Jayapura, Jubi – Militer Indonesia mengambil peran utama dalam rencana untuk mengubah lebih dari 2 juta hektar lahan basah dan sabana di Papua Selatan menjadi lahan persawahan dan perkebunan tebu.
Pembangunan ini bertujuan meningkatkan ketahanan pangan, namun menurut para pegiat konservasi, langkah ini mengancam lingkungan yang mereka sebut sebagai “harta karun” alam di tanah Papua.
Keterlibatan militer menambah persepsi bahwa mereka semakin banyak menginvasi wilayah sipil di Indonesia. Hal ini juga memicu peringatan bahwa situasi tersebut dapat mengarah pada kekerasan di Merauke, sebuah kabupaten di provinsi Papua Selatan yang menjadi target pengembangan lumbung pangan besar-besaran.
Hingga kini, wilayah ini sebagian besar terhindar dari konflik bersenjata yang telah berlangsung puluhan tahun antara pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua yang menginginkan kemerdekaan.
Rencana tersebut merupakan bagian dari ambisi pemerintah agar Indonesia, negara berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa, mencapai swasembada pangan dan energi. Namun, langkah ini juga menyoroti ketegangan global antara pembangunan ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah dan upaya pelestarian ekosistem yang semakin terancam.
Proyek padi dan tebu di Merauke mencakup sekitar seperlima dari dataran rendah TransFly, kawasan seluas 10.000 kilometer persegi yang melintasi perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Kawasan ini dikenal karena keanekaragaman hayatinya yang unik, dan namanya berasal dari Sungai Fly, yang membentuk sebagian besar garis perbatasan kedua negara di pulau Nugini.
Menurut Eric Wikramanayake, seorang ahli biologi konservasi yang mempelajari kawasan ini, TransFly merupakan “hamparan lahan basah, padang rumput, dan hutan hujan tropis yang luar biasa secara global.”
Kawasan ini menjadi rumah bagi setengah dari seluruh spesies burung yang ditemukan di Papua Nugini, termasuk sekitar 80 spesies yang tidak ditemukan di tempat lain. Selain itu, TransFly juga menjadi habitat bagi hewan endemik lainnya seperti kura-kura hidung babi dan marsupial karnivora mirip kucing.
World Wildlife Fund (WWF) menyebut kawasan ini sebagai “harta karun global.” Usulan untuk memasukkan TransFly sebagai Warisan Dunia menegaskan bahwa tidak ada tempat lain di kawasan tersebut yang dapat menyainginya, termasuk Taman Nasional Kakadu di Australia utara yang terkenal.
“Jika sebagian besar TransFly diubah menjadi lahan pertanian, maka penilaian konservasi kawasan ini akan berubah dan membuatnya jauh lebih terancam,” ujar Wikramanayake.
“Ini seperti membuka kaleng cacing, yang dapat membuka jalan bagi pengembangan lebih lanjut,” tambahnya.
Mayor Jenderal Ahmad Rizal Ramdhani, yang memimpin Satuan Tugas Ketahanan Pangan Nasional Indonesia, menyatakan bahwa wilayah yang akan dikembangkan merupakan rawa-rawa yang berpotensi tinggi jika diubah menjadi lahan pertanian. Ramdhani mengatakan bahwa proyek beras seluas 1 juta hektar didanai pemerintah dan akan diawasi oleh militer serta Kementerian Pertanian. Sedangkan, perkebunan tebu dan industri bioetanol akan didanai oleh investor swasta.
Dalam wawancara podcast berdurasi 40 menit dengan Radio Indonesia pada Agustus lalu, Ramdhani, yang mengenakan penutup kepala adat Papua, menekankan bahwa masyarakat Papua akan mendapatkan bantuan dari militer untuk mengolah tanah adat mereka. Ia juga menjamin bahwa kawasan konservasi dan sakral akan dilindungi, serta tanah akan tetap menjadi milik masyarakat adat Papua.
