Jayapura, Jubi – Kemiskinan dituding sebagai penyebab melonjaknya penggunaan narkoba di kalangan iTaukei atau penduduk asli Fiji di negara itu.
Menteri Dalam Negeri Fiji, Pio TIkoduadua, menyangkal klaim bahwa negaranya adalah surga narkoba dan optimis pemerintah dapat membalikkan keadaan.
Komentar Tikoduadua muncul ketika polisi menyelidiki unggahan rekaman tentang seorang wanita muda telanjang yang dilaporkan mengemis untuk mendapatkan uang.
Video tersebut mendorong Perdana Menteri Sitiveni Rabuka mengeluarkan peringatan publik tentang bahaya narkoba baru-baru ini.
Rekaman tersebut adalah insiden terbaru dari serangkaian insiden yang dipicu oleh narkoba di Fiji kemudian viral di media sosial.
Tikoduadua mengatakan kepada RNZ Pacific bahwa video-video tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah harus bertindak.
“Insiden seperti itu, menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengatasi krisis narkoba secara komprehensif di Fiji,” katanya.
Seharga ‘kacang goreng’
Pendiri Drug-Free World Fiji, Kalesi Volatabu, mengatakan bahwa kematian yang berhubungan dengan narkoba dan penyalahgunaan narkoba sangat jarang dilaporkan di negara ini.
“Ada banyak kematian yang tidak dapat dijelaskan terkait hal itu,” katanya.
“Tapi ada begitu banyak hal yang tidak dilaporkan di negara ini. Kami tidak menangkap semua hal yang terjadi di lapangan.
“Tingginya permintaan terhadap narkoba diperburuk oleh harganya yang terjangkau.”
“Dalam sebuah kejadian kami mendengar karena lima tahun yang lalu harganya 50 dolar per butir. Tapi mereka berkata, ‘tidak bung, kamu berikan $5 dan mereka bisa memberimu suntikan’.”
Masyarat asli iTaukei pengguna terbanyak?
Volatabu mengatakan pengguna narkoba mulai dari komunitas etnis iTaukei dan Indo-Fiji, tetapi pengguna pribumi lebih banyak.
“Jika Anda melihat status HIV, setidaknya 80 persen di antaranya adalah iTaukei – bahkan di [Rumah Sakit Jiwa] St Giles, sebagian besar dari mereka adalah iTaukei, mereka yang berada dalam tahanan adalah iTaukei. Cukup menyedihkan untuk dilihat.”
Sekretaris tetap Kementerian Kesehatan Jemesa Tudravu mengatakan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa iTaukei merupakan pengguna narkoba dalam jumlah yang tidak proporsional, namun secara anekdot hal ini tampaknya benar.
Tikoduadua mengatakan tingginya rasio orang iTaukei yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat membantu menjelaskan alasannya.
“Salah satu masalah yang benar-benar sedang dikerjakan pemerintah adalah mencoba menyelesaikan masalah kemiskinan, yang sudah kami soroti sejak lama sebagai masalah yang terabaikan oleh pemerintah sebelumnya,” katanya.
“Tidak banyak yang dilakukan oleh mereka untuk menargetkan dan memberantas masalah narkoba.
“Saya mengangkat masalah ini pada tahun 2019 dan tidak ada yang dilakukan, kecuali saya diserang di Parlemen karena mengajukan mosi yang mengundang pemerintah untuk mengizinkan oposisi menjadi bagian dari solusi.”
Namun, Volatabu percaya bahwa penduduk asli tidak terwakili secara proporsional karena mereka tidak mencari bantuan oleh karena stigma yang terkait dengan penggunaan narkoba.
“Kami tidak mendorong masyarakat kami untuk mencari bantuan ketika mereka dalam masalah,” katanya.
“Stigma membuat semua orang tidak mau menjangkau, karena takut rasa malu akan ditimpakan kepada mereka dan keluarga.
“Kami benar-benar memiliki sikap ‘jika Anda memiliki masalah, hadapi, selesaikan’.”
Pada bulan April, Tikoduadua mengatakan bahwa Fiji berisiko menjadi “negara zombie” jika pemerintah gagal menangani krisis.
Biro Narkotika
Pemerintah mengalokasikan lebih dari FJ $2 juta dalam Anggaran 2024-2025 untuk menginisiasi Biro Narkotika, yang akan mencakup pendirian fasilitas rehabilitasi di Suva.
Sebagai perbandingan, militer mendapatkan hampir FJ $170 juta untuk pemeliharaan perdamaian, keselamatan dan keamanan.
Asisten Komisaris Polisi (Operasi), Livai Driu, mengatakan bahwa strategi narkotika nasional sudah terlambat.
“Dari sudut pandang pribadi saya, hal ini sangat mendesak,” katanya.
“Kami membutuhkan pusat rehabilitasi untuk menangani orang-orang yang terkena dampak obat-obatan terlarang yang ada di negara ini.
“Saya menyerukan reformasi; jika kita memiliki struktur yang sama dengan yang ada di Selandia Baru dalam struktur organisasi kita.”
Driu mengatakan fokus polisi saat ini adalah bekerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk mengurangi pasokan.
“Kami berusaha mengurangi pasokan narkoba yang masuk dari luar negeri. Fiji hanya digunakan sebagai tempat transit karena barang kiriman itu milik negara lain,” katanya.
Fiji telah membangun reputasi sebagai pusat perdagangan obat terlarang saat pihak berwenang mencoba bergulat menghadapi kejahatan transnasional.
Pada bulan Oktober tahun lalu, mantan wakil presiden asosiasi sepak bola negara tersebut dipenjara selama empat tahun di Selandia Baru karena mengimpor pseudoephedrine senilai jutaan dolar secara ilegal, bahan kimia yang digunakan dalam produksi metamfetamin.
Pada bulan Januari, polisi Fiji menyita hampir lima ton metamfetamin dengan nilai jual sebesar FJ$2 miliar (NZ$1,68 miliar). (*)