Oleh: Victor Ruwayari*
Pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak dihelat pada 27 November 2024 di seluruh Indonesia. Proses demi proses tengah dipersiapkan sesuai tahapan yang ditentukan. Sebagai rakyat, kita patut mendukung siapapun yang nanti terpilih.
Pilkada adalah bagian dari demokrasi dan mekanisme politik, untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis. Indikatornya masyarakat demokrasi yang inklusif, dengan partisipasi politik yang terbuka untuk semua kalangan. Termasuk mereka yang termarginal dan minoritas.
Secara teoretis pelaksanaan pilkada adalah sebuah momentum untuk meletakkan fondasi kedaulatan rakyat, sistem politik, dan demokrasi di aras lokal.
Esensi demokrasi pada tingkat lokal didasarkan pada prinsip local choice dan local voice.
Institutional set up-nya adalah, saatnya suara rakyat terartikulasi secara langsung. Dengan berkesempatan memilih sesuai kehendaknya, agar kekuasaan lahir dan terbentuk dari bawah, dengan cara dipilih secara langsung.
Memahami demokrasi pilkada tidak bisa dilihat secara parsial. Perlu keseimbangan antara substansi dan prosedurnya. Karena pilkada tidak sekadar prosesi atau ritual politik. Lebih dari itu, pilkada menjadi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat.
Kaitan antara proses politik pilkada dengan ragam pilihan kebijakan publik (policy choice), terletak pada janji politik atau visi-misi kandidat terpilih, dalam dokumen perencanaan daerah.
Dokumen inilah pada gilirannya menjadi rujukan, untuk menyusun rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya (RPJMD, RKPD, dan APBD).
Dalam banyak kasus terjadi disparitas antara janji politik semasa debat kandidat, dengan realisasi turunan berbagai dokumen daerah. Karena janji politik tersebut memiliki derajat relevansi yang tinggi, dengan produk kebijakan publik di daerah. Jargon yang diusung pasti menawarkan kebaikan dan terasa nikmat untuk didengarkan.
Cita-cita yang dirumuskan dalam visi-misi hendaknya bukan sekadar utopia, tetapi harus realistis. Harus sesuai dengan kemampuan untuk diwujudkan. Dengan demikian, publik merasakan manfaat keterpilihannya sebagai kepala daerah.
Terlepas dari latar belakang kepala daerah– birokrat, pengusaha atau politisi–yang penting memiliki integritas, untuk menepati visi-misinya. Sebab ingkar janji dalam politik bukanlah fenomena khas Indonesia.
Dengan demikian, secara moral janji adalah apa yang seharusnya atau sungguh-sungguh dipegang untuk direalisasikan. Manakala janji diabaikan maka demokrasi mengalami disconnect electoral. Yaitu, adanya keterputusan relasi antara wakil dan rakyat yang diwakilinya.
Demokrasi elektoral membuka peluang bagi setiap warga negara, untuk menjadi pemimpin publik.
Esensi seorang pemimpin adalah kesediaan dan kerelaannya, untuk mewakafkan diri dan jiwanya, dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkannya diperlukan pemimpin yang mumpuni dan berintegritas, sehingga mampu memperbaiki sistem dan budaya secara bersamaan.
Memperbaiki sistem tanpa perbaikan budaya kerja membuat orang bersiasat. Budaya kerja tanpa dukungan sistem yang baik sulit terwujud.
Begitu banyak teori kepemimpinan publik yang bisa dipelajari, tapi yang terpenting adalah konkretisasi atau pelaksanaannya. Konsep yang tersusun dengan baik dan rapi dalam visi-misi, tidak menjamin dapat dilaksanakan tanpa political will.
Sebab kemauan yang kuat akan menemukan banyak jalan. Sebaliknya, ketidakmauan akan mencari berbagai alasan.
