Oleh: Dr. Budi Hernawan*
Saya terkejut dan amat sedih mendengar Pater Yustinus Rahangiar Pr. atau biasa dipanggil Pater Yus, dipanggil menghadap Bapa di Surga, pada 6 September 2024 di Rumah Sakit Provita Jayapura.
Saya tidak sering bertemu dengan Pater Yus tetapi setiap kali ketemu selalu membawa kesan mendalam. Kalau tidak salah ingat, pertemuan pertama terjadi sekitar bulan Juli 1998 di Timika.
Saat itu, Pater Yus adalah Ketua Tim Pastoral Mimika dan tinggal di Paroki Tiga Raja, yang sekarang menjadi Katedral Tiga Raja. Kebetulan saya mengikuti Musyawarah Adat Lemasa yang berlokasi tak jauh dari pastoran, sehingga saya bermalam di Pastoran Tiga Raja. Saya beruntung mendapatkan kesempatan ngobrol banyak dengannya dan juga Pater Nato yang tinggal di pastoran yang sama.
Pater Yus tentu tak seperti Pater Nato. Dia tak pernah tampil dalam wawancara dengan wartawan. Dia juga bukan seorang intelektual yang biasa memberikan analisis ilmiah bagi kaum cendekiawan. Namanya juga tidak ada dalam daftar bibliografi para peneliti soal Freeport.
Tapi orang-orang itu lupa bahwa Pater Yus yang merekam sejarah sunyi orang Kamoro dan Amungme–yang hidupnya jungkir balik gegara Freeport, karena dia adalah pastor. Dialah gembala umat yang setia menemani jungkir balik umatnya, dengan segala mop dan kisah-kisah uniknya.
Dari pertemuan Timika, entah berapa lama saya tidak bertemu dia lagi. Ketika Bilogai mulai ribut karena konflik bersenjata antara TNI dan TPNPB, Pater Yus sudah di sana. Dia sudah ada di Paroki St. Misael, Bilogai, sebelum daerah itu dimekarkan dan diberi nama Kabupaten Intan Jaya.
Saya sempat menelpon beliau untuk menanyakan keadaannya. Dia mengatakan, “Keadaan saya baik tapi keadaan di sini tidak baik. Kurang aman. Tapi saya senang sekali bisa dengar suara Budi lagi. Sudah lama sekali.”
Pater Yus jugalah yang menjadi tempat pelarian umatnya di Bilogai, yang mengungsi dari rumah-rumah mereka, karena terjadi konflik bersenjata antara kedua belah pihak tersebut. Bersama para suster, mereka menyediakan tanggap darurat semampunya. Dan ini tidak hanya terjadi sekali, dua kali.
Tahun lalu, tepatnya bulan Juli 2023, saya berkesempatan mengunjungi Timika. Saya sudah berencana untuk bertemu Pater Yus. Tapi alih-alih ke pastoran St. Cesilia di SP2, Pater Yus datang dengan motor di tengah hujan besar ke kantor Keuskupan Timika, tempat saya bermalam. Akhirnya, kita bisa bercerita lama.
Kebetulan saya saat itu sedang mengadakan riset tentang sejarah pastor awam di Keuskupan Timika dan Pater Yus merupakan narasumber yang tepat.
Di Keuskupan Timikalah terdapat Adios atau Awam Diosesan, wadah bagi para petugas pastoral awam yang melayani di Keuskupan Timika.
Pater Yus menegaskan, “Adios terpelihara di sini. Saya tidak anggap katekis bawahan tetapi rekan kerja. Almarhum Uskup John (Saklil) masih jaga. Di keuskupan lain, mereka mengerti salah. Karena kekurangan imam, maka awam dilibatkan.”
Pater Yus kemudian menguraikan sejarah pendirian Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur di Abepura, “Pendirian STFT bukan untuk mendidik imam [pastor] tetapi petugas Gereja. Lalu nanti orang boleh pilih awam, imam, atau biarawan. Tetapi pendidikannya sama.”
Artinya, pada awalnya program pendidikan STFT berada di satu asrama yang sama, tidak seperti sekarang. Pater Yus melanjutkan, “Pikiran sendiri-sendiri mulai dengan Fransiskan. Mulai dari situ salah, mulai salah pengertian. OSA [Ordo Santo Agustinus] mulai ikut. Karena itu, [STFT] harus kembali ke akar. STFT fokus ke petugas Gereja bukan imam”.
Selain soal peran awam dalam Gereja, saya juga mendengar sharing pengalaman pastoral di Bilogai selama 2005-2022, Pater Yus dengan berapi-api menjelaskan, “Tahun 2019 itu TNI masuk dan itu masalah. Sebelumnya aman sekali. Yang biasa terjadi itu perang suku, tete dibunuh, belum bayar mas kawin, atau perang pilkada. Tapi sejak muncul ‘Blok Wabu’ semua kantor dipasang tembok-tembok pasir. Hanya kantor bupati saja yang tidak. OPM itu dulu sedikit saja. Kami sudah kirim surat ke Pusat tetapi dijawab ini program dari pusat. Di situ mulai kacau”.
Dengan kata lain, selama tujuh belas tahun, Pater Yus menemani umatnya yang terjepit di tengah konflik bersenjata berkepanjangan, antara TPNPB dan TNI. Dia berujar, “Pelanggaran HAM terus terjadi, tapi mau bikin bagaimana?”
Suasana terjepit inilah yang seringkali tidak ditangkap oleh dunia luar, sistem-sistem hukum dan hak asasi manusia yang ternyata jauh dari kenyataan di lapangan.
Penggalan-penggalan percakapan ini memang khas Pater Yus yang merekam semua peristiwa yang dialami, direfleksikan dan dibagikan dalam kacamata seorang gembala umat, bukan analisis politik atau aktivis HAM.
Pater Yus sudah pergi menghadap Bapa dan kitalah yang diundang menjadi penerus karya-karya pastoralnya sebagai “teman bagi mereka yang terjepit.” Selamat jalan, Pater! Tete Manis menerima jasa baikmu. (*)
*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
Apa yang di sampaikan pada Tulisan diatas oleh Dr. Budi Hernawan adalah benar, itu ciri Pater Yus. Saya secara pribadi sering berdiskusi dengan Pater. Suatu malam kami berdua duduk di teras tegah pastoran bilogai sambil ngopi dan merokok. Pater menceritakan banyak hal, saat itu saya tinggal bersama nya karena barak pegawai di Mamba dibakar pasca pilkada. Beliu berkata, saya sangat sayang tempat ini “Bilogai” Sambil tersenyum, sementara saya hanya diam dan serius mendengarkan, sembari menebak-nebak alasan nya. Sejenak dia, diam sambil menarik nafas lalu berkata “you tahu, mereka tidak sayang tempat ini, mereka lebih suka hidup di kota, pada hal ini kampung mereka, saya binggung”, sambil memukul testa nya, sembari tersenyum lagi. Saya hanya diam, lalu Pater katakan, kita bekerja di tempat ini dan harus kita cinta tepat ini, buatlah sesuatu, itu apa saja yang bisa untuk mereka semakin cinta kampung mereka. Biarkan mereka melihat kita benar-benar peduli dan bukan pura-pura, apa pun ceritanya nanti. Karena sudah larut dan dingin, beliu pamit untuk istirah. Cerita itu selalu saya ingat dan berulang kali saya coba merefleksikan beberapa kata yang menurut saya itu penting.
——
Pater banyak kenangan, bahagialah bersama para kudus di surga.