Oleh: Bernardus Bofitwos Baru, OSA*
Aktor utama kota manusia adalah manusia sendiri, yang nisbi, sementara, berdosa dan yang mudah rapuh, kemana saja menyandang kefanaannya, suka berbohong dan penuh rekayasa dengan berbagai argumentasinya. Sementara aktor utama kota Allah adalah Allah sendiri, yang bersifat kekal, tulus ikhlas, yang miskin dan sederhana.
Kehendak dan ambisi manusialah yang melandasi pendirian kota manusia, sedangkan kehendak dan rancangan Allah (la volontà di Dio) yang melandasi pendirian kota Allah.
Kota manusia dipimpin oleh para pemimpin yang memilih dirinya sendiri dan dipilih oleh kroni-kroni politiknya. Sedangkan kota Allah dipimpin oleh para pemimpin yang dipilih dan diutus oleh Allah secara langsung kedalam dunia.
Para pemimpin kota duniawi menjalankan visi-misinya sendiri dan kroninya. Sedangkan para pemimpin kota Allah menjalankan visi dan misi Allah.
Kepemimpinan para pemimpin kota duniawi cenderung menjalankan pemerintahannya, tanpa menuruti kemauan dan kehendak rakyatnya. Sedangkan pemimpin para pemimpin kota Allah cenderung menjalankan pemerintahannya menurut kemauan dan kehendak Allah, demi kebahagian atau keselamatan rakyatnya atau kebaikan bersama (bonum commune).
Perintah para pemimpin kota duniawi adalah perintah manusia, sedangkan perintah para pemimpin kota Allah adalah perintah Allah. Demikian halnya, otoritas para pemimpin kota duniawi adalah otoritas manusia belaka.
Sedangkan otoritas para pemimpin kota Allah adalah otoritas Allah yang dipercayakan-Nya kepada mereka. Mereka memerintah atas dasar kewenangan yang diberikan oleh Allah, bukan atas dasar kewenangan dirinya sendiri dan kroninya.
Orang-orang yang dijiwai oleh roh kota duniawi lebih dominan dikuasai oleh ambisi persaingan yang saling menjatuhkan, memecah-belah dan menguasai (devide et impera). Sedangkan orang-orang yang dijiwai oleh roh kota Allah, hati, pikiran, dan jiwanya dibimbing dan diarahkan oleh roh kasih persaudaraan, solidaritas, dan persekutuan (communio).
Karena itu, mereka ini selalu berupaya bertobat (bermetanoia), membersihkan hati, pikiran, dan perbuatannya dengan sabda dan kasih kepada Allah dan sesama. Sedangkan orang-orang yang dijiwai oleh roh kota duniawi, cenderung menutup hati dan pikiran dari seruan pertobatan para utusan Allah.
Mereka tidak tertarik kepada sabda dan kebenaran Allah. Mereka lebih tertarik kepada kekuasaan, ambisi epithumia, dan oligarki, daripada solider dengan yang miskin dan tertindas. Mereka tidak membutuhkan pertobatan, pemurnian hati dan pikiran.
Ritual rohani yang dijalaninya sekadar seremonial, rutinitas demi penampilan luarnya agar dilihat orang (mentalitas kaum Farisi dan ahli Taurat). Isi doa-doanya sekadar demi kebutuhan dan kenyamanan dirinya sendiri dan keluarganya.
Ciri-ciri orang-orang yang dijiwai oleh roh kota Allah adalah sederhana, tampil apa adanya, berjiwa solider kepada sesama yang miskin dan menderita, dan berjiwa pengabdian, pengorbanan serta pelayanan (servus servorum Dei).
Hati mereka mudah tergerak oleh belas kasih kepada tetangga yang menderita, miskin dan tak berdaya. Dan pula berupaya memaafkan yang bersalah kepadanya, serta mengambil langkah-langkah nyata untuk rekonsiliasi (berdamai) dengan orang-orang yang berkonflik dengannya.
Sedangkan orang-orang yang dijiwai oleh roh kota duniawi cenderung menutup mata hatinya, terhadap tetangganya yang miskin dan menderita atau tertindas. Mereka bermental individualistis dan egois, serta bersikap masa bodoh terhadap sesama yang kecil, miskin dan tertindas. Hati dan pikirannya dikuasai oleh roh kebencian dan mentalitas rasisme, sehingga dengan mudah memberikan label kepada sesama yang dijumpainya, khususnya yang berbeda dengannya.
Kota manusia dan kota Allah dalam konteks Papua
Berbicara tentang kota manusia, secara harafiah berarti berlandaskan tinjauan sejarah. Kota-kota di Tanah Papua dibangun pada periode yang berbeda-beda.
Periode pertama adalah kota-kota yang dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1940-an. Kota-kota itu seperti: Hollandia (Jayapura sekarang), Merauke, Doom di Sorong, Manokwari, Biak, Fakfak, dan lain-lain.
Periode kedua adalah kota-kota yang dibangun oleh perusahan-perusahaan asing multinasional sekitar tahun 1940-an sampai 1950-an. Misalnya, kota Sorong oleh perusahan petroleum (NGPM) atau Pertaminanya Belanda, kota Timika oleh PT Freeport Mc Moran, dan kota Steenkool (Bintuni) oleh perusahan minyak milik Belanda.
Periode ketiga kota-kota yang didirikan pada masa pemerintahan Indonesia, dibagi ke dalam tiga tahap.
Tahap pertama, ekspansi penduduk melalui program transmigrasi yang didatangkan dari Pulau Jawa (dimulai tahun 1979). Pembukaan wilayah baru bagi transmigrasi ini di Tanah Papua, seperti, wilayah transmigrasi di Arso dan Taja-Lereh di Jayapura-Sentani, wilayah transmigrasi Aimas-Katimin-Katapop di Sorong, wilayah transmigran Prafi di Manokwari, wilayah transmigrasi di Merauke, wilayah transmigrasi Moswaren di Ayamaru, dll.
Tahap kedua adalah kota-kota yang didirikan karena politik pemekaran, misalnya, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Boven Digoel, Sarmi, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Kaimana, Teluk Wondama, Kabupaten Sorong, Maybrat, Tambrauw, Intan Jaya, Puncak Jaya, Jayawijaya, Deiyai, Mamberamo, dan kabupaten lainnya.
Kemudian tahap ketiga adalah pemekaran provinsi dan kabupaten baru, seperti Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Selatan, dan beberapa kabupaten baru.
Apa perbedaan fokus pembangunan kota-kota pada zaman Belanda dengan Indonesia di satu pihak, dan di pihak lain fokus pembangunan kota oleh perusahaan?
Fokus pembangunan kota-kota oleh Belanda adalah memajukan dan menyejahterakan penduduk pribumi atau OAP (orang asli Papua). Karena itu, berbagai kebijakan diarahkan untuk mengembangkan dan memajukan OAP.
Pada zaman Belanda, OAP dijadikan subjek dari berbagai kebijakan pembangunan. Sasaran utama berbagai kebijakannya adalah demi memajukan OAP.
Fokus pembangunan oleh Belanda adalah menjadikan OAP sebagai subjek pembangunan. Hal ini dapat dilihat melalui metode dan strategi pendidikan dan pengajaran. Bahwa OAP dididik dan diajar secara sungguh-sungguh oleh pemerintah Belanda dan para misionarisnya.
Misalnya, didirikan sejumlah sekolah keterampilan dengan berbagai jurusan yang dikhususkan bagi perempuan dan laki-laki Papua. Terbukti bahwa berbagai bangunan berarsitektur tinggi yang masih tersisa adalah hasil karya anak-anak negeri. Visi pembangunan ini terlihat dari pernyataan pendeta I.S. Kijne bahwa, “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan makrifat untuk memimpin bangsa ini, mereka tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (bukit Aitumeri 25 Oktober 1925).
Orang Belanda tidak jijik mendidik OAP, yang pada zaman itu masih “kolot”, “kotor”, dan “bau”. Pemerintah dan para misionaris Belanda memperlakukan OAP sebagai manusia, bukan “monyet” atau “gorila”.
Di mata orang Belanda, baik pemerintah, swasta maupun para misionarisnya, OAP adalah manusia, yang kaya kebijaksanaan dan talenta. Mereka membutuhkan kasih sayang, pendampingan, bimbingan, tuntunan dan pelatihan.
Orang asli Papua atau OAP adalah manusia. Secara peradaban (civilisasi), mereka masih hidup dalam kebudayaan aslinya, yaitu hidup yang bergantung sepenuhnya kepada alam. Orang asli Papua tidak dipandang atau distigma oleh orang Belanda sebagai “monyet” atau “gorila”, sehingga didayai, dikuasai, ditipu dan dimanipulasi demi kepentingannya. Melainkan OAP dipandang sebagai manusia yang segambar atau secitra dengan Allah, yang harus dihormati dan dikaguminya menurut apa yang dimilikinya (menurut keberadaannya).
Sedangkan fokus kebijakan pembangunan yang diarahkan ke Papua oleh Pemerintah Indonesia adalah memprioritaskan pembangunan, demi kesejahteraan para transmigran dan imigran dari berbagai pulau di Indonesia ke Papua untuk mencari kerja dan berbisnis (berdagang).
Dengan perkataan lain, kota-kota yang dibangun oleh pemerintah Indonesia adalah pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan kepada orang Indonesia atau non-OAP. Orang Indonesialah yang dijadikan subjek pembangunan, sedangkan OAP dijadikan objek pembangunan. Bersambung. (*)
*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua