Oleh: Benidiktus Bame*
Pertama-tama penulis turut berduka cita yang mendalam atas kematian seorang guru, Rosalia Rerek Sogen, di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan. Semoga dia beristirahat dalam damai. RIP.
Sekiranya keluarga korban juga mendapat penghiburan Roh Kudus, dan diberi kekuatan dan ketabahan.
Tokoh pejuang Afrika Selatan, Nelson Mandela (1918–2013) pernah berkata, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.
Nelson Mandela mengingatkan kita tentang pentingnya pendidikan, karena dengan pendidikanlah kita bisa bangkit, bersaing dan maju.
Tak hanya itu, kita juga bisa belajar dari Jepang bagaimana menghargai guru setelah hancur akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.
Rosalia Sogen, seorang guru atau pendidik yang tewas di Yahukimo datang dengan tulus. Niat baik dan misinya hanya satu, yaitu, untuk mencerdaskan anak-anak Papua di wilayah Pegunungan.
Nyatanya misi terbaiknya itu terputus karena ia harus tewas di tangan TPNPB-OPM.
Dia meninggalkan keluarga dan sanak saudaranya, hanya ingin mengabdikan diri dengan mengajar. Namun, semua cita-citanya berakhir di Yahukimo.
Untuk memajukan Papua tidak dengan cara lain. Hanya melalui pendidikanlah Papua bisa maju dan bersaing di kancah nasional dan internasional.
Pendidikan sangat penting karena akan menjadi fondasi utama untuk masa depan anak-anak Papua. Investasi serta tabungan orang Papua seharusnya pendidikan. Maka siapapun guru yang ditugaskan perlu kita lindungi.
Guru hadir untuk membina, mendidik dan mencerdaskan anak Papua, sehingga masa depan Papua selalu ada, akan ada dan terus ada.
Jadi, kematian seorang guru dan yang lainnya mengalami luka-luka, menjadi pukulan telak bagi Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM).
Kita ingin presiden dan menteri HAM mempercepat penyelesaian masalah Papua, yang sudah lama berlarut-larut.
Jatuhnya korban seorang guru perempuan, menandakan bahwa keamanan di Papua belum kondusif. Perlindungan terhadap guru dan tenaga medis di Tanah Papua, hendaknya menjadi evaluasi total, bagi pemerintah Republik Indonesia.
Negara perlu hadir untuk melihat masalah keamanan di Papua. Jika kondisi ini dibiarkan, dan berpeluang terjadi kekosongan guru di tanah ini. Para guru hampir pasti tidak mau mengabdi di daerah pedalaman Papua, karena trauma bahkan takut akan keamanan dan kenyamanannya.
Yang terkena dampak dari kasus kematian guru di Distrik Anggruk, Yahukimo adalah masa depan anak-anak Papua dan pendidikan di Tanah Papua.
Ini akan menjadi pertanyaan besar. Anak-anak Papua terpaksa harus kehilangan gurunya. Bahkan gedung sekolahnya dibakar.
Saya coba mengingatkan kita tentang kisah sejarah dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, yang dijatuhi bom atom Amerika Serikat. pada 15 Agustus 1945.
Kaisar Hirohito mengumumkan Jepang menerima kekalahan dari tentara sekutu. Usai Jepang kalah dia tidak hanya diam. Dia lalu mengumpulkan semua jenderalnya dan bertanya, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”
Para jenderal pun bingung dan menegaskan bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi kaisar walau tanpa guru.
Namun, Kaisar Hirohito menegaskan:
“Kita telah jatuh karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang, tetapi kita tidak tahu bagaimana membuat bom sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka? Kumpulkan guru-guru yang masih tersisa di seluruh pelosok negeri ini. Sekarang kepada merekalah kita akan bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan.”
Kisah di Jepang mengingatkan kita di Papua. Bahwa guru harus dilindungi, guru harus diperhatikan, guru harus diawasi dari ancaman teror atau intimidasi.
Percuma kita punya sumber daya alam yang melimpah dan menjanjikan harapan hidup, tetapi minim pendidikan. Sama saja. Atau segala sumber daya alam kita diatur oleh saudara kita dari luar Papua.
Maka dari itu, tidak ada cara lain untuk memajukan Papua. Hanya melalui pendidikan Papua bisa bersaing secara nasional dan global.
Pendidikan di daerah konflik jadi ancaman serius
Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten segera mengambil langkah serius, untuk memperhatikan pendidikan di daerah konflik. Karena kelihatannya, pemerintah tidak menyeriusi pendidikan dan masa depan anak-anak Papua di daerah konflik.
Jika dibiarkan, maka masa depan mereka sudah tidak ada harapan. Wajar jangan heran kalau mereka bergabung dengan TPNPB-OPM. Dengan demikian, sampai kapan pun Papua tidak akan maju.
Banyak kendala yang dialami dunia pendidikan di Tanah Papua. Diantaranya, rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, kurangnya sarana fisik, krisis tenaga guru, masalah biaya, kesejahteraan guru, dan minimnya siswa.
Semua masalah itu telah berakar tanpa satu pun diselesaikan.
Dengan melihat komplikasi masalah di atas, dengan situasi keamanan yang tidak kunjung membawa harapan, apakah masa depan Papua 20 tahun yang akan datang maju atau malah mundur?
Konflik politik janganlah mengorbankan pendidikan, karena masa depan suatu daerah diukur melalui pendidikan. Tanpa pendidikan kita tidak bisa menjadi apapun, bahkan tidak akan bisa bersaing di kancah nasional.
Guru adalah cahaya bagi siswa. Maka guru wajib dilindungi, agar cahaya pendidikan tetap bersinar di pedalaman Papua.
Masalah pendidikan yang dialami Papua, membuat penulis bertanya: seperti apa pendidikan di Papua kelak?
Pertama, pemerintah pusat dan daerah segera bekerja sama, untuk menyelesaikan konflik dan memberikan jaminan keamanan bagi guru di setiap daerah konflik di Tanah Papua.
Kedua, guru yang ditugaskan di daerah konflik harus ada pengawasan intens dari semua pihak, baik pemerintah, para tokoh adat dan agama, maupun masyarakat. Karena mereka hadir untuk mencerdaskan anak-anak kita.
Ketiga, pemerintah segera mengumpulkan anak-anak di daerah konflik, untuk memberikan mereka akses pendidikan yang layak, agar mereka juga hadir dan bisa bersaing dengan anak-anak di daerah lain.
Keempat, jangan menyepelekan korban Rosalia Sogen, guru yang tewas di tangan TPNPB-OPM. Segeralah mengambil langkah advokasi, guna melihat akar masalah dan harus diselesaikan.
Hal itu dilakukan agar hal yang sama tidak terulang dan menimpa guru dan tenaga kesehatan di Tanah Papua. (*)
*Penulis adalah mahasiswa akhir Magister Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Uncen Jayapura dan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Jayapura periode 2020–2022

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
TPNPB OPM tidak salah,
Eksekusi dilakukan setelah mengamati betul bahwa mereka itu Anggota TNI yang menyamar sebagai Guru dan Tenaga Kesehatan untuk mencari tahu informasi keberadaan TPNPB OPM.
https://www.facebook.com/share/p/1EUgbMB99z/