Oleh: Fabianus John Berek*
Seluruh rakyat Indonesia baru saja merayakan pesta demokrasi. Tak terkecuali orang asli Papua (OAP) se-Tanah Papua.
Ibarat pesta, tentunya masyarakat Papua ingin mendapatkan sesuatu, yang membahagiakan bagi masa depannya. Mereka mengharapkan agar pemimpin terpilih bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, khususnya OAP.
Berbagai janji politik calon pemimpin telah diutarakan. Visi-misi telah disampaikan. Kini tiba saatnya masyarakat menagih janji-janji itu.
Akankah janji itu terealisasi ataukah hanya retorika belaka? Tentu jawabannya terletak pada komitmen dan niat baik pemimpinnya.
Mayoritas para kandidat kepala daerah dan wakilnya adalah representasi dari OAP. Meskipun demikian, masih ada beberapa kandidat non-OAP.
Dengan demikian, banyak pihak berharap agar pemimpin-pemimpin Papua yang sudah terpilih, berani dan sungguh memperjuangkan nasib dan hak-hak dasar OAP.
Urgensi pemenuhan hak OAP
Pasca ditetapkannya Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II, nasib dan hak-hak OAP menjadi isu sentral dalam pengambilan kebijakan di Tanah Papua.
Narasi untuk memajukan harkat dan martabat OAP semakin gencar dikampanyekan. Pemenuhan hak-hak dasar OAP dan kebijakan afirmasi di semua sektor diprioritaskan.
Kenyataan ini menegaskan bahwa kondisi OAP pasca pemberlakuan Otsus Jilid II menjadi perbincangan serius. Dan tentunya memerlukan penanganan yang serius dan komprehensif pula.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan OAP masih jauh dari harapan. Kondisi OAP masih membutuhkan penanganan serius dari pemerintah pusat maupun daerah.
Isu marginalisasi OAP di segala sektor kehidupan, dominasi kelompok non-OAP di pemerintahan, politik dan ekonomi, makin mempertajam kesenjangan antara OAP dan non-OAP.
Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua tahun 2023 masih jauh tertinggal dan menempati urutan terbelakang se-Indonesia (BPS, 2023). Meskipun IPM Papua mengalami tren peningkatan setiap tahun, itu belum mampu menjamin rasa keadilan bagi OAP di tengah dominasi kelompok non-OAP.
Untuk menyikapi kondisi ini, perlu ada terobosan konkret yang harus diambil oleh para pemimpin politik Papua, baik eksekutif, maupun legislatif.
Kompleksitas persoalan yang dialami OAP ini merupakan pekerjaan rumah, yang wajib dijawab oleh pemimpin Papua, baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota.
Pertanyaannya adalah sejauh mana keinginan dan motivasi elite politik Papua, dalam memajukan hak-hak dasar OAP?
Tulisan ini hendak merekomendasikan sejumlah kebijakan, yang perlu menjadi catatan bagi elite politik Papua, untuk meningkatkan kualitas hidup OAP.
Penguatan sumber daya manusia (SDM) OAP secara berkesinambungan, dan kualitas SDM yang unggul, menjadi tumpuan utama, untuk meningkatkan harkat dan martabat OAP.
Para kepala daerah perlu memprioritaskan program strategis yang pro pada peningkatan SDM bagi OAP.
Pengalokasian anggaran pendidikan saja belum cukup. Perlu ada terobosan konkret, untuk memastikan pembenahan dan perbaikan kualitas SDM bagi OAP secara berkesinambungan, di semua jenjang pendidikan.
Komersialisasi pendidikan yang berujung pada minimnya akses pendidikan bagi OAP perlu diberantas. Pendidikan yang pro kepada pemenuhan hak-hak OAP perlu dikawal, dan dievaluasi secara berkala. Dengan tetap berpedoman pada prinsip afirmasi dan proteksi.
Apabila pembenahan kualitas SDM diabaikan, maka semakin mempertajam ketimpangan SDM antara OAP dan non-OAP. Yang pada gilirannya semakin mempertegas dominasi kelompok non-OAP di semua sektor.
Oleh karena itu, para kepala daerah perlu mendesain kebijakan akselerasi SDM bagi OAP, secara terukur dan berkelanjutan di semua jenjang pemerintahan.
Tanpa komitmen kepala daerah, yang notabene OAP itu, maka marginalisasi OAP terus bertumbuh subur. Dan akan menjadi malapetaka dalam kehidupan bernegara.
