Jayapura, Jubi – Jenderal Egianus Kogoya, Komandan Daerah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), telah membebaskan pilot Selandia Baru, Philip Mehrtens pada 21 September 2024. Ia membantah adanya suap yang mempengaruhi pembebasan Mehrtens, dan memberikan penjelasan tentang motif sebenarnya dibalik penculikan dan pembebasan tersebut.
Egianus Kogoya mengklaim kelompoknya telah mencapai misi mereka untuk meningkatkan kesadaran internasional atas kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia, demikian laporan yang dilansir Jubi.id ini dari rnz.co.nz, Senin (14/10/2024).
Philip Mehrtens diculik oleh kelompok pemberontak TPNPB pada Februari 2023 dan disandera selama lebih dari satu setengah tahun sebelum dibebaskan pada 21 September.
Mehrtens yang berasal dari Christchurch, kini telah berkumpul kembali dengan istri dan putranya yang tinggal di Bali. Kakak laki-lakinya, Chris, kini sedang menggalang dukungan donasi di halaman Givealittle untuk mendukungnya.
“Ini merupakan masa traumatis bagi Phil, istri, dan putranya, dan mungkin butuh waktu berbulan-bulan bagi mereka untuk membangun kembali kehidupannya,” kata Chris.
Saat Mehrtens kembali berintegrasi ke kehidupan “normal”, Kogoya, yang berusia 20 tahun, seorang pemimpin sayap bersenjata Gerakan Papua Merdeka, menjelaskan alasan menyandera Mehrtens.
Ia memulai dengan membantah adanya suap dalam pembebasan itu. “Tidak ada suap. Tidak ada suap yang diterima atau akan diterima. Mana buktinya?” kata Kogoya yang dikutip rnz.co.id (14/10/2024).
Ia mengatakan pembebasan Mehrtens itu dilakukan karena “alasan kemanusiaan”.
Setelah pembebasan Mehrtens, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Sebby Sambom mengklaim Kogoya telah disuap oleh seorang politisi lokal.
Namun, Kogoya mengklaim Sambom bersikap “emosional” karena dia tidak terlibat dalam negosiasi pembebasan.
Dalam pernyataannya, Kedutaan Besar Indonesia di Wellington mengatakan, “aparat keamanan hanya menggunakan pendekatan persuasif dalam pembebasan tersebut dan tidak ada tindakan balasan yang diminta oleh para penculik sebelum setuju untuk membebaskan sandera mereka”.
Menteri Luar Negeri Winston Peters juga membantah klaim adanya suap ketika Mehrtens pertama kali dibebaskan.
Akademisi Pasifik Steven Ratuva mengatakan konflik internal dan keretakan dalam kelompok pemberontak mungkin menjelaskan informasi yang saling bertentangan yang diberikan oleh para anggotanya itu.
“Tujuan utama penangkapan ini adalah kemerdekaan. Misi politik adalah tujuan kami. Kami ingin memberi tahu orang-orang bahwa kami tidak biadab. Kami bukan teroris. Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi kami, menyebut kami tidak manusiawi. Namun, kami ingin memberi tahu orang-orang tentang penderitaan kami di Papua Barat,” kata Kogoya.
Sangat sedikit informasi tentang Papua Barat atau West Papua yang diketahui dunia luar karena Indonesia mengontrol ketat akses bagi jurnalis asing dan pemantau hak asasi manusia.
‘Berjuang untuk kemerdekaan’
Gerakan Papua Merdeka berjuang untuk kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Pertempuran mematikan untuk memperjuangkan kemerdekaan telah dilancarkan di Papua yang kaya sumber daya. Negeri yang berbatasan dengan Papua Nugini dan berada di bawah kendali Indonesia melalui referendum, pemungutan suara kontroversial yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1969.
Referendum tersebut, dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) menimbulkan kontroversi karena orang-orang yang ikut serta dipilih oleh militer Indonesia.
Konflik telah meningkat secara signifikan sejak tahun 2018, ditandai pejuang pro-kemerdekaan melancarkan serangan yang lebih mematikan dan lebih sering, sebagian besar karena mereka telah berhasil mendapatkan senjata yang lebih canggih.
