Jayapura, Jubi – Hari Sabtu, 16 September 2023, adalah hari kemerdekaan ke-48 Papua Nugini (PNG). Banyak kemajuan telah tercapai negara ini. Papua Nugini termasuk kaya karena memiliki mineral tambang, minyak dan gas, serta hutan tropis, juga sektor perikanan.
Tetapi pendapat berbeda dikatakan mantan PM Papua Nugini dari pemimpin Partai Kongres Nasional Rakyat dan anggota Parlemen dari wilayah Lilibu Pangia, Peter O’Neill.
“Ulang tahun ke-48 kemerdekaan kita mendapati kita berada dalam keadaan yang paling sulit dan suram,” kata O’Neill sebagaimana dikutip Jubi dari thenational.com.pg, pada Jumat (15/9/2023).
“Di negara yang berpenduduk banyak, penduduk kita berjuang untuk bertahan hidup,” katanya.
“Anak-anak kami yang berpendidikan tidak bisa mendapatkan pekerjaan di tempat yang penuh dengan peluang. Frustasi dan marah, mereka menciptakan masalah sosial. Kami yang sakit tidak memiliki akses terhadap obat-obatan dasar. Kejahatan dan kekerasan yang mengerikan terjadi di mana-mana, namun polisi kita bukanlah kekuatan yang harus diperhitungkan,” katanya.
O’Neill mengatakan pula mata uang asing tidak tersedia, menyebabkan gangguan rantai pasokan bagi dunia usaha dan individu.
“Biaya hidup yang tinggi membuat hidup di Papua Nugini menjadi tidak terjangkau. Perekonomian kita sedang terpuruk, namun korupsi masih merajalela,” katanya seraya menambahkan dalam negara demokrasi yang membanggakan, lebih dari separuh rakyat PNG tidak diberi kesempatan untuk memilih pada pemilu lalu.
“Sebagian besar kesulitan ini sebenarnya bisa dicegah. Kita telah sampai pada titik yang tidak pernah diantisipasi dalam mimpi dan rencana para pendiri bangsa kita,” katanya.
Lebih lanjut O’Neill mengatakan sekitar 50 tahun yang lalu, pada 1972, sekelompok pemimpin visioner mempertimbangkan dan menerima simbol-simbol kebangsaan, termasuk lambang nasional PNG (the Kumuls/Burung Cenderawasih), lagu kebanggasaan dan bendera, serta memutuskan maskapai penerbangan (Air Nugini), perusahaan perbankan nasional, dan lembaga penyiaran nasional.
“Mereka membentuk Komite Perencanaan Konstitusi untuk merancang dan melaksanakan konstitusi nasional,” kata O’Neill seraya menambahkan di antara mereka terdapat kebaikan hati dan kesucian pikiran.
“Ketika Faksi Somare memperjuangkan kemerdekaan, hal yang sama juga terjadi di seluruh negeri,” kata O’Neill
“Ketika Faksi Tei Abel menyatakan bahwa Dataran Tinggi belum siap untuk kemerdekaan, mereka melakukannya bukan karena keinginan egois untuk memecah belah negara,” katanya.
Tidak ada keuntungan pribadi, lanjut Peter O’Neill, tidak ada lobbi kelompok kepentingan, tidak ada nepotisme atau kronisme.
“Hanya untuk kepentingan nasional yang murni,” katanya.
Mantan PM Papua Nugini itu mengatakan ketulusan niat mereka dan kehormatan diberikan oleh para arsitek kemerdekaan negara itu dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat dalam Konstitusi yang indah dan abadi yang dimiliki bangsa Papua Nugini saat ini.
PNG merdeka 16 September 1975
Kemerdekaan Papua Nugini diperoleh secara damai dari kekuasaan kolonial Australia. Hal ini telah membangkitkan kebanggaan dan dihargai serta dirayakan berulang-ulang setiap tahun oleh warga PNG.
Peringatan kemerdekaan juga merupakan saat di mana setiap warga mulai berdiskusi soal PNG. Apa kemajuan yang dialami PNG sejak 16 September 1975?
“Kegembiraan terlihat jelas di ibu kota Papua Nugini ketika negara kepulauan Pasifik terpadat itu bersiap merayakan 48 tahun kemerdekaannya pada Sabtu (16/9/2023),” demikian dikutip Jubi dari benarnews.org.
Saatnya warna merah, hitam, dan emas pada bendera negara dan lambang negara, burung cendrawasih, dengan bangga dikenakan oleh masyarakat dari seluruh lapisan masyarakat.
Para pedagang kecil di Port Moresby dan kota-kota lain telah mendirikan kios untuk menjual perlengkapan dan pakaian kemerdekaan serta mendapatkan penghasilan.
Yabole James menjual tas bilum (noken) yang dia buat sendiri dan pakaian patriotik berwarna-warni di pinggir jalan di Port Moresby pada Rabu (13/9/2023).
Ibu tiga anak dari provinsi Enga ini mengatakan dia yakin penjualannya akan bagus karena hari kemerdekaan dan ini akan membantu dia dan anak-anaknya memenuhi kenaikan biaya hidup.
“Saya ingin pemerintah menurunkan harga pangan,” katanya.
Insiden kecil di bus Port Moresby awal pekan ini juga merupakan ciri khas dari kesibukan yang diperlukan untuk bertahan hidup di ibu kota, yang populasinya telah membengkak selama bertahun-tahun karena masuknya orang-orang dari dataran tinggi, banyak di antara mereka yang berusaha untuk keluar dari kemiskinan yang bahkan lebih buruk lagi di daerah terpencil dan kekerasan suku.
“Bayar, harga BBM naik,” teriak petugas ongkos bus setelah beberapa pria naik bus dan hanya membayar separuh ongkos. Bahkan mereka menolak untuk turun dari bus, sehingga kondektur semakin gelisah dan terus berteriak harga BBM naik.
“Ini adalah kesalahan pemerintah jika harga bahan bakar, makanan, dan lainnya naik,“ kata beberapa penumpang menimpali.
“Kita semua merasakan kesulitannya,“ kata mereka.
Intervensi penumpang meredakan situasi dan masing-masing penumpang membayar satu Kina (28 sen), bukan dua Kina.
“Sedihnya sebagai sebuah bangsa, kita sedang berjuang,” kata pemimpin oposisi Joseph Lelang dalam pernyataannya pada hari kemerdekaan.
“Harga pangan dan bahan bakar, perumahan dan pengangguran mempengaruhi kita semua. Dunia usaha tutup, masih banyak desa yang belum mendapatkan layanan dasar,” tambahnya.
Papua Nugini dan negara-negara kepulauan Pasifik lainnya, yang selama bertahun-tahun dianggap sebagai negara terbelakang dalam urusan internasional, baru-baru ini menjadi fokus perhatian geopolitik yang mencerminkan persaingan untuk mendapatkan pengaruh di kawasan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. (*)