Oleh: Dominggus A. Mampioper*
Sejak tahun 1970-an sampai tahun 2000 jumlah penduduk di Tanah Papua meningkat tiga kali lipat (trippled), dari 700 ribu menjadi 2,5 juta pada tahun 2000.
Michael Rumbiak menjelaskan, dari jumlah 2,5 juta tersebut diperkirakan orang Papua asli hanya mencapai sekitar 1,5 juta orang. Artinya, terjadi penambahan 800 ribu orang Papua asli.
Mengenai program transmigrasi di Tanah Papua, menurut Rumbiak, kedatangan para transmigran justru menimbulkan kepincangan tajam terkait jumlah penduduk asli, terhadap jumlah transmigran atau migran sebagai bagian penghuni.
Program transmigrasi seakan-akan membatasi orang Papua tetap sedikit (minoritas) di tanah leluhurnya.
Kenyataannya orang Papua bertambah sangat lambat dan tidak mengimbangi orang-orang non Papua di daerah transmigrasi. Mereka menjadi minoritas dan tidak mampu bersaing dengan transmigran. Ini dikhawatirkan bisa mengalami stres mental.
Transmigrasi dan migrasi spontan, merupakan program percepatan pertambahan jumlah penduduk non-Papua di Tanah Papua, sehingga cepat melebihi jumlah penduduk asli Papua dalam waktu singkat.
Di kota-kota kabupaten maupun Kota Jayapura, jumlah orang non-Papua melebihi orang Papua asli. Perbandingan jumlah penduduk yang timpang tersebut kelihatan jelas sekali pada pusat-pusat keramaian.
Program transmigrasi, menurut Rumbiak, tanpa sadar telah memiskinkan masyarakat lokal. Masyarakat lokal kehilangan hak-hak adat atas tanah, hutan dengan sumber daya alamnya.
Hak milik tanah menurut klan/suku yang masih kental, menyebabkan klan-klan atau suku-suku melepaskan tanah, untuk program transmigrasi. Mereka tidak bebas memanfaatkan hak ulayat milik klan atau suku lainnya. Lalu mereka itu mau kemana?
Rumbiak mencontohkan kawasan trans Arso, Keerom. Sekitar tahun 1970-an jumlah penduduk asli di sana tidak lebih dari sekitar 1.000 orang, tetapi pada tahun 2000 jumlah penduduk Arso sudah mencapai sekitar 20.000 orang. Berarti ada penambahan sekitar 19.000 orang non-Papua. Serentak orang asli Arso menjadi minoritas dan tersisih.
Perkebunan sawit milik PT Sinar Mas telah mengganggu aktivitas suku Masita Lembah di lembah Juk Kaureh. Mereka sudah membagi lembah Juk sebagai tempat perburuan mereka.
Rotasi perladangan mereka selalu berlangsung dua atau tiga tahun. Suku Masita ini berpindah-pindah ladang ke lokasi lain, sesuai hak-hak adat mereka. Mereka berotasi selama 20 tahun dalam suatu areal perburuan dan perladangan seluas 10.000 – 20.000 hektare.
Walaupun kita tidak berharap masyarakat Papua tinggal, berburu dan berladang dengan berpindah-pindah, yang terpenting di sini adalah pengalihan mata pencaharian sesuai karakter dan kemampuan mereka.
Kalau tidak diperhatikan, maka sudah jelas mereka akan menjadi marginal di atas lahan mereka sendiri. Dan tak berdaya bersaing dengan kaum transmigran.
Depopulasi dapat saja terjadi di daerah seperti ini. Yang jelas, kata Rumbiak, transmigran lebih banyak dan kuat, sehingga mendesak orang asli Arso mundur ke daerah-daerah bukit tandus.
Ketimpangan jumlah penduduk asli Arso dan non-Arso di daerah ini, sudah pasti akan ditemui di daerah lokasi trans lainnya di Tanah Papua.
Rumbiak menyarankan kepada Pemerintah Provinsi Papua, untuk membatasi jumlah KK transmigran yang akan dikirim ke Papua, di samping membatasi areal tanah yang diberikan kepada transmigran, dari ratusan hektare menjadi puluhan hektare.
Program transmigrasi seyogianya dihentikan, karena hanya memberi keuntungan kepada transmigran sendiri, dan penduduk di perkotaan.
Keluarga-keluarga transmigran memperoleh keuntungan dengan mengolah sebidang tanah, yang menghasilkan kebutuhan sosial-ekonomi keluarga, sementara masyarakat pemilik tanah adat, kehilangan tanah dan hutan tempat mereka meramu, berburu dan berladang.
Kenyataannya tidak terjadi transfer pengetahuan maupun teknologi, dari para transmigran kepada penduduk lokal–sebagai substitusi terhadap hak-hak dasar mereka yang hilang.
Kehadiran transmigran hanya menguntungkan penduduk kota, yang selalu mengkonsumsi hasil-hasil pertanian keluarga-keluarga transmigran. Bersambung. (*)
*Penulis adalah editor senior Media Jubi Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
Ayo silahkan merdeka…. kami oap muslim ingin buat negara islam papua…. Kayak di indonesia negara islam indonesia