Oleh: Alpius Uropmabin*
Orang asli Papua atau OAP menyebut tanah Papua sebagai mama–yang memberi kehidupan berupa susu dan madu bagi kelangsungan hidupnya. Namun, rahim “mama” bumi Papua, yang dijuluki surga kecil yang jatuh ke bumi, pulau emas atau dapur Indonesia dan dunia ini, tengah mengalami krisis.
Para elite dan investor di negara ini dengan kepentingan ekonomi-kapitalis memandang mama Papua, sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Pada saat bersamaan, mereka tidak memperdulikan keselamatan mama Papua, dan masyarakat adat sebagai pemilik ulayat.
Penyebutan Tanah Papua sebagai mama, sebenarnya mau mengajak kita untuk melihat aspek terdalam dari hakikat mama atau perempuan, yaitu rahim.
Seperti seorang perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui, demikian pun bumi atau tanah ini. Ia mengandung, menumbuhkan dan melahirkan berbagai jenis kehidupan.
Bukega (2020) menyebutkan konsep tanah “mama bumi” menurut orang Muyu. Tanah ‘mama bumi’ dalam bahasa Muyu disebut ambikin atau bumkon. Ambikin diartikan sebagai tanah, menunjukkan tempat yang terbatas. Kata ambikin mengandung akar kata ambe yang berarti bapa.
Maksud dari kata ambikin menerangkan bahwa tanah yang ditempatinya ialah tanah warisan bapak atau nenek moyangnya. Ketika orang Muyu mengatakan nub-ambikin berarti “tanah air kami”.
Ambikin inilah yang dianggap dan dipahami orang Muyu sebagai seorang pribadi. Dengan demikian, ambikin dalam mitologi orang Muyu dikaitkan dan disebut bumkon (bumi/tanah). Bumkon dipandang dan dipahami orang Muyu sebagai seorang “perempuan” (ibu/mama).
Kata bumkon memiliki sifat seorang perempuan (ibu/mama), karena itu orang Muyu menyejajarkan bumkon ini sebagai perempuan yang memainkan peranan dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan konsep tanah “mama bumi” menurut masyarakat Ngalum Ok disebut dengan mangol (tanah). Tanah bagi orang Ngalum Ok memiliki nilai tersendiri dianggap “alut” (sakral/kudus) dan berkaitan langsung dengan penghidupan mereka.
Tanah “mama bumi” merupakan modal sosial milik bersama dan menjadi sandaran hidup bagi seluruh komunitas Ngalum Ok.
Lalu bagaimana jadinya bila “mama bumi” Papua ini dirusak dan dieksploitasi oleh kapitalis demi memenuhi kekuasaan dan kepentingan ekonomi mereka? Tentu akan melahirkan banyak masalah bagi “mama bumi” dan segala aspek kehidupan manusia. Kondisi inilah yang tengah dialami rahim bumi Papua.
Hegemoni atas tanah masyarakat adat Papua
Praktik-praktik hegemoni dalam pembangunan bekerja dalam berbagai cara. Yang paling kasat mata adalah lewat penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam, demi akumulasi kapital oleh kelompok-kelompok elite.
Investor atau pemilik modal, para pengusaha, birokrat, dan politisi, dianalisis sebagai pelaku kontemporer dari kelas borjuis yang diidentifikasi Karl Marx (1818-1883) pada masyarakat industrialisasi awal. Mereka menguasai tanah, air, udara, ruang dan seluruh isinya, seluruh ekosistem dalam semua potensi dan seluruh manfaatnya, baik manfaat ekologis, maupun manfaat ekonomi.
Lebih dari itu, mereka menguasai seluruh proses pembangunan, dan memanfaatkannya demi akumulasi kuasa ekonomi dan politik yang semakin besar.
Seluruh proses penguasaan itu difasilitasi oleh operasi negara. Aparat negara–birokrat, politisi, dan aparat keamanan–menopang kekuasaannya dengan mencaplok, menguasai dan mengeksploitasi anggaran publik.
Dan program-program pembangunan, sampai pada level yang mengakibatkan manfaat pembangunan bagi masyarakat umum, menjadi sedemikian kecil dan tidak signifikan. Menjadi kelas dominan yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya anggaran atas nama pembangunan.
Dengan demikian, pembangunan arus utama merupakan model produksi kapitalistik. Di Papua demi pembangunan, tanah, alam, hutan, air, pohon dan segala sumber daya sedang dikuasai dan dieksploitasi secara legal maupun ilegal oleh “penguasa-pengusaha asing dan Jakarta”.
Bila diteliti secara kritis, penguasaan dan perampasan tanah penduduk asli Papua bukan rahasia umum. Karena sejak penguasaan kolonial Belanda di Papua dan aneksasi Papua ke dalam NKRI, persoalan tentang penguasaan dan perampasan tanah menjadi suatu persoalan tersendiri.
