Jayapura, Jubi- Jurnalis bagi orang Papua boleh dibilang sesuatu profesi yang amat jarang diminati, ketimbang menjadi seorang Aparat Sipil Negara (ASN). Orang Papua yang menjadi jurnalis di media nasional bisa dihitung dengan jari, di antaranya Manuel Kaisiepo, mantan redaktur politik di Harian Kompas dan kemudian menjadi menteri negara di era Presiden Gus Dur.
Selanjutnya ada Wolas Krenak mantan wartawan dan editor di Suara Pembaruan dan pernah menjadi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat. Sekarang di media nasional di Jakarta hanya jurnalis Korano Nicolash Suages yang menjadi redaktur di Harian Pagi Kompas Jakarta.
Pada media daerah di Papua dan Papua Barat terdapat pula banyak jurnalis asal Papua yang berkecimpung mengolah media online mulai dari jubi.id dan media online lainnya.
Bahkan Victor Mambor penanggunggjawab media Jubi.id mendapat dua penghargaan yaitu Udin dan Pogau dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia belum lama ini. Mambor juga menjadi salah satu dari pengurus AJI Indonesia bersama Angela Flassy, mantan pemimpin redaksi Jubi.id dan juga pemimpin redaksi Suara Perempuan Papua.
Kali ini jubi.id ingin mengangkat seorang jurnalis perempuan asal Supiori. Provinsi Papua kelahiran Port Moresby, 16 Maret 1970. Ia lahir dari pasangan Dominggus Dimara dan Dolfintje Imbab yang menikah di Papua Nugini.
Mengutip asiapacificreport.nz, Sincha Dimara mengatakan ibunya bernama Dolfintje Imbab, lahir pada 4 Desember 1949.” Ayah saya, Domingus Dimara (itu ceritanya sendiri), datang ke Papua Nugini sebagai seorang pemuda pada 1963. Dia menentang pengambilalihan Papua Barat oleh Indonesia saat itu dan memutuskan untuk menjadikan PNG sebagai rumahnya,”kata Dimara yang kini dikenal sebagai jurnalis senior Papua Nugini.
Pada 1965 ayahnya kembali di Biak untuk mencari pengantin perempuan. “Ibuku yang terpilih,”katanya.
Dia mengenang almarhum ayahnya sebagai seorang yang disiplin. Selalu percaya dalam melakukan hal yang benar. “Awalnya ada penolakan dari kakek nenek dari pihak ibu saya, setelah mendengar putri mereka akan menikah dan pindah jauh dari rumah,”katanya seraya menambahkan bagaimana mungkin ibunya menikah saat masih berusia 16 tahun dan meninggalkan rumah mereka di Papua Barat untuk negeri asing, tetangga Papua Nugini dan tidak pernah bertemu keluarga lagi selama lebih dari tiga dekade.
Dia mengatakan kepada saya: “Ketika ayahmu pergi bekerja dan saya ditinggalkan sendirian, saya sadar bahwa saya mungkin tidak akan pernah melihat keluarga saya lagi.”
“Ibuku lahir di suatu tempat di tepi Sungai Warfor di Pulau Supiori sekarang Kabupaten Supiori, bagian dari Kepulauan Biak di Papua Barat.”
Sincha Dimara, pernah menjadi manajer berita dan urusan terkini di EMTV di Papua Nugini. Ia kini dipecat setelah berminggu-minggu ditangguhkan.
Dimara, yang merupakan salah satu jurnalis terlama di PNG dan di EMTV selama 30 tahun, dituduh melakukan pembangkangan pada 12 March 2022 lalu
Ia mengawali tugasnya sebagai reporter hingga akhirnya menjadi redaktur di EMTV Papua Nugini.
EMTV adalah stasiun televisi komersial di Papua Nugini. Sampai peluncuran Layanan Televisi Nasional pada September 2008, itu adalah satu-satunya layanan televisi gratis di negara itu.
Kini Sincha Dimara dan kawan-kawan telah mendirikan suatu media online bernama insidepng.com. Media ini termasuk salah satu media online yang kritis di negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
Saat ini di Port Moresby tercatat sebanyak ratusan ribu penduduk asal Papua Barat, mereka sedang berjuang untuk mendapatkan pelayanan sosial, terutama untuk mendapat kesempatan belajar dan bersekolah bagi anak anak mereka. Hal ini penting agar mereka bisa memperoleh kehidupan yang layak karena memperoleh pendidikan yang baik.
Pengungsi terbesar orang-orang Papua Barat terjadi pada persitiwa April 1984, majalah Tempo edisi 9 Juni 1984 mencatat sekitar 7000 pengungsi asal Irian Jaya berada di perbatasan Papua Nugini. “Pemulangan mereka tampaknya akan sulit dan berlarut-larut,”demikian tulis majalah Tempo kala itu.
Orang tua dari Sincha Dimara termasuk orang Papua pertama yang pindah ke Papua Nugini sebelum kemerdekaan PNG 16 September 1975. Mereka pindah pada 1963, sebelumnya ada pula mahasiswa kedokteran Papua Barat yang kuliah di Papua Medical College antara lain dr Hein Danowira (alm), dr Peter Pangkatana, dr Chris Marjen (alm) dr Saweri, dr Suebu, dr Fiay. Begitupula dengan mahasiswa yang belajar Telekomunikasi di Lae.
Generasi kedua dari pengungsi pertama di Papua Nugini sukses dan berhasil di Papua Nugini, termasuk keluarga Wanma. Ada yang menjadi kapten pilot, teknisi pesawat dan perwira menengah dengan pangkat major angkatan darat di Papua Nugini.(*)
