pada 2021, jumlah penduduk Papua berdasarkan data BPS 4,335 juta lebih.
“Kalau semua pihak mau bekerjasama, saya pikir bisa menekan tingginya buta aksara di Papua. Budaya orang Papua itu kan berbicara, menghitung dan mengingat. Budaya menulis dan membaca itu baru masuk belakang ke Papua. Nah mesti ada strategi untuk mengatasi masalah ini,” ujarnya.
Natan Pahabol mengatakan, setiap orang harus mendapatkan hak pendidikan yang sama. Karenanya penyelenggaraan pendidikan sepenuhnya merupakan tanggung jawab kepala daerah, yakni gubernur, bupati dan wali kota.
Apalagi kini, anggaran Otonomi Khusus bagi Papua sebagian besar dialokasikan ke kabupaten/kota. Anggaran itu dapat digunakan untuk mengatasi buta aksara di setiap daerah.
“Akarnya (pendidikan dasar) ini yang harus dibebani dulu. Kalau dasarnya tidak kuat, sulit. Orang mau sekolah setinggi apapun kalau pendidikan dari tingkat bawah, atau kampung tidak dibenahi, sulit,” ucapnya.
Ia menyarankan pemerintah bekerjasama dengan pihak lain, apabila kesulitan mengatasi masalah buta aksara ini. Misalnya pihak gereja. Sebab, peran pihak gereja dalam pendidikan di Papua tidak perlu diragukan lagi.
Sebelum pemerintah menyentuh pendidikan di kampung-kampung, pihak gereja lewat para misionaris, guru injil, tenaga pengajar sukarela dan berbagai cara lainnya, telah mengajar anak-anak hingga orang tua di kampung-kampung.
“Gerejakan punya data lengkap, dan sudah berpengalaman dalam mendidik masyarakat hingga ke kampung-kampung. Pemerintah kabupaten/kota cukup mendukung dan memfasilitasi apa yang diperlukan,” kata Natan Pahabol.
Politikus Partai Gerindra itu menambahkan, tolok ukur kesejahteraan di kabupaten/kota tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi warganya. Akan tetapi, warganya bisa membaca dan menulis atau tingkat pendidikan, juga merupakan salah satu tolok ukur.
“Saya pikir untuk mengatasi buta aksara, pemerintah daerah sebaliknya bekerjasama dengan pihak-pihak yang selama ini sudah berpengalaman, mendidik anak-anak di kampung-kampung. Misalnya gereja dan LSM. Pemerintah cukup memfasilitasi, mengawasi dan mengevaluasi,” ucapnya. (*)