Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Kepulauan Cook dan Ketua Forum Kepulauan Pasifik (PIF) Mark Brown telah menulis surat kepada presiden pemerintah Kaledonia Baru untuk menawarkan dukungan dalam menemukan jalan ke depan.
Brown mengatakan situasi politik di wilayah Prancis –yang merupakan anggota penuh PIF– masih sangat memprihatinkan bagi keluarga Forum. Demikian dikutip jubi.id dari https://www.rnz.co.nz, Jumat (31/5/2024).
Dia mengatakan ada sejumlah mekanisme dan proses yang tersedia bagi anggota PIF untuk membantu menyelesaikan “masalah kompleks dan historis” yang masih “belum terselesaikan”.
Ia juga menekankan penerapan cara-cara yang disepakati ke depan “tidak boleh terburu-buru”.
“Wilayah Pasifik kita adalah rumah bagi para ahli independen dan personel terampil yang memahami kawasan ini, sejarahnya, masyarakatnya, dan yang terpenting, konteksnya, yang dapat mendukung semua pihak untuk memajukan proses ini,” kata Brown.
“Forum Kepulauan Pasifik [siap untuk] memfasilitasi dan memberikan ruang yang didukung dan netral bagi semua pihak untuk bersatu dalam semangat ‘Cara Pasifik’, untuk menemukan jalan ke depan yang disepakati dan menjaga kepentingan masyarakat Kaledonia Baru,” ujarnya.
Presiden Prancis Emanuel Macron datang dan meninggalkan Noumea tanpa mengumumkan kembalinya pembekuan atau penghapusan amandemen konstitusi yang kontroversial, yang telah diserukan oleh penduduk asli Kanak dan kelompok pro-kemerdekaan.
Dia berjanji dialog akan terus berlanjut, “Mengingat konteks saat ini, kami memberikan waktu beberapa minggu untuk memungkinkan perdamaian kembali, dialog dilanjutkan, mengingat kesepakatan komprehensif,” katanya.
Penduduk asli Kanak juga menyerukan Macron untuk menyelidiki jumlah korban tewas, karena dikhawatirkan akan ada lebih banyak perusuh muda yang tewas, dan agar usulan amandemen konstitusi dicabut.
Kekhawatiran juga muncul terkait populasi suku Kanak yang menghadapi kesenjangan besar dan buruknya kondisi kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Menteri Iklim Vanuatu Ralph Regenvanu mengatakan kepada media pada konferensi keempat Negara Berkembang Kepulauan Kecil PBB bahwa “semua orang dapat melihat hal ini terjadi tiga tahun lalu”.
“Prancis menyebabkan krisis ini karena kegagalannya mengakui seruan Kanak agar referendum ketiga ditunda,” katanya.
Regenvanu mengatakan kunjungan Macron tidak ada bedanya, “Karena Prancis harus menarik perubahan legislatifnya untuk membuka daftar pemilih guna memungkinkan resolusi melalui dialog.”
Ia mengatakan jika hal ini tidak terjadi maka situasi akan kembali seperti siklus kekerasan yang terjadi pada 1980-an.
“Kami menyerukan kepada Prancis untuk menarik usulan legislatif tersebut, kembali ke meja perundingan dan membuat perjanjian baru dengan kelompok independen dan anti-independen di wilayah tersebut,” kata Regenvanu.
“Jika Perancis tidak menarik amandemen undang-undang tersebut, kekerasan akan terus berlanjut,” tambahnya.
‘Kredibilitas Perancis ditantang’
Profesor Dr Powles dari Kajian Pertahanan dan Keamanan Universitas Massey mengatakan PIF telah menghasilkan laporan yang ‘cukup pedas’ mengenai referendum Kaledonia Baru yang ketiga dan terakhir.
Namun pendirian Presiden Prancis mengenai isu referendum penentuan nasib sendiri ketiga (yang diadakan pada Desember 2021 dan diboikot oleh kubu pro-kemerdekaan) adalah, “Saya tidak akan menarik kembali hal ini.”
Dr Powles mengatakan ada beberapa pilihan bagi Sekretariat Forum, termasuk memanfaatkan mekanisme krisis regional yang ada berdasarkan Deklarasi Biketawa .
Deklarasi tersebut telah digunakan dalam beberapa kesempatan di Pasifik, di Nauru, Kepulauan Solomon, serta dalam beberapa kasus lainnya, katanya.
“Kredibilitas Perancis sangat ditantang karena fakta bahwa Perancis adalah kekuatan kolonial di Pasifik,” ujar Dr Powles.
“Pasifik yang berketahanan adalah Pasifik yang seluruh masyarakatnya bebas dan mandiri. Dan itulah jenis ketahanan terbaik yang akan menjaga kawasan ini tetap aman,” ujarnya.(*)