Beragam kasus penguasaan dan perampasan tanah di Papua belum berakhir. Karena pada saat bersamaan terdapat pula pelanggaran HAM masyarakat adat.
Ada beberapa kasus (Bukega, 2020) yang mewakili sejumlah kasus penguasaan tanah, dan dugaan pelanggaran HAM di Papua.
Pada tahun 1967, PT Freeport Indonesia menandatangani kontrak karya I, dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Seharusnya melakukan Pepera terlebih dahulu baru melakukan kontrak kerja sama dengan kapitalis Amerika. Akan tetapi, ini suatu keanehan yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap orang Papua.
Besar kemungkinan mayoritas masyarakat adat Papua saat itu ditodong dengan senjata, untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Freeport sudah 50-an tahun mengeksploitasi sumber daya alam bumi Papua. Perusahaan raksasa ini menghalalkan berbagai cara, termasuk melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap pemilik ulayat penduduk Amungme, seperti Kampung Banti, Wa’a, dan Aranop, yang terbentang di sungai Wanigon.
Akan tetapi, Sungai Wanigon pun telah menjadi tempat pembuangan limbah. Ini menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat setempat.
Selain PT Freeport, proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke, juga sekiranya menjadi contoh kasus penguasaan tanah, dan dugaan pelanggaran HAM di Papua.
Pemerintah Indonesia telah memberikan izin kepada perusahaan hutan industri di atas tanah adat komunitas Zanegi (suku Marind) kepada perusahan kayu PT Selaras Inti Semesta (SIS), anak perusahaan Medco Group, yang memiliki konsesi seluas dari 169.400 hektare. PT SIS adalah salah satu dari 80 lebih komunitas perusahaan, yang beroperasi dalam proyek agroindustri raksasa MIFEE.
Suku Awyu tengah menuntut PT Indo Asiana Lestari yang mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare. Lahan seluas lebih dari setengah DKI Jakarta itu berada di hutan adat marga Woro.
Masyarakat adat Awyu umumnya hidup sebagai peramu dan pemburu. Makanan utama mereka adalah sagu, serta ikan dan udang yang ditangkap langsung dari sungai. Namun, kini sebagian besar hutan adat mereka dieksploitasi oleh kapitalis.
Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Keppres Nomor 15/2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke, Papua Selatan, dengan melepaskan 2 juta hektare tanah milik masyarakat adat.
Perkebunan tebu di Merauke merupakan bagian proyek strategis nasional (PSN), sebagai lanjutan dari pengembangan pangan skala besar (food estate), dengan tujuan mendukung percepatan swasembada gula nasional dan bioetanol sebagai bahan bakar nabati.
Bebaskan Papua dari deforestasi
Luas hutan Papua 33.847.928 hektare atau 74,31% dari total luas Tanah Papua. Dengan luas itu, Papua memiliki flora terkaya di dunia dan tiga kali lipat dari keragaman tumbuhan di Pulau Jawa.
Deforestasi hutan akibat konversi lahan naik dalam dua dekade terakhir hutan Papua menyusut 663.443 hektare. Sebanyak 29% terjadi pada 2001-2010 dan 71% pada 2011-2019.
Dengan luas kehilangan hutan tertinggi pada 2015 seluas 89.881 hektare, rata-rata deforestasi Papua 34.918 hektare per tahun.
Dengan menganalisis citra satelit, Auriga menyimpulkan seluas 1.292.497 hektare atau 82% dari total luas pelepasan kawasan hutan dalam kondisi memiliki tutupan hutan alam yang rapat, ketika pemerintah memberikan izin perubahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu, Auriga menyebutnya planned deforestation atau deforestasi terencana.
Bersolidaritas menyelamatkan “mama” Papua
Pulau Papua memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Publikasi 99 ahli yang meneliti flora dan fauna Papua dan menerbitkannya di majalah Nature pada 2020 menyebutkan, pulau kedua terbesar ini memiliki 13.634 spesies tumbuhan.
Sayangnya, kekayaan flora tersebut hanya jadi nostalgia sesaat. Saat ini, IUCN mencatat sedikitnya 470 jenis flora terancam punah di Tanah Papua. Salah satu penyebabnya adalah deforestasi.
Berdasarkan studi Auriga, sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan Papua menyusut 663.443 hektare, 71% terjadi pada 2011-2019. Atau bila dirata-ratakan, setiap tahun Papua kehilangan 34.918 hektare hutan. Luas yang setara dengan setengah luas Kota Jakarta.
Perlindungan dan pelestarian alam Papua merupakan tanggung jawab bersama. Mencegah deforestasi dan pengrusakan habitat adalah tugas yang memerlukan kerja sama dari semua pihak.
Inisiatif konservasi, baik dari pemerintah, lembaga nirlaba, maupun komunitas lokal, harus terus didorong dan didukung. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan, bahwa kekayaan alam Papua tetap terjaga, hingga kita bisa mewariskannya ke generasi berikut. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!