Jayapura, Jubi – Menjadi dokter di tengah masyarakat dengan ketakutan irasional terhadap sihir yang datang dari berbagai budaya Papua Nugini tidaklah mudah. Dokter Raymond Kipakapu tumbuh dalam lingkungan dengan ketakutan serupa. Ia menyingkirkan ketakutan itu demi merawat para penyintas kekerasan karena tuduhan sihir.
Pemberitaan Radio New Zealand pada Jumat (28/2/2025), “The making of a doctor: Confronting ingrained beliefs and violence”, mengisahkan pertemuan pertama dokter Raymond Kipakapu dengan seorang penyintas Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir (SARV). Perjumpaan itu sangat mengerikan.
Korban yang ditanganinya itu adalah seorang perempuan tua yang menjadi korban kekerasan karena warga mencurigainya melakukan praktik sihir. Wanita tua itu dibawa ke rumah sakit dengan luka bakar parah di bagian kaki, lengan, dan bagian tubuh lainnya.
Putri korban, seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, juga mengalami kekerasan, meskipun lukanya yang tidak terlalu parah. Kedua wanita itu sempat ditahan dan disiksa selama berhari-hari, sebelum mereka dibebaskan dan dilarikan ke rumah sakit.
Situasi itu menyentuh hati dokter Raymond Kipakapu. Bukan hanya tingkat keparahan cedera perempuan tua itu yang membuat sang dokter muda itu tertekan. Ia baru beberapa tahun lulus dari sekolah kedokteran, dan ia seorang yang tumbuh dalam indoktrinasi budaya dan protokol tradisional.
Tidak mudah bagi Kipakapu untuk melepaskan keyakinan dari budaya yang kuat, termasuk ketakutan irasional terhadap hal mistik dan sihir. Tidak mudah baginya untuk menjadi manusia sains yang mengedepankan rasionalitas dan ilmu pengetahuan, dan fokus merawat pasiennya tanpa rasa takut kepada kutukan sihir. “Sejujurnya, saya agak takut,” katanya.
Berbagai kisah tentang perempuan tua yang bisa berubah bentuk dan memakan organ selalu ia dengar ketika Kipakapu kecil berada di dekat api unggun pada larut malam. Cerita itu kembali terngiang dalam benak dokter Kipakapu ketika ia melangkah memasuki ruangan tempat kedua perempuan itu dirawat.
Namun Kipakapu beruntung, karena dibimbing oleh tenaga kesehatan yang lebih berpengalaman. “Saya harus mengamati bagaimana tim saya bereaksi terhadap kasus tersebut,” katanya.
“Dengan banyaknya penanganan kasus di masa lalu, tim merasa percaya diri. Tanpa prasangka, mereka mendekati pasien. Saya hanya mengikuti arahan tim saya,” ujarnya.
Kipakapu menyadari ketakutan irasional terhadap sihir bukan hanya dialami tenaga medis muda seperti dirinya. Ada banyak orang dari beragam profesi di Papua Nugini yang juga memiliki ketakutan irasional terhadap sihir—ketakutan kolektif yang datang dari berbagai budaya Papua Nugini.
Dari Port Moresby ke Pusat Kesehatan Yampu
Karier medis dokter Kipakapu dimulai pada April 2018 di Rumah Sakit Umum Port Moresby. Di Ibu Kota Papua Nugini itu, ia menghabiskan hampir tiga tahun untuk mengasah keterampilannya di lingkungan perkotaan.
Bekerja di sana, di rumah sakit yang mengalami krisis sistem perawatan kesehatan karena kelebihan beban, mengajari Kipakapu dasar-dasar perawatan darurat, pembedahan, dan manajemen pasien. Namun, kepindahan tugasnya ke pedesaan di Tinsley, Western Highlands di Baiyer, membentuk ulang perspektif Kipakapu sebagai seorang dokter.
Di daerah terpencil seperti pedesaan di Tinsley, daerah yang jauh dari sumber daya ibu kota, Kipakapu belajar beradaptasi. Ia menangani segala hal, mulai dari malaria hingga keadaan darurat dengan peralatan terbatas.
Di Pusat Kesehatan Yampu yang berada di Enga, sudut pandangnya mengenai keadaan darurat medis dan perawatan pasien berubah. Sejak diperbantukan dari Otoritas Kesehatan Provinsi Enga ke Layanan Kesehatan Katolik, Kipakapu menjadi salah satu dari sedikit dokter di Papua Nugini yang menangani secara khusus para penyintas Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir atau SARV.
“Banyak pasien datang dengan luka bakar derajat pertama, kedua, dan ketiga. Kami telah melihat kasus-kasus orang yang disiksa selama berhari-hari. [Selama] dua hari, tiga hari, orang-orang menahan mereka di luar, menggantung mereka dengan kawat, dan terus menyiksa mereka sampai mereka mendapat pengakuan bersalah,” ujarnyal
Pada 2024, ia dan timnya menangani 20 korban Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir atau SARV. Semua kasus itu hanyalah kasus SARV dari Provinsi Enga saja.
Puncak gunung es
Kasus di Enga hanyalah indikasi kecil dari masalah tuduhan sihir yang terjadi di seluruh negeri yang mengarah pada kekerasan. Dalam 10 tahun terakhir, wanita, pria, dan anak-anak telah menjadi korban kekerasan SARV.
Dalam banyak kasus, kekerasan direkam di telepon seluler dan diunggah di media sosial. Ketidaktahuan umum tercermin dalam banyaknya komentar para pengguna media sosial di Papua Nugini, membuat mereka mendukung dan mendorong kekerasan.
Pada 2017, tindakan cepat oleh polisi Lae berhasil menyelamatkan seorang wanita di Lae yang akan disiksa. Tetangganya menuduhnya melakukan sihir, setelah suami tetangganya itu meninggal karena penyakit yang tidak terkait.
Beberapa hari kemudian, seorang wanita lain dibunuh dan jasadnya dibuang di area yang sama.
Sebuah studi multi-tahun di Provinsi Enga mendokumentasikan 198 insiden SARV, dan menyoroti sifat masalah Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir yang meluas. Studi itu juga mengulas dampak Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir terhadap keselamatan anak-anak di Papua Nugini. Banyak kasus yang melibatkan korban muda atau anggota keluarga yang terdampak.
Menurut Yayasan Suku Papua Nugini, sebuah organisasi yang berupaya menyelamatkan wanita dan anak-anak, dalam rentang waktu 2016 hingga 2021, ada lebih dari 6.000 kasus SARV tercatat di seluruh negeri. Statistik itu menggambarkan kebutuhan mendesak adanya intervensi dan dukungan untuk mengatasi dampak buruk SARV terhadap individu dan masyarakat.
Musuh yang tak terlihat
Memerangi SARV secara efektif berarti menghadapi serangkaian faktor pemicu yang kompleks. Kepercayaan budaya yang mengakar kuat memberikan kontribusi besar terhadap terjadinya Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir.
Bagi dokter Kipakapu, buku teks kedokteran kurang mampu membahas akar penyebab SARV. “Di Enga, ketika Anda berbicara, Anda harus berbicara dalam posisi [sebagai pihak] berwenang,” katanya.
“Anda harus menjalani jalan tersebut, agar [publik] dapat mempercayai kata-kata Anda. Saya bukan pendeta. Jadi, ketika saya berbicara, saya hanya dapat melakukannya dari sudut pandang medis,” kata Kipakapu.
Kipakapu telah berupaya untuk menarik perhatian publik kepada gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan trauma generasi yang memengaruhi anak-anak korban SARV. Dalam budaya di mana pembalasan dendam merupakan hal biasa, Kekerasan Terkait Tuduhan Sihir biasanya berlanjut dengan kekerasan lainnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!