Jayapura, Jubi – Provinsi Sepik Barat, Papua Nugini (PNG) sangat berdekatan langsung dengan Kampung Skofpro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Tak jauh dari Kampung Skofpro terdapat Kampung Skociau, Papua Nugini. Hampir sebagian besar warga Kampung Skofro mampu berbicara Tok Pidgin karena memiliki hubungan kekerabatan dengan warga di sana.
Aktivitas penebangan kayu besi atau merbau, tampak kelihatan di Kampung Skofpro. Maklum wilayah ini termasuk areal dari sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Tak heran kalau sepanjang perjalanan dari perbatasan Wutung ke Vanimo terdapat pula perusahan-perusahaan kayu yang mengelola kayu log di areal Provinsi Sepik Barat, Papua Nugini.
Orang-orang Papua Nugini menyebut kayu besi dengan nama kwila. Para peneliti menyebutkan bahwa di Papua Nugini dikenal ada tiga jenis merbau yaitu Intsia bijuga, Intsia palembanica, dan Intsia acuminata. Merbau juga berbaur dengan jenis pepohonan lain seperti Hopea spp, Palaquim sp, Maniltoa sp, dan lain lain atau hutan tropis tanah Guinea biasanya dikenal dengan hutan tropis campuran.
Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, saat pengukuhannya di Parlemen baru di Port Moresby, 9 Agustus 2022, telah berkomitmen untuk menghentikan semua ekspor kayu bulat pada 2025 sebagaimana dilansir dari The National.com.
Walau demikian, sebenarnya janji ini bukan hal baru bagi Papua Nugini. Mantan Menteri Kehutanan, Karl Stack, pernah pula berjanji untuk memberlakukan moratorium ekspor kayu bulat pada 1990. Namun kemudian ia gagal menepati janjinya untuk melakukan moratorium.
Pengganti Menteri Stack juga menunda sertifikasi Undang-Undang Kehutanan yang baru selama 12 bulan. Hingga akhirnya ia dapat mengeluarkan seluruh izin ekspor kayu gelondongan baru sebelum mulai berlaku pada 1992.
Selanjutnya pada 2009, pemerintah PM Somare membuat rencana jangka panjang yang disebut Visi 2050. Dengan beraninya mendiang Somare menyatakan bahwa ekspor kayu bulat akan segera dilarang. Saat itu Menteri Kehutanan, Belden Namah, yang berasal dari Provinsi Sepik Barat berbatasan langsung dengan West Papua ternyata tidak begitu berani.
“Versi barunya dari pedoman pembangunan kehutanan nasional, yang diterbitkan pada tahun yang sama, hanya mengatakan bahwa semua izin kayu baru yang diberikan sejak awal 2010 akan digunakan untuk operasi penebangan dengan “100 persen hanya pemrosesan.”
Pada 2002 kunjungan jurnalis jubi.id bersama rombongan Forest Wacht Regio Papua melihat langsung aktivitas Ecoforestry di beberapa NGO di Papua Nugini. Waktu itu kunjungan berlangsung Balilna Village di Madang, Provinsi Morobe sampai ke Kamiali Village di Lae dan Hopskin di West New Britain Province.
Saat itu hampir sebagian besar pengembangan ecotimber di sana menggunakan portable sawmill untuk mengelola potensi hutan mereka sesuai dengan prinsip prinsip Forest Stewardship Council (FSC).
Mengutiphttps://www.sciencedirect.com menyebutkan bahwa deforestasi dan degradasi hutan merupakan masalah umum di banyak negara tropis, termasuk Papua Nugini (PNG). Dilaporkan bahwa masalah-masalah ini seringkali merupakan akibat dari praktik penebangan yang tidak ramah lingkungan dari perusahaan penebangan industri.
Sejak tahun 1990-an, enam organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat bersama pemilik tanah (landowner) berusaha untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di PNG. Waktu itu mereka memfasilitasi pengelolaan hutan asli skala kecil oleh pemilik lahan hutan adat.
Keenam organisasi tersebut menggunakan pendekatan ‘eko-kehutanan’, yang melibatkan pemanenan kayu secara selektif yang dikombinasikan dengan penggilingan kayu oleh pemilik lahan hutan Adat menggunakan penggergajian portabel (portable sawmill).
Penggunaan penggergajian portabel juga dimaksudkan untuk memberikan keuntungan finansial yang lebih besar kepada pemilik tanah dibandingkan dengan pembayaran royalti kayu yang dapat mereka terima dari perusahaan penebangan.
