Jayapura, Jubi — Setelah referendum pada 2019, Papua Nugini (PNG) terus menghadapi perdebatan mengenai kemerdekaan Bougainville. Meskipun hasil referendum menunjukkan bahwa mayoritas warga Bougainville mendukung kemerdekaan, keputusan akhir tetap berada di tangan Parlemen PNG di Port Moresby.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah provinsi-provinsi lain di PNG akan mengikuti jejak Bougainville untuk menuntut otonomi atau kemerdekaan?
Dalam artikel yang ditulis oleh James Stiefvater, seorang kandidat PhD di Massey University, Selandia Baru, diskusi mengenai otonomi khusus dan desentralisasi di Bougainville dan PNG terus menjadi topik hangat. Artikel ini diterbitkan di Devpolicy Blog dan dikutip oleh jubi.id dari www.rnz.co.nz, Selasa (1/10/2024).
Bougainville telah lama mempertanyakan hubungannya dengan PNG, bahkan sebelum tambang Panguna dikembangkan. Perjanjian Damai Bougainville (BPA) tahun 2001, yang didasarkan pada tiga pilar—otonomi, pembuangan senjata, dan referendum—menjadi landasan utama dalam upaya Bougainville menuju kemerdekaan.
“Otonomi memberi Bougainville hak untuk memiliki konstitusi lokal dan kekuasaan yang berkembang seiring waktu,” tulis Stiefvater.
“Namun, otonomi ini lebih dianggap sebagai jalur menuju kemerdekaan, bukan kondisi permanen,” sambungnya dalam artikel tersebut.
Referendum 2019 mengkonfirmasi keinginan mayoritas warga Bougainville untuk kemerdekaan dengan hasil suara sebesar 98,31 persen yang menolak opsi otonomi yang lebih besar dan memilih kemerdekaan penuh.
Di wilayah pedesaan seperti Konnou di Bougainville Selatan, meskipun ada dukungan untuk otonomi, banyak warga merasa belum mendapatkan manfaat nyata dari status ini. Seorang warga setempat berkomentar, “Kami hanya berjalan sesuai nama otonomi, tapi belum mencicipi isinya.”
Di ibu kota provinsi, Buka, beberapa pegawai negeri sipil menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi di Bougainville terhambat oleh birokrasi. Salah satu mantan pejuang yang kini menjadi calon presiden mengakui bahwa proses memindahkan kewenangan dari Port Moresby ke Buka berjalan lambat.
Selain Bougainville, provinsi lain seperti East New Britain (ENB), Enga, dan New Ireland juga menginginkan otonomi khusus. Sejarah panjang perjuangan untuk mengendalikan sumber daya dan tata kelola lokal menjadi pendorong utama.
Provinsi East New Britain, yang didominasi oleh suku Tolai, memiliki catatan panjang dalam menuntut otonomi. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, Asosiasi Mataungan menentang kendali kolonial atas pertanian dan tanah. Kemudian, pada awal 2000-an, provinsi ini secara aktif mengupayakan otonomi khusus sebagai reaksi terhadap perubahan dalam pemerintahan lokal dan provinsi yang diberlakukan pada 1995 oleh OLPGLLG.
Dukungan untuk otonomi khusus di ENB sangat kuat di daerah Rabaul dan Kokopo. Namun, di daerah pedesaan, banyak masyarakat yang meragukan bahwa otonomi akan membawa perubahan berarti bagi mereka. Seorang warga distrik Pomio menyatakan, “East New Britain tidak memiliki arti penting karena orang Tolai tidak berbagi dengan baik.”
Penduduk di daerah pedesaan merasa bahwa pendapatan dari sumber daya mereka, seperti kayu, ikan, kelapa, kakao, dan minyak sawit, mengalir ke ibu kota provinsi dan ke Port Moresby, sementara hanya sebagian kecil yang kembali kepada mereka. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan, terutama di distrik seperti Gazelle, di mana ide untuk memisahkan diri dari ENB sempat dibahas. (*)