Jayapura, Jubi – Rencana pemerintah Australia untuk merekrut warga Papua Nugini ke dalam Angkatan Pertahanan Australia (ADF) memunculkan beragam tanggapan. Asosiasi Pertahanan Australia menyatakan kekhawatiran etis yang besar, sementara pakar lainnya menilai rencana itu sebagai langkah positif dalam mempererat hubungan kedua negara.
Australia dan Papua Nugini akan memulai perundingan perjanjian pertahanan baru, yang kemungkinan akan mencakup perekrutan warga Papua Nugini ke dalam ADF. Demikian dikutip Jubi.id dari laman RNZ Pasifik, Jumat (9/5/2025).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertahanan Australia, Neil James, menilai bahwa rencana ini bisa menjadi “ide yang bodoh” jika tidak disertai jalur yang jelas menuju kewarganegaraan bagi warga Papua Nugini yang bergabung dengan ADF.
“Anda tidak bisa berharap orang asing membela negara Anda tanpa memberikan hubungan yang jelas dengan masyarakat tersebut. Sampai skema ini memiliki rincian yang tepat, kita belum tahu apakah ini ide bagus atau justru kebijakan yang keliru dalam jangka panjang,” ujar James.
Namun, pakar keamanan dari Sekolah Tinggi Keamanan Nasional Universitas Nasional Australia, Jennifer Parker, justru memandang rencana ini secara positif.
“Australia bisa membangun hubungan yang lebih erat dengan Papua Nugini melalui kerja sama militer. Penyerbukan silang antar personel angkatan bersenjata akan memberikan dampak positif,” ujarnya.
Parker mengakui bahwa format perekrutan belum ditentukan secara jelas, termasuk apakah akan ada jalur menuju kewarganegaraan atau unit khusus dari Papua Nugini di dalam ADF.
Saat ditanya apakah etis bagi warga Papua Nugini untuk bertempur bagi Australia, Parker menilai skenario semacam itu merupakan situasi ekstrem.
“Kita tidak sedang membicarakan perekrutan paksa atau eksploitasi. Ini soal membuka peluang bagi mereka yang secara sukarela ingin bergabung,” tambahnya.
Namun, James tetap menekankan bahwa aspek etis menjadi masalah utama, terlepas dari apakah perekrutan bersifat sukarela atau wajib.
“Mereka tetaplah orang asing yang diminta membela masyarakat yang mungkin tidak mereka kenal atau miliki keterikatan emosional,” tegasnya.
Keduanya juga menyuarakan kekhawatiran mengenai potensi brain drain. James mencontohkan kasus di Timor-Leste, di mana sejumlah besar warga Selandia Baru yang awalnya bertugas dalam operasi gabungan akhirnya bergabung ke ADF karena iming-iming gaji yang lebih tinggi. Hal itu, menurutnya, tidak menguntungkan baik bagi Selandia Baru maupun Australia.
“Kita harus berhati-hati agar tidak justru melemahkan Angkatan Pertahanan Papua Nugini dengan memberikan jalan pintas untuk pindah ke ADF,” ujarnya.
Parker sepakat bahwa kebijakan tersebut harus dirancang dengan hati-hati agar tidak merugikan Papua Nugini dan justru memperkuat hubungan bilateral.
Australia sendiri menargetkan peningkatan jumlah personel ADF menjadi 80.000 pada tahun 2040, namun target tersebut belum tercapai. Meski begitu, Parker menampik anggapan bahwa rencana perekrutan dari Papua Nugini dimaksudkan untuk menutup kekurangan tersebut.
“Ada tantangan dalam perekrutan militer di Australia, tapi saya tidak melihat kebijakan ini sebagai upaya menambal kekurangan personel. Ini lebih pada upaya mempererat hubungan keamanan di kawasan,” pungkasnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!