Studi ini menggunakan tinjauan literatur dan wawancara dengan informan kunci dari organisasi eco-forestry dan Otoritas Kehutanan PNG untuk menilai efektivitas varian model penggergajian portabel.
“Kami menemukan bahwa masing-masing dari enam organisasi tersebut tidak berhasil mengembangkan model yang layak secara finansial untuk pengelolaan hutan asli skala kecil oleh pemilik lahan hutan adat di PNG. Semua pemilik tanah pribumi tidak dapat melanjutkan operasi penggergajian portabel mereka setelah dana donor dari organisasi eco-forestry berhenti,” tulis laporan tersebut.
David Fedele seorang documenter dan film maker asal Australia pernah membuat film singkat dalam laman resminya http://www.bikpelabagarap.com melaporkan praktek-praktek penebangan kayu Merbau di Provinsi Sepik Barat dekat perbatasan Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura.
“Dari Vanimo, dia melakukan perjalanan jauh ke hutan mengunjungi desa-desa terpencil dan menjelajahi operasi penebangan saat ini dan sebelumnya, serta dua kamp penebangan utama di Provinsi Sepik Barat atau Provinsi Sandaun dan melihat dua areal penampungan kayu log masing-masing di Maka Basecamp dan Amanab 56 Basecamp.Tampaknya hampir sebagian besar hutan tropis di sana hilang termasuk keanekaragaman hayatinya.”
Aktivis lingkungan West Sepik, Dorothy Tekwie, mengatakan penebangan liar yang merajalela dan perusakan sebagian besar keanekaragaman hayati Papua yang sangat besar.
“Pulau New Guinea adalah hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia. Yang pertama adalah Amazon dan kemudian Kongo dan ini yang terbesar ketiga. Penebangan berlangsung sangat cepat,” katanya sebagaimana dilansir https://www.rnz.co.nz.
Nyonya Tekwie mengatakan bahwa perusakan yang terjadi di hutan New Guinea oleh industri penebangan melambangkan cara apa yang disebut pekerjaan pembangunan di PNG.
“Dan di sini Anda tahu dunia berbicara tentang perubahan iklim. Mereka benar-benar tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan hutan di pulau ini. Kedua sisi pulau ini. Anda tahu itu bukan [hanya] Papua Nugini dan Indonesia atau Papua Barat, tidak. Ini adalah satu pulau – ini seharusnya menjadi satu pulau dan dimaksudkan untuk menjadi satu orang,” tambahnya.
Sebenarnya ketika James Marape mengambil alih pemerintahan dari Peter O’Neill pada 2019, telah berjanji untuk “mengambil kembali PNG” dari kapitalis asing.
Menteri Kehutanan, Solan Mirisim, segera mengadakan KTT kehutanan nasional untuk membahas cara dan bagaimana kayu gelondongan akan “diambil kembali” dari kapal yang membawanya ke Tiongkok dan diproses di PNG untuk dijual di pasar domestik dan internasional.
Sejak itu, serangkaian pernyataan menteri dan perdana menteri (lihat, misalnya, The National Agustus 2021, Oktober 2021 dan September 2022) telah membuat berbagai upaya tentang apa yang harus terjadi sebelum batas waktu 2025.
Adapun aturan itu meliputi, perusahaan penebangan berkewajiban untuk bermitra dengan pemerintah dalam “ruang hilir”; Tidak ada lagi izin atau konsesi baru yang akan diberikan kepada perusahaan tanpa rencana pemrosesan; Izin ekspor log hanya diberikan kepada perusahaan pemilik tanah atau masyarakat adat; Setengah dari total panen kayu harus diproses di darat; dan Tidak ada konsesi baru yang akan diberikan sampai Otoritas Kehutanan PNG melakukan peninjauan atau evaluasi terhadap semua konsesi yang ada.
Selama lebih dari 30 tahun, perdebatan nasional tentang hal ini telah berputar di dua lingkaran yang akrab. Antara industri kehutanan dan konsultan yang didanai donor, karena para peneliti dan aktivis lingkungan menyebutkan bahwa argumen ini tidak pernah terselesaikan.
Pasalnya, kata mereka, tidak ada pemerintah yang pernah memberlakukan batasan aktual pada ekspor kayu bulat. Lalu apa yang bisa diharapkan dari James Marape ke depan soal larangan eksport kayu bulat demi keselamatan iklim bagi pulau Nugini?. (*)