Namun, dalam pernyataan yang terlihat kontradiktif, Ramdhani menyebut bahwa konversi lahan ini harus dilakukan dalam tiga tahun demi memastikan ketahanan pangan, namun sebagian besar hasil panen akan diekspor ke negara-negara Pasifik dan Australia karena terlalu mahal untuk dikirim ke Jawa, pulau terpadat di Indonesia.
Analisis peta penggunaan lahan menunjukkan bahwa area yang ditargetkan untuk proyek tumpang tindih dengan kawasan konservasi, tempat suci adat, jalur leluhur, dan lokasi perburuan. Franky Samperante, direktur organisasi masyarakat sipil Indonesia Pusaka, menyatakan bahwa lebih dari 200 ekskavator telah mulai membersihkan lahan basah, hutan adat, dan tanah lain milik masyarakat adat Malind Makleuw di Ilwayab, Merauke.
Pada 24 September 2024, anggota masyarakat menggelar protes selama resepsi bagi pejabat Indonesia. Perempuan Papua dengan wajah berlumuran lumpur putih sebagai simbol kesedihan mengenakan plakat yang bertuliskan “Kami menolak perusahaan Jhonlin Group,” sebuah konglomerat Indonesia yang terlibat dalam proyek tersebut.
Upaya sebelumnya oleh pemerintah dan militer untuk mengembangkan pertanian di Merauke, termasuk dalam dekade terakhir, telah menyebabkan perampasan tanah dan masalah sosial lainnya.
Kepemimpinan militer dalam proyek ini menambah persepsi bahwa militer semakin menyusup ke wilayah sipil, menurut para peneliti keamanan Indonesia. Raden Mokhamad Luthfi, seorang analis militer dari Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan bahwa proyek ini berisiko memicu sentimen pro-kemerdekaan dan kemarahan terkait kerusakan lingkungan.
“Ada risiko nyata bahwa proyek ini dapat memicu kebencian baru dari OPM [Organisasi Papua Merdeka], yang mungkin melihatnya sebagai bukti lebih lanjut tentang ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan yang dihadapi oleh orang Papua,” kata Luthfi kepada BenarNews yang dikutip oleh Jubi.
Hipolitus Wangge, peneliti dari Universitas Nasional Australia, menambahkan bahwa militer berhasil meredam ketidakpuasan selama program serupa yang gagal pada dekade lalu. Namun, ia memperingatkan kemungkinan pertumpahan darah dalam lima tahun ke depan jika program ini tetap dilanjutkan.
Upaya untuk melindungi kawasan TransFly telah mengalami hambatan. Pada awal 2000-an, WWF dan kelompok konservasi lain berusaha mengembangkan rencana konservasi yang komprehensif untuk TransFly. Namun, pada 2016, program konservasi tersebut berakhir karena ketidakamanan di Papua dan kurangnya sumber daya.
“Kami memahami bahwa pemerintah memprioritaskan pembangunan [pertanian] ini untuk memenuhi permintaan pangan yang terus meningkat dan mendukung tujuan ketahanan pangan nasional,” kata Diah Sulistiowati, juru bicara WWF Indonesia kepada Radio Free Asia.
Sulistiowati menyatakan bahwa WWF Indonesia berupaya memastikan pengembangan TransFly tetap menghormati nilai ekologi dan budaya yang kaya melalui rekomendasi masa lalu untuk perlindungan kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi, situs warisan budaya, dan kawasan penting bagi masyarakat adat.
Selain itu, TransFly merupakan salah satu dari sedikit persinggahan bagi burung-burung migrasi yang menggunakan jalur penerbangan Asia. “Beberapa habitat lahan basah dan burung yang digunakan dalam migrasi ini harus dilestarikan,” ujar Wikramanayake, sembari memperingatkan bahwa hilangnya habitat tersebut bisa memicu keruntuhan jalur terbang burung migrasi yang telah ada selama ribuan tahun. (*)