Oleh: Ambrosius Klagilit*
Menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Papua Barat Daya, terdapat bakal pasangan calon atau bapaslon yang terpaksa meyakinkan publik, bahwa mereka adalah orang asli Papua atau OAP.
Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi ketentuan, sebagaimana diatur dalam Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Pasal 12).
Dalam pasal itu disebutkan, bahwa orang yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia–dengan delapan syarat, salah satunya, OAP.
Orang asli Papua atau OAP, jika merujuk pasal 1 huruf T UU Nomor 21 tahun 2001 yang telah diubah dengan UU 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua pasal 1 angka 22, adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka terdapat beberapa unsur jika seseorang merupakan OAP, yaitu, dari ras Melanesia, ras Melanesia itu terdiri suku-suku asli di Provinsi Papua, dan diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
Undang-Undang Otsus Papua telah memberikan pembatasan mengenai definisi OAP. Pembatasan tersebut dapat dilihat sebagaimana unsur-unsur di atas. Misalnya, ras Melanesia hanya dibatasi pada suku-suku asli di Papua. Artinya, ras Melanesia yang bukan dari Papua bukan dikatakan OAP.
Selanjutnya mengenai unsur diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua. Harus ada peraturan pelaksana lebih lanjut dari UU Otsus Papua, mengenai tata cara dan prosedur agar seseorang dapat diterima dan diakui sebagai sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
Selama belum ada peraturan pelaksana yang mengatur tata cara dan prosedurnya, maka ketentuan unsur tersebut tidak dapat ditafsirkan dengan memberikan rekomendasi sebagai OAP, kepada salah satu pasangan calon.
Dinamika politik di Tanah Papua, khususnya Provinsi Papua Barat Daya (PBD), dalam merebut posisi gubernur dan wakil, dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, dengan rekomendasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) untuk diakui sebagai OAP, agar tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 12 UU Otsus Papua.
Hal tersebut dibuktikan dengan Surat Rekomendasi Pengakuan Adat Nomor. 239/LMA-M/REK/VIII-2024 yang dikeluarkan oleh LMA Malamoi.
Pertanyaan, apakah dengan mendapatkan rekomendasi dari LMA, seseorang yang bukan berasal dari ras Melanesia dari Papua, dapat dijadikan sebagai OAP?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Otsus Papua. Ketentuan tersebut menekankan bahwa OAP adalah orang yang berasal dari ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua dan atau diterima dan diakui oleh masyarakat adat Papua.
Ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Otsus Papua belum memiliki peraturan pelaksana mengenai tata cara dan prosedur pengakuan adat dan atau tata cara pengangkatan seseorang menjadi menjadi OAP, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LMA Malamoi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Selanjutnya dasar hukum penerbitan Surat Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang Pengakuan Adat yang dikeluarkan oleh LMA Malamoi juga tidak tepat. Tidak satu pun dasar hukum tersebut yang mendelegasikan kewenangan kepada LMA Malamoi, untuk memberikan pengakuan hak adat kepada setiap orang yang bukan berasal dari ras Melanesia dari suku-suku asli di Papua, untuk dapat dinyatakan sebagai OAP.
Dengan demikian, LMA Malamoi tidak berwenang menerbitkan Surat Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang Pengakuan Hak Adat.
Untuk menambahkan alasan-alasan di atas, terdapat beberapa adagium hukum yang bisa digunakan, diantaranya:
- Cum letitimae nuptiae factae sunt, patrem liberi sequuntur (anak yang lahir dalam perkawinan yang sah mengikuti kondisi ayahnya)
Berangkat dari adagium ini, seseorang yang lahir dari perkawinan yang sah harus mengikuti kondisi dan atau eksistensi ayahnya dari berbagai aspek, baik sosial, maupun budaya.
Adagium ini menguatkan fakta bahwa argumentasi kepapuan yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa kepapuaan seseorang mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal.
- Interpretatio cessat in claris, interpretatio est perversio. Jika teks atau redaksi undang-undang telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Sebab, penafsiran terhadap kata-kata yang jelas berarti penghancuran.
Jika merujuk pada adagium tersebut, dalam kaitannya dengan syarat menjadi gubernur dan wakil gubernur, sebagaimana Pasal 12 huruf (a) yang menegaskan bahwa harus OAP, sehingga jelas bahwa definisi OAP sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 22 tidak dapat ditafsirkan berbeda dan dikaitkan dengan keturunan dari ibu, mengingat istilah OAP sering menjadi tentang garis keturunan laki-laki patrilineal dari rumpun ras Melanesia yang ada di Provinsi Papua.
Di sisi lain, orang Papua juga kerap dilekatkan pada masyarakat hukum adat, yang menggambarkan jati diri OAP, termasuk dalam kontestasi pengelolaan sumber daya alam.
Artinya, bahwa kepapuaan seseorang dapat dilihat, tidak terbatas pada keturunan yang mengikuti garis keturunan bapak atau patrilineal, tapi juga pada hubungannya dengan tanah dan wilayah adat, sebagai bentuk klaim kepapuaan seseorang.
- Politiae legius non leges politii adoptandae (politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya)
Situasi politik di Papua seakan-akan mengatur hukum, dan tidak tunduk pada ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Beberapa pihak bahkan membangkang, dengan mendefinisikan peraturan sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Apa pun tindakan yang dilakukan, yang dengan memaksakan hukum tunduk pada politik, merupakan suatu perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan hal-hal di atas, Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat Daya (PBD) sebagai lembaga representasi kultural OAP, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak OAP (vide pasal 1 ayat 8).
Dan atau berdasarkan kewenangannya sebagaimana termuat dalam Pasal 20 ayat 1 huruf (a) UU Otsus Papua, dimana MRP memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah.
Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa hal perlu diperhatikan.
Pertama, MRP Provinsi PBD mengambil-langkah penting untuk melindungi hak-hak politik OAP. Salah satunya dengan tidak memberikan persetujuan kepada bakal calon yang bukan OAP;
Kedua, MRP Provinsi PBD harus berani berkaca pada MRP, yang tidak memberikan persetujuan kepada bakal calon gubernur yang bukan OAP di Provinsi Papua pada tahun 2005;
Ketiga, MRP Provinsi PBD memberikan surat teguran, dan bila perlu mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak dan lembaga-lembaga, termasuk lembaga adat yang mencoba merampas dan merusak hak-hak politik OAP;
Keempat, LMA Malamoi segera mencabut Surat Rekomendasi Nomor 239/LMA-M/VIII-2024 tentang Pengakuan Hak Adat, tertanggal 27 Agustus 2024. (*)
*Penulis adalah pegiat hak asasi manusia dan masyarakat adat
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!