Jayapura, Jubi – Pemerintah di wilayah otonomi Papua Nugini, Bougainville, menyambut baik apa yang disebut sebagai kemajuan nyata dalam pembukaan kembali proyek tambang Panguna.
Tambang tersebut, yang ditutup 35 tahun lalu, dipandang oleh pemerintah Bougainville sebagai cara terbaik, untuk mengembangkan ekonomi yang layak saat negara itu mengincar kemerdekaan. Demikian dikutip dari rnz.co.nz, Selasa (26/11/2024).
Pemilik tanah dan Bougainville Copper Ltd kini telah menandatangani Perjanjian Kompensasi Akses Lahan, sepuluh bulan setelah pemerintah memperbarui izin eksplorasi perusahaan.
Perjanjian akses sangat penting sebelum eksplorasi lokasi tambang dapat dimulai. Presiden Bougainville Ishmael Toroama, yang juga Menteri Pertambangan, mengatakan ini merupakan langkah lain dalam siklus hidup penambangan proyek Panguna.
Ia mendesak BCL untuk menjaga hubungan kerja sama dengan pemilik tanah guna memastikan kelancaran kemajuan proyek.
Sekretaris departemen pertambangan ABG, Peter Kolotein, mengatakan penandatanganan ini penting karena berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Bougainville, pemegang izin eksplorasi harus memiliki izin dari pemilik tanah sebelum memasuki tanah tersebut.
Ia mengatakan bahwa, 35 tahun sejak penutupan tambang, kini ada kemajuan pembangunan kembali yang nyata melalui proses konsultatif yang inklusif.
Tambang Panguna di wilayah Otonomi Bougainville beroperasi sebelum kemerdekaan Papua Nugini 16 September 1975 di bawah menejemen Rio Tinto Mining. Selanjutnya tambang ini ditutup pada 1989 akibat perang saudara antara Red Army Bougainville pimpinan Francis Ona melawan Tentara Nasional Papua New Guinea (PNGDF).
Konflik tambang Bougainville waktu itu menelan korban sebanyak 20.000 orang, hampir 10 persen dari populasi penduduk di Papua Nugini tewas setelahnya.
Perusahaan tambang Anglo Australia Rio Tinto pernah menambang di Bougainville sebelum kemerdekaan Papua Nugini, 1975, dan kini telah menjadi subyek dan minat yang kuat dari para spekulan tambang yang ingin berinvestasi.
RNZ Pasifik telah melaporkan pekan lalu bahwa raksasa pertambangan Rio Tinto dan pemerintah di wilayah otonomi Papua Nugini Bougainville, akan membentuk meja bundar untuk membahas temuan Penilaian Dampak Warisan tambang Panguna (PLMIA).
Laporan tersebut akan keluar dalam beberapa hari, tetapi laporan awal menunjukkan bahwa tambang tersebut, yang telah menganggur selama 35 tahun, tetap menjadi sumber ancaman besar terhadap lingkungan dan hak asasi manusia.
Penilaian tersebut didanai oleh Rio Tinto, dan diprakarsai oleh masyarakat di Panguna dengan bantuan Pusat Hukum Hak Asasi Manusia Australia.
Berdasarkan nota kesepahaman tersebut, para pihak yang terlibat dalam diskusi panel, yang juga mencakup Bougainville Copper Ltd [yang merupakan anak perusahaan Rio Tinto hingga perusahaan tersebut memberikan sahamnya kepada Pemerintah Papua Nugini dan Bougainville], akan bekerja sama, berkonsultasi dengan masyarakat terdampak, dan menetapkan proses untuk menyetujui cara mengatasi dampak aktual dan potensial yang teridentifikasi.
Dalam sebuah pernyataan, Rio Tinto, yang tidak pernah berkomitmen untuk membayar kerusakan yang disebabkan oleh tambang yang pernah dimilikinya, mengatakan bahwa nota kesepahaman tersebut akan mencakup pembentukan mekanisme pemulihan yang sesuai dengan Prinsip-Prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, Melchior Togolo, ketua Bougainville Copper Limited (BCL), mengatakan kepada Financial Times bahwa permintaan tembaga diperkirakan akan berlipat ganda menjadi 50 juta ton per tahun pada 2035 dibandingkan dengan 2021.
Togolo mengatakan kebutuhan global akan tembaga telah meningkatkan dorongan untuk bergerak maju di Panguna, yang diperkirakan mengandung 5,3 juta ton tembaga dan 19,3 juta ons emas. “Tembaga adalah logam transisi. Logam energi hijau,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!