Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA*
Pengalaman membuktikan bahwa di sebuah kampung atau distrik yang mayoritas penduduknya orang asli Papua atau OAP, pembangunan infrastruktur maupun non infrastrukturnya kurang diperhatikan secara serius. Sedangkan di sebuah kampung atau distrik yang mayoritasnya penduduknya dihuni non-OAP pasti secepatnya mendapatkan perhatian pemerintah.
Ada sejumlah pertanyaan yang patut dijawab oleh pemerintah NKRI. Mengapa setelah Pepera 1962, pemerintah secepatnya mengeksekusi program transmigrasi? Mengapa tidak menunda program transmigrasi ini, sambil melanjutkan pembangunan yang telah dirintis oleh pemerintah Belanda dan misionarisnya, yaitu memajukan dan mengembangkan orang asli Papua? Mengapa harus mendatangkan transmigrasi terlebih dahulu, lalu kemudian memulai membangun orang asli Papua? Mengapa pemerintah tidak memprioritas pembangunan bagi kemajuan orang asli Papua?
Sedangkan kota-kota yang lahir karena adanya perusahaan, pada umumnya mengalami perkembangan yang cepat dan pesat. Hal ini terjadi karena perusahaan tersebut menyedot banyak karyawan.
Oleh karena itu, infrastruktur dasar pada umumnya diperhatikan, baik oleh perusahaan, maupun oleh pemerintah.
Mayoritas penduduk di kota-kota yang didirikan oleh perusahaan setelah Pepera 1962, didominasi oleh orang non-OAP. Demikian halnya dengan kota-kota pemekaran yang dimotori oleh Pemerintah Pusat. Kota-kota pemekaran pun dipadati oleh orang-orang non-OAP.
Dilihat bahwa tujuan utama Pemerintah Pusat memekarkan provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Tanah Papua adalah demi investasi dan eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua daripada pembangunan manusianya. Dan pula pemekaran provinsi, kabupaten dan kota yang baru, dipandang sebagai upaya pemerintah melanjutkan kebijakannya, yaitu penyebaran penduduk (ekspansi demografi) non-OAP di Tanah Papua, agar menekan dan memperkecil laju penduduk orang asli Papua.
Dan juga demi memperluas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alamnya. Ini adalah sebuah bentuk strategi perang halus (soft war) yang diperlakukan oleh negara, melalui kebijakan Pemerintah Pusat.
Strategi negara RI ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Theo van den Broek dalam artikelnya yang dimuat oleh Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 48, No. 1 Tahun 2022. Ia mengatakan bahwa strategi ini sebagai “grand design strategi penguasaan”.
Lebih lanjut Theo menegaskan bahwa “grand design strategi penguasaan” ini sebagai “kekerasan segi lima”, namun saya menambah dua poin lagi, sehingga menjadi “kekerasan segi tujuh”. “Kekerasan segi tujuh” tersebut: 1) penguasaan disertai kekerasan di bidang keamanan; 2) penguasaan disertai kekerasan di bidang hukum dan yuridis; 3) penguasaan disertai kekerasan di bidang institusi dan demokrasi; 4) penguasaan disertai kekerasan di bidang kependudukan; 5) penguasaan disertai kekerasan di bidang komunikasi dan informasi; 6) penguasaan disertai kekerasan di bidang ekonomi; 7) penguasaan disertai kekerasan di bidang eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup atau ekologi.
Inilah cara-cara membangun kota manusia dan kota Allah sebagaimana direfleksikan oleh St. Augustinus. Model pendekatan pembangunan yang dikedepankan oleh Pemerintah dan para misionaris Belanda adalah model pembangunan kota Allah. Karena dilandasi oleh cinta kasih, ketulusan hati, kejujuran, dan keadilan bagi orang asli Papua. Orang asli Papua dipandang sebagai subjek pembangunan, bukan objek pembangunan.
Sedangkan model pendekatan pembangunan yang dikedepankan oleh Pemerintah Indonesia dan perusahan setelah Pepera 1962 adalah model pembangunan kota manusia. Karena dilandasi oleh uang dan kebijakan diskriminatif dan rasisme, melalui cara mengstigma orang asli Papua sebagai “monyet” atau “gorila”.
Maka orang asli Papua sering dipakai atau diperalat oleh pihak Indonesia, baik pemerintah, perusahan, Gereja, masjid, swasta maupun militer (TNI-Polri) sebagai objek, demi kepentingan politik kekuasaan dan ekonominya. Selesai. (*)
*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua