Jayapura, Jubi – Penjual pinang di Papua New Guinea (PNG) mulai dari pasar batas di Wutung, West Sepik Vanimo, dan Kota Jayapura sampai pedagang asongan di perempatan lampu merah Boroko, Port Moresby ada saja kapur (kambang), pinang (buai), dan sirih (daka). Orang Papua Nugini dalam bahasa Pidgin menyebut kai-kai buai atau makan pinang. Walau dalam mengunyah pinang hingga menjadi warna merah, harus ada sirih, kapur, dan pinang.
Siang itu, Minggu (13/3/2023), di perempatan lampu merah, seorang pedagang asongan menjual pinag, sirih, dan kapur.
“Cukup membayar 1 Kina (setara dengan Rp3.500) sudah memperoleh pinang, sirih, dan kapur,” kata salah seorang pedagang di Pasar Hohola kepada Jubi.id, Sabtu (12/3/2023) sore.
Meski pinang sirih banyak dijual di pinggir jalan hingga pasar tradisional di jantung kota Port Moresby, sangat jarang menemukan orang mengunyah pinang sambil membuang ludah pinang berwarna merah di sembarang tempat. Apalagi di bandara, super market, kantor, dan sekolah.
Walau demikian, hampir sebagian besar tempat umum seperti supermarket dan pesawat terbang harus memasang tanda yang menunjukkan bahwa mengunyah pinang tidak diperbolehkan di tempat mereka.
“Ada papan larangan. Kalau pun mengunyah pinang, petugas akan menegur Anda,” kata seorang kawan asal Bougainville kepada Jubi.id.
Alasan mengapa sering dilarang adalah karena mengunyah buah pinang bisa menghasilkan ‘ludah berwarna merah’ yang secara sporadis yang banyak menodai tembok dan lantai.
Air liur berwarna merah berasal dari reaksi kimia antara kapur sirih, pinang, dan air liur.
Jika Anda pernah bepergian ke Papua Nugini, Anda mungkin memperhatikan bahwa banyak orang di sana, katakanlah, memiliki gigi yang kurang sempurna alias berwarna merah akibat mengunyah pinang.
Pinang dan tradisi
Masyarakat suku asli di Papua Nugini dan Papua Barat serta negara-negara Kepulauan Melanesia, melakukan perilaku menyirih karena adanya kepercayaan yang diwariskan oleh para luhur.
Menurut tim peneliti Rahel Violin Kamisorei1), Shrimarti Rukmini Devy2) 1,2 Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga berjudul “DESCRIPTION OF BELIEFS ABOUT EFFICACY IMPRINTED ON THE PAPUAN PEOPLE IN THE VILLAGE OF ARDIPURA I JAYAPURA DISTRICT SOUTH OF JAYAPURA CITY” menyebutkan bahwa frekuensi menyirih yang dilakukan oleh masyarakat suku asli Papua yaitu > 2 kali dalam sehari dengan mengkonsunsi lebih dari dua buah pinang.
Masyarakat merasakan dampak positif dan negatif dari perilaku menyirih. Dampak positif yang dirasakan saat menyirih, yaitu tubuh terasa segar, bau mulut menjadi hilang, gigi terasa kuat. Sedangkan dampak negative, yaitu lidah terasa tebal, luka pada pinggiran mulut dan lidah, pusing, dan merasa ketagihan.
Perilaku menyirih di Papua tidak memiliki batasan umur sehingga perilaku menyirih bebas dilakukan. Kepercayaan tentang khasiat menyirih bagi kesehatan gigi dan mulut, membuat masyarakat cenderung tidak menjaga kebersihan mulut dengan baik. Terdapat banyak masyarakat yang memiliki perubahan warna pada gigi, penumpukan plak, dan karies gigi.
Bagi masyarakat adat suku Byak mengunyah pinang untuk mengantar kakes saat mas kawin. Atau pun tua-tua adat di Byak Numfor biasanya melakukan kingsor dengan mengunyah sirih pinang dan kapur untuk meramal atau mengayau. (*)