Jayapura, Jubi – Diplomasi Pemerintah Indonesia ke negara Pasifik selama ini dipandang sebagai pendekatan yang cenderung state centrism, dan bukan antar masyarakat sipil. Kritikan soal model diplomasi Indonesia itu disampaikan pakar Hubungan Internasional dari Universitas Negeri Sebelas Maret atau UNS, Dr Muhnizar Siagian MSi dalam Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia yang berlangsung di Jayapura pada 9 Oktober 2024.
Muhnizar menilai Pemerintah Indonesia menggencarkan diplomasinya ke negara Pasifik setelah negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) bersuara soal gerakan Papua merdeka. Diplomasi itu semakin gencar setelah MSG menerima United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP diterima sebagai pengamat dalam forum negara-negara Pasifik itu.
“Indonesia sebenarnya semakin gencar [memperkuat diplomasi] ke [negara] Pasifik semenjak isu Papua merdeka [menjadi sorotan negara] di kawasan Pasifik, terutama di MSG. Dan [ada] peristiwa politik yang memukul [dan membuat] malu Pemerintah Indonesia. Apa itu? Diterimanya United Liberation Movement for West Papua sebagai pengamat di kelompok negara Melanesia,” kata Muhnizar kepada Jubi di sela konvensi nasional itu.
Menurutnya, ada dua wakil Papua yang melakukan diplomasi dalam forum MSG, yaitu Papua yang yang diwakili oleh Pemerintah Indonesia, dan diaspora Papua yang diwakili ULMWP. Dia menegaskan bahwa semua faksi diaspora Papua telah terkonsolidasi menjadi satu wadah, ULMWP.
Ia mengatakan pendekatan Pemerintah Indonesia dalam meluaskan diplomasinya di Pasifik sangat state centrism. Muhnizar mencontohkan langkah Pemerintah Indonesia mengundang perwakilan negara MSG ke Bali, atau mengundang perwakilannya ke Selandia Baru dan Jakarta.
“Catatan saya, masyarakat di sana [Pasifik] sudah mengalami demokratisasi. Suara [negara Pasifik] terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Pemerintah Indonesia di Papua Barat, dan dukungan [mereka] terhadap kemerdekaan Papua [adalah] imbas adanya pelanggaran HAM dan kekerasan politik,” katanya.
Model state centrism
Pendapat Muhnizar bahwa pola diplomasi Pemerintah Indonesia ke negara Pasifik state centrism antara lain terlihat dari langkah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Suva, Fiji, yang menggelar forum dialog berjudul “Development in Indonesia : Lessons Learned from Papua and for the Pacific” pada 27 November 2024 lalu. KBRI di Suva menyebutkan forum dialog ini berlangsung sukses menyoroti kemajuan pembangunan Provinsi Papua, mempromosikan kebudayaan lokal yang kaya, dan menunjukkan pencapaian yang signifikan di wilayah paling timur Indonesia.
Forum dialog itu menghadirkan sejumlah pembicara asal Papua, seperti Pdt Alberth Yoku, Pascal Norotouw (Ketua Pemuda Tradisional Tabi Papua), Lenis Kogoya (Ketua Lembaga Masyarakat Adat atau LMA). Acara ini dihadiri beragam peserta, antara lain pemimpin gereja, perwakilan kelompok komunitas, Indonesian Scholarship Fiji Alumni (ISFA), pelajar Fiji, LSM yang berbasis di Fiji dan mahasiswa Indonesia di Fiji. Sejumlah lembaga riset, media lokal, dan perwakilan Fiji Indonesia Friendships Assosiation (FIFA) juga turut hadir.
Forum itu diawali dengan pemutaran video yang menampilkan keindahan alam Papua, kemajuan pembangunan, dan kesamaan budaya Papua dengan Fiji. Duta Besar RI di Fiji, Dupito Simamora mengatakan bahwa interaksi yang produktif antara para pembicara dari Indonesia dan Fiji akan mengarah kepada diskusi pemikiran baru mengenal model pembangunan berkelanjutan di Papua dan Fiji.
Sovoli Ordovakuvula, seorang profesional teknik sipil dan Presiden ISFA, menjadi moderator diskusi itu. Ia menjelaskan bahwa banyak tantangan yang dihadapi Papua dalam hal kemajuan sosial dan ekonomi, dan situasi yang sama terjadi di Fiji dan negara kepulauan lain di Pasifik. Ordovakuvula juga menekankan perlunya mengeksplorasi inisiatif unik di Papua yang dapat diadaptasi untuk mendukung kemajuan sosial dan ekonomi di Fiji.
Pdt Alberth Yoku membahas kemajuan nyata di Papua di bawah kerangka Otonomi Khusus. Pendeta Yoku menjelaskan bagaimana kebijakan publik mempertimbangkan norma adat dan toleransi antar agama untuk mendorong partisipasi politik, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan guna mempercepat pembangunan.