Kogoya mengatakan bahwa enam dekade seruan mereka untuk kemerdekaan dan keputusasaan untuk membebaskan Papua dari Indonesia turut berkontribusi pada penyanderaan tersebut.
Masyarakat internasional “menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi yang dihadapi warga Papua Barat,” katanya.
Ketika Mehrtens ditangkap, Kogoya mengatakan mereka membawanya jauh ke dalam hutan, dimana ia menghabiskan setidaknya sebulan bersama kelompok pemberontak.
“Kami berada di hutan. Tidak ada makanan. Kami makan daun-daunan. Mehrtens bersikap sopan dan tidak pernah mencoba melarikan diri. Dia melihat cara hidup kami, dan kami ingin dia menceritakan pengalamannya kepada semua orang.”
Kogoya mengatakan Mehrtens kemudian dipindahkan ke sebuah desa, di mana ia tinggal bersama penduduk setempat selama sebagian besar waktunya dan diberi makanan, termasuk daging.
Pendeta Gereja Baptis Papua Barat, Sofyan Yoman membantu dalam negosiasi awal pembebasan Mehrtens dengan Indonesia dan duta besar Selandia Baru di Jakarta.
“Pilot itu berada di antara penduduk setempat. Dia tinggal bersama para pemimpin gereja selama lebih dari setahun,” kata Pendeta Yoman.
Pendeta Yoman mengatakan dirinya berhubungan dengan keluarga Kogoya, dan dia berperan penting dalam negosiasi dan kebebasan Mehrtens pada akhirnya.
Kogoya mengatakan bahwa mereka bersikap “damai” terhadap Mehrtens dan tidak ada yang menyakitinya.
Mereka berkomunikasi dengan Mehrtens dengan “berbicara bahasa Indonesia perlahan dan kami menggunakan isyarat [tangan]”.
Daerah tempat Mehrtens ditahan tetap menjadi tempat yang sangat berbahaya bagi warga Papua Barat.
“Kami mendorongnya untuk tidak melarikan diri. Budaya kami selalu menghormati manusia. Dia mendengarkan. Dia menghormati kami dan kami menghormatinya. Kami menyambutnya sebagai saudara kami.”
Dalam penangkapan tersebut, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat menewaskan sedikitnya sembilan personel tentara Indonesia, termasuk pasukan khusus.
Ada juga laporan bahwa seorang wanita yang bekerja di Kepolisian Indonesia dibunuh oleh kelompok militan, tetapi Kogoya membantah terlibat.
Ia mengatakan Mehrtens berbicara kepada keluarga dan rekannya sebanyak lima kali saat ditawan.
Dalam sebuah pernyataan, keluarganya mengatakan, “pesan-pesan itu memenuhi jiwa kami dan memberi kami harapan dan bahwa kami akhirnya akan bertemu Phil lagi”.
Mereka berterima kasih kepada Kogoya dan pasukannya karena menjaga kesehatan Mehrtens dan mengizinkannya menyampaikan beberapa pesan kepada keluarganya selama ia ditawan.
Ketika ditanya mengenai video di mana Mehrtens menjelaskan bahwa nyawanya terancam, Kogoya mengatakan itu adalah “taktik” untuk menekan Pemerintah Indonesia dan Selandia Baru agar menyelesaikan masalah Papua Barat.
Tidak pernah ada niat untuk membunuh Mehrtens, tambahnya.
Pada bulan Agustus 2023, pilot Selandia Baru lainnya, Glen Malcolm Conning, tewas setelah mendaratkan helikopternya di Alama, sebuah desa terpencil di Distrik Mimika, Papua Tengah. Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, dan para pemberontak serta pihak berwenang Indonesia saling menyalahkan.
‘Kegagalan pemerintah Indonesia’
Pengaruh gereja sebagai mediator dan berkomunikasi dengan kelompok pemberontak umum terjadi karena “kegagalan pemerintah Indonesia,” kata Andreas Harsono dari Human Rights Watch.
“Saya benar-benar malu menjadi orang Indonesia setiap kali saya mendarat di kota-kota Papua Barat” karena cara pemerintah memperlakukan orang Papua Barat, katanya.
Ia mengatakan Human Rights Watch terus meminta pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap warga Papua Barat dan hak-hak mereka.
