Jayapura, Jubi – Krisis politik dan keamanan melahirkan arus pengungsian warga di sejumlah daerah di Tanah Papua. Mereka menyelamatkan diri karena tidak ingin menjadi sasaran kekerasan dari aparat keamanan maupun kelompok bersenjata.
Arus pengungsian menjadi salah satu bagian dari sejarah panjang Bangsa Papua. Gelombang pengungsian pertama tercatat terjadi pada masa-masa awal aneksasi di Tanah Papua, sekitar 1963.
Pengungsi tersebut terdiri atas enam mahasiswa kedokteran Papua Medical College di Papua Nugini. Mereka ialah Hein Danowira, Peter Pangkatana, Chris Marjen, Saweri, Suebu, dan Fiay. Selain itu, ada rombongan Wanma, dan kawan-kawan yang berkuliah di bidang telekomunikasi di Kota Lae, Papua Nugini.
Sebagian dari generasi pertama pengungsi Papua tersebut menetap hingga meninggal di Papua Nugini. Keturunan mereka banyak yang sukses di tanah pengungsian. Ada yang menjadi pilot dan teknisi pesawat terbang. Ada pula menjadi tentara di angkatan darat Papua Nugini.
Pengungsian berikutnya terjadi seusai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Moses Werror, Simon Messet, Johanes Songgonao, dan kawan-kawan melarikan diri ke Papua Nugini melalui wiayah perbatasan di Vanimo. Sebelumnya, keluarga jurnalis Benarnews Herlyne Joku juga mengungsi ke Papua Nugini pada 1965, dan menetap di Port Moresby.
Gelombang terbesar pengungsi dari Tanah Papua terjadi pada era 1980. Berdasarkan catatan Komisi Migrasi Katolik Internasional (ICMC), sebanyak 12 ribu orang Papua melintasi perbatasan Papua Nugini pada era tersebut.
Majalah Tempo edisi 9 Juni 1984 melaporkan terdapat 7.000 pengungsi Papua berada di perbatasan Papua Nugini pada April di tahun tersebut. Majalah Tempo dalam laporan mereka juga menyebut keberadaan para pelintas tersebut sulit untuk dipulangkan kembali ke Papua.
Para pengungsi Papua itu, kini telah beranak-pinak. Sekitar 2.000, di antara mereka menetap pada kamp-kamp liar tanpa status kewarganegaraan di Port Moresby, Papua Nugini. Kondisi itu berlangsung selama dua generasi.
Mengutip laporan Lembaga Layanan Pengungsi Jesuit (JRS), lebih 9.000 penggungsi dan pencari suaka Papua berada di Provinsi Barat, Papua Nugini. Mereka menetap di kamp-kamp di daerah perbatasan dengan Indonesia, dan wilayah perkotaan.

Minim bantuan
Para pengungsi Papua dihinggapi frustrasi mendalam karena nasib mereka terkatung-katung selama lebih 20 tahun. Mereka kesulitan mengakses layanan kebutuhan dasar, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan permukiman layak akibat ketidakjelasan status kewarganegaraan.
“Di mata dunia, kami sedang tenggelam [seakan tidak berharga lagi]. Yang tersisa [mereka kenang], hanyalah kisah kami,” kata Teresa, seorang pengungsi Papua, dikutip apr.jrs.net. Teresa berusia sekitar 70 tahun. Dia menetap di Awin Timur, Papua Nugini.
Nasib tidak kalah mengenaskan juga menimpa para pengungsi di Iowara-Awin Timur. Lokasi pengungsian tersebut didirikan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) pada 1989. Meskipun telah direlokasi ke Vanimo, kondisi mereka nyaris serupa dengan pengungsi lain.
Menurut laporan ICMC pada 2023, para pengungsi, dan pencari suaka asal Papua nyaris tidak pernah menerima bantuan dari siapa pun. Mereka pun hidup dengan kondisi memprihatinkan.
“Mereka hampir tidak pernah menerima bantuan dari siapa pun. Kecuali, bantuan secara diam-diam dari misi Katolik di Papua Nugini.” Demikian pernyataan ICMC dalam laman resmi mereka, icmc.net.
ICMC mulai membangun sejumlah sarana dan fasilitas umum di lokasi pengungsian di Vanimo pada Juli 2023. Mereka bermitra dengan Konferensi Waligereja Katolik Papua Nugini dan Kepulauan Solomon (CBCPNGSI).
Direktur Advokasi JRS Asia Pasifik Junita Calder mengatakan kehidupan para pengungsi sangat rentan. Keberadaan mereka tidak mendapat perlindungan hukum dari Pemerintah Papua Nugini.
“Pengungsi terus menderita akibat sulitnya proses naturalisasi. Kehidupan mereka menjadi rentan karena tidak dilindungi undang undang [Papua Nugini],” kata Calder.
Harapan para pengungsi untuk hidup layak, makin berat, mengingat Papua Nugini juga masih dililit dengan persoalan kesejahteraan. Tercatat sekitar tujuh juta atau 70 persen penduduk mereka hidup dalam kemiskinan. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!