Jayapura, Jubi – Kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT masih sangat tinggi di Melanesia. Laporan Entitas Internasional untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan atau UN Women menyebut prevalensi kasus tersebut mencapai 30 persen dalam setahun terakhir di Melanesia.
Laporan UN Women disampaikan dalam Tinjauan antarpemerintah Regional Asia-Pasifik tentang Deklarasi dan Platform Aksi Beijing (BPfA). BPfA merupakan hasil kesepakatan bersama Konferensi Internasional tentang Perempuan pada 1995, di Bejing, Tiongkok. BPfA telah diadopsi 189 negara.
Ada 12 fokus utama BPfA. Fokus tersebut mencakup isu perempuan dengan kemiskinan, pendidikan, pelatihan, kekerasan, serta kepemimpinan atau kesetaraan gender.
UN Women juga mencatat prevalensi kasus KDRT mencapai 22 persen di Mikronesia, dan 19 persen di Polinesia dalam setahun terakhir. Jika dikalkulasikan, akumulasi KDRT di Melanesi, Mikronesia, dan Polinesia juga masih sangat tinggi.
Di Melanesia, prevalensinya mencapai 51 persen. Adapun Mikronesia sebesar 41 persen, dan Polinesia 39 persen. Sementara itu, di Asia Selatan sebesar 35 persen, Asia Barat 29 persen, serta Australia ,dan Selandia Baru 23 persen.
Mengutip sebuah studi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kepulauan Solomon, Laporan UN Women menyebut KDRT menggerus produktivitas perempuan. Tingkat kehilangan produktivitasnya mencapai 15 juta dolar atau Rp238 miliar pada 2021.
“Kekerasan berbasis gender berakar pada norma sosial, yakni hak, dan keistimewaan laki-laki atas [kehidupan] perempuan. Dampak kekerasannya jauh melampaui trauma fisik, dan emosional bagi penyintas, dan itu dapat berlangsung sepanjang hidup mereka.” Demikian laporan UN Women, yang dikutip RNZ, Senin (25/11/2024).
UN Women memantau terjadi kemajuan berarti dalam pencapaian kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan di Asia-Pasifik, sejak pengadopsian BPfA. Namun, masih terdapat tantang kritis dalam pencapaiannya. Karena itu, mereka memberi beberapa rekomendasi, termasuk dalam mengubah norma sosial gender di Asia-Pasifik.
Kampanye global
Untuk mengatasi salah satu permasalahan dunia tersebut, Perserikatan Bangsa Bangsa pada hari ini memulai kembali Kampanye Global 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan. Perdana Menteri Sitiveni Rabuka pun memastikan Fiji mengambil bagian dalam kampanye tersebut.
“Permasalahan ini menuntut tindakan kolektif. Semua punya peranan dalam menantang setiap sikap yang menormalkan kekerasan atau diskriminasi. [Peran itu] tidak hanya selama 16 hari, tetapi setiap hari di sepanjang tahun,” kata Rabuka.
Rabuka menegaskan pencegahan kekerasan bukan semata tentang kebijakan dan program pemerintah. Namun, juga menyangkut penanaman nilai-nilai kebajikan di keluarga.
“Kekerasan juga dapat dicegah melalui pengajaran nilai-nilai kebaikan kepada anak di setiap keluarga. Rasa hormat dan empati dalam keluarga meletakkan dasar bagi masyarakat dalam mewujudkan kebebasan dari kekerasan,” kata Rabuka.
Sementara itu, Program Pencegahan Kekerasan Atu-Mai Le Va meluncurkan kampanye pencegahan seksual terhadap anak, di Aotearoa, Selandia Baru. Pencegahan itu, di antaranya mencakup aksi pelapor, dan pelopor.
“Kekerasan seksual adalah topik yang tidak mengenakan, tetapi [akibatnya] berdampak signifikan terhadap masyarakat. Kami berharap sumber daya [kampanye] ini membantu masyarakat sehingga lebih peka terhadap budaya [antikekerasan],” kata Paul Tupou-Vea, Manajer Senior Pencegahan Kekerasan Atu-Mai Le Va. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!