“Penduduk asli Papua mencakup sekitar 95 persen dari populasi pada tahun 1960-an; sekarang mereka hanya mencakup 43 persen,” menurut sensus terakhir.
“Dulu banyak dokter, insinyur, semua bisnis itu diambil alih. Semua bisnis itu dituduh pro-kemerdekaan Papua dan banyak dari mereka marah, tidak hanya mereka yang di hutan tetapi juga di kota-kota.”
Kedutaan Besar Indonesia di Selandia Baru menanggapi dengan pernyataan, yang menyatakan bahwa pemerintahnya “berkomitmen pada kebijakan jangka panjangnya untuk menghormati dan memajukan hak asasi manusia dan kebijakannya yang ketat untuk tidak memberikan impunitas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan keamanannya…tidak akan pernah ada pembenaran untuk penyanderaan”.
Video pembebasan Mehrtens, termasuk upacara damai, menunjukkan Mehrtens mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk setempat dan menerima seekor ayam sebagai hadiah, yang ia bawa ke dalam helikopter, perjalanannya menuju kebebasan.
Mehrtens telah dihubungi untuk dimintai komentar
Harsono, yang pernah bekerja untuk The Associated Press, ingat mewawancarai para sandera yang mengaku diperlakukan seperti penduduk setempat. Ia mengatakan ada “kesamaan dengan penculikan tahun 1996 dan penyanderaan Philip Mehrtens.”
Ia menambahkan ayah Kogoya turut memimpin penyanderaan sebelumnya di Papua Barat pada tahun 1996, di mana TPNPB menculik 26 anggota misi penelitian World Wildlife Fund di Mapenduma. Semua anggota dibebaskan.
Papua Barat vs Indonesia
Penduduk asli Papua Barat terus menuntut penentuan nasib sendiri, melalui tindakan pembangkangan sipil, seperti mengibarkan bendera “Bintang Kejora” yang dilarang, yang telah menjadi simbol gerakan mereka.
Para aktivis membayar harga yang mahal, termasuk kebrutalan polisi dan militer, serta hukuman penjara yang panjang, demi tujuan mereka.
Horsono mengatakan Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas diskriminasi rasial yang sudah berlangsung lama terhadap orang Papua Barat, sebagaimana dirinci dalam laporan terbaru HRW.
“Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas penindasan protes mahasiswa yang meluas. Mahasiswa yang memprotes rasisme disiksa, ditangkap, dan diusir.”
Kogoya berkata: “Kami ingin masyarakat internasional tahu bahwa kami tidak biadab; kami bukan teroris. Pemerintah Indonesia mengkriminalkan kami. Kami bukan tidak berperikemanusiaan. Kami menghormati kemanusiaan.”
Akademisi Pasifik Ratuva berkata: “Selama bertahun-tahun mereka telah berjuang demi kebebasan. Mereka telah berusaha menarik perhatian internasional. Salah satu pilihannya adalah melakukan apa yang telah mereka lakukan. Saya tidak mengatakan bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Keadaan dalam situasi mereka telah menciptakan kondisi di mana mereka akhirnya melakukan apa yang mereka lakukan.”
Ia mengatakan pemerintah Indonesia akan mempunyai pandangan dan “narasi” mereka sendiri mengenai situasi penyanderaan tersebut.
Namun, masalah yang dihadapi warga Papua Barat tidak dapat diabaikan, tambahnya.
Kogoya mengatakan ia ingin Selandia Baru mendukung Papua Barat dalam tujuannya meraih kemerdekaan.
“Selandia Baru harus memainkan peran sebagai mediator bagi Papua Barat dengan cara yang bermartabat,” katanya.
“Selandia Baru dapat memainkan peran dalam mengadvokasi akses terbuka ke Papua Barat, di mana media asing dan kelompok hak asasi manusia dikucilkan, dan dapat membantu membebaskan tahanan politik,” kata Horsono.
“Selandia Baru terus menyampaikan kekhawatirannya kepada pihak berwenang Indonesia tentang masalah hak asasi manusia di Papua,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru bulan lalu.
“Menjaga keterlibatan yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia sangat penting untuk memperbaiki situasi di Papua, dan merupakan kunci bagi pembebasan Mehrtens dengan selamat,” kata mereka. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!