Pemenuhan hak-hak dasar dan kesetaraan politik OAP
Hak-hak dasar OAP, seperti, seperti hak menempuh pendidikan, memperoleh kehidupan layak, dan hak sipil lainnya, masih terabaikan hingga saat ini. Kepala daerahlah yang paling bertanggung jawab, sebagai wakil pemerintah, untuk menjawab persoalan ini.
Oleh karena itu, perlu pemetaan sasaran kebijakan yang jelas antara kelompok OAP dan non-OAP. Tanpa pemetaan ini, pemenuhan hak-hak sipil OAP sulit diwujudkan.
Kebijakan afirmasi dan proteksi, seharusnya menjadi standar umum yang diterapkan di berbagai instansi pemerintah. Untuk mendorong pemenuhan hak-hak OAP. Baik di bidang ekonomi, sosial dan politik, maupun pemerintahan dan budaya.
Identifikasi dan pemetaan menjadi dua kata kunci yang patut diterapkan, dalam mengimplementasikan semua kebijakan pemerintah, dalam meningkatkan hak-hak OAP. Yang selama ini tersandera berbagai persoalan.
Sementara itu, persoalan kesetaraan politik juga merupakan isu penting dan sensitif yang perlu diperhatikan.
Kesetaraan politik tidak hanya dilihat dari banyaknya partisipasi OAP dalam kontestasi politik. Namun, yang lebih esensial adalah bagaimana suara atau aspirasi politik yang disuarakan mendapatkan tempat. Atau minimal menjadi agenda kebijakan pemerintah.
Walaupun saat ini sudah ada kebijakan afirmasi di lembaga politik, untuk memperbanyak jumlah OAP melalui fraksi pengangkatan di lembaga legislatif dan pembentukan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), namun belum sepenuhnya menjamin aspirasi yang disuarakan.
Oleh karena itu, perlu ada komitmen dan kerja sama berbagai kepala daerah di Tanah Papua, untuk bahu-membahu memperjuangkan kesejahteraan hidup OAP.
Pemberdayaan dan penguatan ekonomi lokal Papua
Saat ini pelaku perekonomian di Papua masih jauh dari kendali OAP. Ada narasi yang mengatakan bahwa OAP hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Sepertinya masih ada relevansinya.
Bagaimana tidak, pemekaran daerah otonomi baru (DOB)–yang tidak disertai kesiapan dan desain kebijakan ekonomi yang pro OAP, mengakibatkan pelaku usaha, mulai dari skala mikro, kecil dan menengah ke atas, dikendalikan oleh kelompok non-OAP.
Fakta ini sangat ironis. Sekaligus menimbulkan pertanyaan lanjutan. Apakah situasi ini terus dibiarkan?
Tanpa komitmen dan keberanian elite politik Papua untuk mengatasi permasalahan ini, maka nasib dan kesetaraan ekonomi OAP hanya ilusi belaka.
Pelaku ekonomi perlu diprioritaskan bagi OAP, guna meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Mewujudkan mimpi ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat berbagai tantangan besar yang harus dihadapi. Seperti kesenjangan modal dan kompetensi/keterampilan berwirausaha, antara OAP dan non-OAP.
Oleh karena itu, perlu ada terobosan nyata dalam bentuk kebijakan afirmasi dan proteksi bagi OAP di bidang ekonomi.
Para pelaku usaha, khususnya OAP perlu mendapatkan perhatian serius, mulai dari aspek peningkatan kompetensi dan akses modal, hingga keberpihakan secara politik.
Sudah saatnya para pengusaha lokal Papua mendapatkan ruang, untuk mengendalikan roda perekonomian di Tanah Papua.
Dengan demikian, para kepala daerah dan wakil rakyat perlu merumuskan kebijakan yang memprioritaskan penguatan ekonomi bagi OAP, di tengah derasnya arus migrasi kelompok non-OAP Tanah Papua.
Berbagai kebijakan yang ditawarkan ini, hanya akan terwujud, jika elite politik Papua memiliki komitmen dan konsistensi. Sudah saatnya prinsip proteksi dan afirmasi bagi OAP dijalankan secara menyeluruh pada semua aspek.
Semoga pesta demokrasi pada 27 November 2024, mampu memberikan sumbangan pemikiran kritis dan reflektif, bagi para pemimpin Papua, untuk lebih cermat dan konsisten memperjuangkan nasib OAP. (*)
*Penulis adalah PNS di Pemkab Deiyai, Provinsi Papua Tengah
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
tulisan yang menarik, melihat kebijakan otsus papua dari berbagai aspek.