Bagi pemimpin suluh kehidupan setiap harapan masyarakat adalah memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu, pemimpin mesti piawai mencari peluang, cerdas membangun daerah, dan jago mengembangkan potensi ekonomi–dengan menerapkan ilmu pembangunan daerah dalam prinsip-prinsip pemasaran secara tepat.
Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang tepat, dilakukan dengan meng-adjust kebijakan pemasaran sektor publik, yaitu: (1) Mampu menjual apa yang menjadi andalan daerahnya; (2) Mampu menjual ide dan programnya, serta strategi membangun daerahnya; dan (3) Mengubah perilaku merugikan ke arah yang menguntungkan masyarakat.
Sebagai bentuk komitmen, konsistensi dan integritas pemenang dalam pilkada, pemimpin menempatkan dirinya sebagai core sistem pemerintahan baru. Dia memiliki sebongkah impian indah, segudang rencana, setumpuk ide cemerlang dan berjibaku dengan perwujudan janji-janji politik–yang akan berubah menjadi kebijakan publik.
Argumentasi ini lahir bukan tanpa alasan. Walau komitmen perubahan hebat gaungnya, perubahan yang terjadi akan berlangsung pada permukaan pranata sosialnya. Bukan kedalaman mental, moral dan perilakunya.
Dengan menyandarkan pada the saliency theory, yaitu kandidat kepala daerah pemenang pilkada, merupakan tulang punggung pemerintahan pascapilkada.
Oleh karena itu, sesudah pilkada ranah politik lokal dengan komando kepala daerah terpilih, lekas bersalin menjadi arena pemerintahan, yang bekerja memasuki semacam black box. Yakni visi-misi dan program.
Termasuk tidak melupakan masalah alokasi dan distribusi sumber daya publik, agar berkonversi ke dalam aksi lapangan–sebagai momen pembuktian segala janji dilunasi.
Sebaliknya, pemimpin yang mengabaikan janji tidak mustahil meruntuhkan kepercayaan publik, terhadap demokrasi elektoral.
Guna menelaah realitas dari janji politik dimaksud, penulis menawarkan, selain memanfaatkan the saliency theory, juga merujuk pada pendapat Klingemann (1999) dalam Fadillah Putra (2005: 177-178) sebagai analisis, untuk melihat kaitan antara janji politik dengan kebijakan publik.
Pertama, model agenda. Model agenda ini digunakan dengan cara menguji efek kemenonjolan berbagai isu, dalam janji-janji politik kandidat, terhadap prioritas alokasi anggaran dan kebijakan pada pemerintahan pascapilkada.
Kedua, model mandat. Alat ini digunakan dengan cara mengamati pengaruh tambahan dari janji-janji politik, terhadap produk kebijakan alokasi anggaran, dan;
Ketiga, model ideologi. Model ini ditempuh dengan melihat relevansi, antara janji politik yang disampaikan kandidat dengan jalinan ideologi, yang diyakini dalam jangka panjang.
Memang dalam praktik antara janji politik dengan kebijakan publik, persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Karena banyak variabel yang menyebabkan kesan garis lurus dari the salience theory dan ketiga model tersebut. Namun, idealnya tidak terlalu jauh menyimpang dari realitasnya.
Melihat kompleksitas permasalahan yang dihadapi, salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan daerah, adalah leadership kepala daerah yang diukur dari tiga hal, yaitu, integritasnya (bebas korupsi, kolusi, nepotisme atau KKN), inovasinya berupa terobosan yang akan dilakukan, serta kemampuan manajerial yang baik, untuk mengelola birokrasi yang berintegritas.
Untuk mencapai posisi tersebut, jadilah pemimpin yang amanah dan terpercaya. Kita tidak menjadi penjual obat di pinggiran jalan, yang mengobral obat tanpa merek. Tunaikan apa yang sudah dijanjikan. Karena itulah jalan untuk memperoleh kemuliaan di masyarakat dan Tuhan. (*)
*Penulis adalah mantan komisioner KPU Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, periode 2014-2024