Ketua Pemuda Tradisional Tabi di Papua, Pascal Norotouw menegaskan pentingnya peran pemuda dalam pembangunan kapasitas manusia dan sosial di Papua. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan kolaborasi pemuda demi meningkatkan saling pengertian dan harmoni antar komunitas etnis di Papua dan negara bagian Indonesia lainnya.
Ketua LMA Papua, Lenis Kogoya juga menjelaskan pendapatnya bahwa komunitas akar rumput berperan vital dalam memfasilitas komunikasi antara pemerintah dan warga Papua. Lenis Kogoya menggaris bawahi pentingnya kolaborasi dalam pendidik dan pembangunan sosial ekonomi antara komunitas Melanesia di Papua dan daerah Pasifik, khususnya di Fiji.
Sesi tanya jawab diskusi itu menunjukkan antusiasme peserta untuk memahami pencapaian Papua dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Amit Prakash konsultan ekonomi independen dalam dialog itu, lebih memfokuskan pembahasan pada lima temuan kunci yang akan direkomendasikan kepada Sekretariat Melanesia Spearhead Group (MSG). Temuan itu berkaitan pula dengan dengan inisiatif untuk meningkatkan perdagangan antara Fiji dan negara-negara independen di kawasan Melanesia.
Direktur Sementara untuk Layanan Aset dan Infrastruktur di Kementerian Pendidikan di Fiji Serupeeli Udre membahas tantangan akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan inklusif. Ia juga berbagi rencana kolaborasi yang potensial antara pemerintah Indonesia dan Fiji terkait Rencana Pembangunan Nasional dan Kerangka Kebijakan Pendidikan Nasional Fiji untuk 2024 – 2033.
Dalam forum itu, Pemerintah Indonesia menyerahkan bantuan teknis Pemerintah Indonesia untuk memodernisasi sekolah publik di Fiji, dan meningkatkan program pengembangan pemuda di komunitas lokal. Duta Besar RI di Fiji, Dupito Simamora secara simbolis menyerahkan peralatan komputer dan peralatan sekolah baru senilai FJD 175.642 kepada Kepala Sekolah, Timoci Vosailagi, serta alumni Queen Victoria School. Ia juga menyerahkan peralatan olahraga baru kepada komunitas di Navua, dengan bekerja sama dengan Sekretaris Jenderal FIFA.
Tarik ulur kunjungan MSG ke Papua
Apakah klaim keberhasilan forum diskusi berjudul “Development in Indonesia : Lessons Learned from Papua and for the Pacific” menggambarkan keberhasilan diplomasi Pemerintah Indonesia membendung suara kritis negara Pasifik?
Bagi banyak pemimpin negara Pasifik, apa yang mereka harapkan dari Pemerintah Indonesia bukanlah diplomasi berbentuk forum diskusi di luar Papua. Bagi banyak dari mereka, diplomasi yang lebih utama adalah keterbukaan Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan para pemimpin negara anggota MSG berkunjung ke Papua.
Hal itu antara lain tergambar pernyataan Perdana Menteri Fiji, Sitiveni Rabuka yang dilansir laman internet Australian Broadcasting Corporation (ABC) melalui pemberitaan berjudul “Fiji’s PM Sitiveni Rabuka ‘will apologise’ to Melanesian leaders as he awaits Indonesia’s agreement to visit West Papua” pada 12 Agustus 2024. Rabuka menyatakan akan meminta maaf kepada para pemimpin negara Melanesia karena gagal mendapatkan persetujuan Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan para pemimpin negara Melanesia berkunjung ke Provinsi Papua.
Rabuka menjelaskan bahwa ia dan Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape telah berupaya selama sembilan bulan untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah Indonesia itu. Upaya itu dilakukan sejak MSG menunjuk Rabuka dan Marape sebagai Utusan Khusus MSG untuk urusan West Papua.
Sitiveni Rabuka mengatakan dia masih berkomitmen untuk mengupayakan kunjungan tersebut. Dalam wawancara eksklusif dengan Pacific Beat dari ABC, Rabuka mengatakan pembicaraan mengenai perjalanan tersebut masih “berlangsung”, namun terkendala pelaksanaan Pemilihan Umum 2024.
“Sayangnya, kami tidak bisa pergi. Indonesia sedang menjalani pemilu. Semoga saja kami masih bisa melanjutkannya. James Marape dan saya harus meminta maaf kepada rekan Melanesia kami di pihak para pemimpin Forum Island yang bertemu di Tonga, dan mengatakan bahwa kami belum dapat melaksanakan misi tersebut,” ujarnya.
Negara-negara Pasifik juga telah mendesak Indonesia untuk mengizinkan perwakilan dari Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Hak Asasi Manusia untuk melakukan kunjungan independen ke Papua. Laporan Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang dirilis pada Mei juga menyatakan adanya problem sistematis mengenai penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap penduduk asli Papua.
Apakah masalah dan harapan itu akan terselesaikan dengan model diplomasi state centrism? (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!