Jayapura, Jubi – Selama pekan ini negara-negara Pasifik atau Pasific Island Forum (PIF) sedang berkumpul di Suva Fiji. Negara Kepulauan Pasifik berkumpul membicarakan masa depan negara-negara kepulauan itu, di tengah krisis perubahan iklim di negara-negara tersebut.
Walau demikian, Benny Wenda sebagai pemimpin ULMWP dan anggota MSG dari Port Villa Vanuatu telah mengingatkan komitmen mereka saat pertemuan di Samoa, soal permintaan kunjungan Komisaris HAM PBB untuk berkunjung ke Papua Barat.
Negara-negara Pasifik mulai dari penduduk 1.500 jiwa di Niue sampai Negara Papua New Guinea yang berjumlah hampir 10 juta jiwa bergabung dalam Pasific Island Forum.
Kelompok negara negara PIF ini didirikan pada 1971 tercatat 18 negara Pasific Island Forum atau PIF antara lain Australia, Kepulauan Cook, Negara Federasi Mikronesia, Fiji, Polinesia Prancis, Kiribati, Nauru, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Niue, Palau, Papua Nugini, Republik Kepulauan Marshall, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu.
Mengutip Forum Map (forumsec.org) menyebutkan bahwa visi Pasifik Forum adalah untuk kawasan perdamaian, harmoni, keamanan, inklusi sosial, dan kemakmuran, sehingga semua orang Pasifik dapat menjalani kehidupan yang bebas, sehat, dan produktif.
Bagi mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru, Tantomi Yahya, musik dan budaya sangat dekat dengan masyarakat di negara negara Kepulauan Pasifik.
“Mereka kalau bernyanyi di gereja selalu membagi suara dan sangat merdu sekali kita dengar,” kata Tantowi saat diwawancarai dalam Podcast milik adiknya, Helmi Yahya, belum lama ini.
Bahkan Tantowi Yahya menambahkan lagu-lagu Indonesia seperti “Sepanjang Jalan Kenangan” juga sangat dikenal dalam bahasa Pidgin di negara-negara Pasifik.
Menanggapi pernyataan Tantowi Yahya, pentolan Bass dari Group Band Delta Lima-lima Adolf Bastian Semuel dan juga rekan seangkatan Willem Ayamiseba pemain tamborin Black Brothers, menyebutkan bahwa sebenarnya personel Black Brothers yang pertama kali menerjemahkan lagu-lagu Indonesia ke dalam bahasa Pidgin atau Tok Pidgin ke seluruh pelosok kepulauan negara Pasifik.
“Mulai dari lagu Sepanjang Jalan Kenangan, Mimpi Sedih dan lagu berjudul Vanuatu, Port Moresby termasuk lagu Chinatown in Honiara,” katanya, seraya menambahkan lagu berjudul “Vanuatu” misalnya menceritakan keindahan negeri tersebut, dengan nyiur kelapa dan keladi rebus serta bahan makanan asli di sana.
Begitu pula lagu tentang Port Moresby yang menceritakan seorang warga Papua Barat yang kembali lagi ke ibu kota Papua New Guinea tersebut, setelah bertahun-tahun pergi dan meninggalkan istri serta anak-anaknya.
Jadi pimpinan Black Brothers mendiang Andy Ayamiseba sudah melakukannya sejak masih tinggal di Indonesia. Grup Black Brothers tampil dan rekaman lagu berjudul “Hari Kiamat” dan “Lonceng Kematian”. Kedua lagu ini merupakan kritik sosial terhadap ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia.
“Itulah hidup semakin biasa, seakan tak memperdulikan lagi. Yang kaya tertawa berpesta pora. Bintang jatuh hari kiamat, pengadilan yang penghabisan,” begitulah syair dan lagu Black Borthers berjudul Hari Kiamat di era 1970-an sangat terkenal di Indonesia.
Lagu ini berhasil direkam dalam Studio Irama Tara dalam bentuk kaset mulai dengan rekaman album pertama pada Juli 1976. Andy Ayamiseba pun mempromosikan Grup Band lainnya asal Papua seperti Black Papas maupun The Coconuts Band.
Melihat pemusik Papua yang banyak saat itu, Andy Ayamiseba kemudian mendirikan grup Black Papas dan Coconuts Band. Bahkan setiap kali pentas dan show, Group Band Black Brothers selalu memakai pakaian adat asli Papua mulai di Jakarta (Senayan), Belanda, dan selanjutnya ke Port Moresby pada 1977.
Mengutip buku Andy Ayamiseba; Idealisme, Dedikasi dan Konsistesi menyebutkan bahwa rekaman pertama BB di Port Moresby, dilakukan di Studio Radio Nasional PNG (National Broadcasting Corporation/NBC), di Waigani, Port Moresby. Rekaman ini mendapat bantuan dari NBC dan grup Black Brothers merekam dua album untuk Raymond Chin yang belum memiliki studio rekaman saat itu. Selama di PNG, Pasifik, Black Brothers berasil merekam 31 album dan tiga album kompilasi.
Di Hubert Murray Stadium, Konedobu, Andy mengumumkan kepada masyarakat dan pemerintah PNG, bahwa Group Black Brothers dan musiknya hadir untuk mendukung perjuangan OPM dalam membebaskan bangsa dan rakyat Papua Barat dari penjajahan Indonesia.
Pernyataan Andy memicu reaksi protes Kedutaan Besar Republik Indonesia di Waigani (Port Moresby). Pangu Party pimpinan Sir Michael Thomas Somare, yang memimpin pemerintahan koalisi pada 1979, didesak agar segera mendeportasi Andy Ayamiseba dan kelompok Black Brothers ke Jakarta, untuk diadili atas keterlibatan mereka dengan OPM.
Menurut buku berjudul Andy Ayamiseba; Idealisme, Dedikasi dan Konsistesi menyebutkan bahawa saat masih bermukim di Port Villa ibu kota Vanuatu, Black Brothers merilis album Border Crossers, Live in Salomon dalam album Border Crossers terdapat lagu yang berjudul “Liklik Hope Tasol” yang dinyanyikan dalam bahasa Bislama, lagu yang sangat populer saat itu, disamping “Blue Eyes From Santo Town”. Black Brothers mendapat tempat di hati masyarakat Vanuatu.
Show Black Brothers selalu dihadiri ribuan orang. Tahun 1986, Black Brothers mengadakan show di Honiara, Solomon Islands, untuk membantu rakyat yang mengalami bencana akibat angin badai Cyclone Namu (Santo Cyclone) dan show di tahun 1987 untuk membantu masyarakat Vanuatu yang dilanda bencana Cyclone Uma.
Lagu berjudul Border Crosser menceritakan tentang para pengungsi Papua Barat di PNG, terutama peristiwa April 1984 di mana ribuan warga Papua melintasi perbatasan setelah budayawan Arnold Ap dan Edu Mofu tewas tertembak di Pasir Enam Kota Jayapura. Musik dan budaya selalu melekat dalam show dan pentas music Black Brothers di era 1980 an.
“Kini semua telah berubah, adakah esok yang ceria,” begitulah syair lagu dari Grup Airmood Band musisi Papua era 1980-1990-an berjudul “Mendung”. (*)
Discussion about this post