Jayapura, Jubi – Front Pembebasan Nasional Kanak dan Sosialis (Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste – FLNKS) kembali menegaskan penolakannya terhadap kebijakan Prancis di Kaledonia Baru.
Penegasan ini disampaikan dalam peringatan 40 tahun aksi simbolis Eloi Machoro yang merusak kotak suara dengan kapak di Canala, serta satu tahun berdirinya CCAT (Cellule de Coordination des Actions de Terrain), sebuah organisasi yang memobilisasi aksi menentang reformasi pemilu di wilayah tersebut.
FLNKS memanfaatkan momen ini untuk menyerukan penghentian reformasi pemilu, pembebasan tahanan politik, dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri.
FLNKS menyoroti tingginya tingkat penolakan terhadap reformasi badan pemilu, meskipun pemerintah Prancis menggunakan kekuatan militer secara berlebihan di wilayah tersebut.
“Tingkat penolakan terhadap reformasi tetap besar meskipun ada militerisasi wilayah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata FLNKS seperti dikutip Jubi dari Inc.nc, Selasa (19/11/2024).
Biro politik FLNKS juga meminta Prancis untuk memenuhi kewajiban internasionalnya dan menghormati perjanjian Nouméa yang menjamin hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam siaran persnya, FLNKS mendesak Prancis untuk mengambil tiga langkah penting. Pertama, menghentikan secara definitif rencana reformasi badan pemilu. Menurut FLNKS, tinggal di wilayah non-otonom saja tidak cukup untuk menjadi bagian dari masyarakat lokal dan memperoleh hak politik yang seharusnya.
Kedua, menolak pengakuan terhadap referendum ketiga yang telah dilakukan. Referendum tersebut dianggap tidak sah karena tidak mencerminkan kehendak sejati masyarakat adat di wilayah tersebut.
Ketiga, membebaskan semua tahanan politik tanpa penundaan, termasuk mereka yang dideportasi ke daratan Prancis secara ilegal, seperti Christian Téin, presiden FLNKS yang diangkat pada Agustus lalu. FLNKS menyebut para tahanan ini sebagai pembela hak masyarakat adat yang bertindak berdasarkan hukum internasional.
FLNKS menekankan bahwa semua aktivis harus dibebaskan agar mereka dapat berpartisipasi penuh dalam diskusi terkait masa depan institusional wilayah tersebut.
FLNKS percaya bahwa hanya pendekatan berbasis hukum internasional yang dapat menjamin mobilisasi masyarakat menuju dekolonisasi total. Mereka juga memperingatkan Prancis agar tidak menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.
“Prancis harus memahami bahwa mereka tidak akan pernah mampu membangun kehadirannya di Pasifik,” tegas FLNKS dalam pernyataan mereka. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!