Jayapura, Jubi – Tiga hari pembicaraan intensif di Kaledonia Baru belum menghasilkan kesepakatan terkait status politik masa depan wilayah jajahan Prancis di Pasifik itu.
Diskusi yang digelar sejak Senin (5/5/2025) bersama Menteri Luar Negeri Prancis Manuel Valls dan penasihat khusus PM Prancis, Eric Thiers, dipindahkan dari Nouméa ke resor pantai Bourail, sekitar 200 kilometer dari ibu kota. Pertemuan ini disebut sebagai “konklaf”, mengacu pada pemilihan Paus di Roma yang berlangsung minggu ini. Namun, belum ada “asap putih”—penanda tercapainya kesepakatan.
Di bawah pengamanan ketat, delegasi dari kubu pro-Prancis seperti Les Loyalistes, Le Rassemblement, dan Calédonie Ensemble, serta kubu pro-kemerdekaan seperti FLNKS dan UNI-PALIKA, dikarantina secara terpisah. Tujuannya untuk merundingkan kesepakatan pengganti Nouméa Accord 1998.

Diskusi dijadwalkan berakhir Rabu (7/5/2025), namun diperpanjang hingga Kamis, bahkan kemungkinan lebih lama. Valls menyatakan siap tinggal “selama diperlukan” demi kesepakatan yang inklusif.
Valls menggambarkan situasi ini sebagai “berjalan di atas bara api,” dan menegaskan pilihannya: “antara kesepakatan atau kekacauan.”
Topik paling sensitif menyangkut status politik Kaledonia Baru dan hubungan masa depannya dengan Prancis, termasuk kewarganegaraan, serta transfer kewenangan strategis seperti pertahanan, hukum, dan kebijakan luar negeri dari Paris ke Nouméa.
Kubu pro-kemerdekaan menuntut kedaulatan penuh, sementara kelompok pro-Prancis menolak “kemerdekaan dalam bentuk apa pun.” Mereka bahkan menentang gagasan “asosiasi kemerdekaan”, dan mengusulkan pelimpahan kekuasaan fiskal ke tiga provinsi sebagai alternatif, yang dinilai beberapa pihak sebagai bentuk partisi wilayah.
Dalam pernyataan Minggu (4/5/2025), FLNKS menegaskan tujuan akhir mereka: aksesi Kaledonia Baru (Kanaky) ke dalam kedaulatan penuh. Di sisi lain, politisi pro-Prancis seperti Virginie Ruffenach mengkritik keras ide pemindahan kekuasaan. “Ini berarti tanah Kaledonia Baru bukan lagi bagian dari Prancis. Itu tidak bisa kami terima,” katanya kepada NC La 1ère.
Pembicaraan ini berlangsung hampir setahun setelah kerusuhan Mei 2024 yang menewaskan 14 orang dan menyebabkan kerusakan lebih dari €2,2 miliar. Diskusi juga bertepatan dengan sejumlah peringatan penting dalam sejarah politik Kaledonia Baru:
- 5 Mei 1988: Penyerbuan berdarah oleh pasukan khusus Prancis di gua Ouvéa, menewaskan 19 militan Kanak dan dua polisi.
- 4 Mei 1989: Pemimpin pro-kemerdekaan Jean-Marie Tjibaou dan Yeiwene Yeiwene dibunuh oleh rekan seperjuangan mereka sendiri.
- 5 Mei 1998: Penandatanganan Nouméa Accord, yang menjadi kerangka transisi bertahap menuju otonomi dan memungkinkan referendum penentuan nasib sendiri.
Tiga referendum telah digelar pada 2018, 2020, dan 2021—semuanya menolak kemerdekaan. Namun, referendum terakhir diboikot oleh kelompok pro-kemerdekaan dan dinilai tidak sah.
Valls menekankan bahwa pembicaraan ini bertujuan menyusun kerangka baru menggantikan Nouméa Accord, dan membawa Kaledonia Baru menuju konstitusi sendiri sebagai bagian dari proses dekolonisasi yang belum selesai.
“Benangnya belum putus. Tapi kita butuh lebih banyak waktu,” ujar seorang sumber kepada media lokal. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!