Oleh: Kristian Ansaka*
Buruknya tata kelola pengelolaan sumber daya alam di Papua telah membuka peluang terjadinya korupsi. Belum hilang dari ingatan Yohanis Masari, Ondoafi atau kepala adat Kampung Bundru, Distrik Yapsi, di Kabupaten Jayapura, Papua, ketika tahun 2013 harus berurusan dengan polisi. Dia ditahan selama seminggu, karena dituduh mengambil dan menjual kayu ke perusahaan.
“Polisi menuduh saya mengambil dan mencuri kayu di hutan dan tanah adat sendiri,” kata Yohanis Masari ketika ditemui penulis pada 24 April 2024 di rumahnya di Kampung Bundru.
Yohanis tidak terima tuduhan polisi bahwa ia mencuri kayu, karena ia mengambilnya di hutan dan tanah adat sendiri, yang dikuasai turun-temurun. Ia juga bebas menjual kayu miliknya kepada siapa saja.
Ondoafi Kampung Bundru ini bisa bebas dari penjara lantaran dibantu sejumlah pengacara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap hak-hak masyarakat adat.
Namun, Yohanis kembali berurusan dengan polisi. Ia dituduh sebagai pelaku pembalakan liar di hutan adat miliknya. Sementara seorang pengusaha pengolahan kayu yang didampingi aparat keamanan menganggap, hutan adat milik masyarakat adat Kampung Bundru sebagai hutan negara.
Yohanis Masari tak berdaya. Ia melaporkan kasusnya ini ke Kepala Distrik Yapsi dan petugas Dinas Kehutanan, tapi semua membisu.
Bunyi mesin gergaji terus menderu di hutan masyarakat adat. Kayu dari hasil penebangan pohon di tanah adat, kemudian diangkut dengan truk ke tempat seorang pengusaha di Waena, Kota Jayapura, Papua.
Yohanis Masari dan pemilik hutan adat di Papua dituduh sebagai pelaku pembalakan liar. Tapi surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 35/PUU-X/2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Negara atas Hak Konstitusional Warga Negara disebutkan, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tapi kenyataannya, sampai sekarang izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Kemen-LHK RI), yang secara khusus diberikan kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat atau kepada ondoafi itu, belum juga ada.
Selain itu, para pengusaha pengelola kayu pun meminta pemerintah provinsi melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menerbitkan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang melegalkan para pengusaha pengelola untuk membeli kayu lokal dari masyarakat adat sebagai pemilik hutan.
Ketika ada pemeriksaan atau operasi yang dilakukan petugas keamanan, maka kayu yang dibeli dari masyarakat adat itu, ditahan karena dianggap kayu ilegal. Dan pengusaha pengelola kayu itu harus berurusan dengan pihak keamanan. Kayu yang ditahan itu membuka peluang terjadinya suap.
Peluang korupsi
Sekitar 11 tahun lalu, tepat tahun 2013, ada 12 kementerian dan lembaga menandatangani nota kesepakatan bersama yang menjadi cikal bakal lahirnya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam atau GNPSDA. Ini fondasi bagi upaya pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam.
Gerakan ini lahir dari kegelisahan atas maraknya kasus korupsi di sektor kehutanan yang melibatkan anggota DPR, kepala daerah, dan pengusaha.
Berdasarkan berbagai kajian tentang sistem pengelolaan sumber daya alam, ditemukan banyak masalah yang membuka peluang terjadinya korupsi. Di antara masalah itu adalah sistem administrasi tata kelola yang “abu-abu” dengan akuntabilitas rendah, regulasi dibangun tanpa definisi dan acuan pelaksanaan yang jelas dan terukur, serta pelaksana regulasi tak memiliki kapasitas dan kapabilitas dan tersandera oleh kepentingan pelaku usaha.
Berdasarkan pengakuan para pengusaha pengelola kayu, bahwa mereka sudah empat kali meminta pemerintah provinsi melalui dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menerbitkan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), yang melegalkan para pengusaha pengelola untuk membeli kayu lokal dari masyarakat adat sebagai pemilik hutan.
Ketika ada pemeriksaan atau operasi yang dilakukan petugas keamanan, maka kayu yang dibeli dari masyarakat adat itu, ditahan karena dianggap kayu ilegal. Dan pengusaha pengelola kayu itu harus berurusan pihak keamanan.
Kayu yang ditahan itu membuka peluang terjadinya suap yang dilakukan pengusaha pengelola kayu dengan pihak keamanan.
Tak hanya itu saja, tapi juga para kepala daerah bekerja sama dengan perusahaan, untuk membuka hutan adat untuk lahan kelapa sawit, tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik hutan, seperti yang terjadi di Grime Nawa, Kabupaten Jayapura, Papua.
Masyarakat adat Grime Nawa, akhirnya mendesak bupati untuk izin lokasi dan izin lingkungan perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri (PNM).
Desakan masyarakat adat Grime Nawa ini, tak digubris. PT PNM tetap membuka lahan di Lembah Grime Nawa. Tapi akhirnya, masyarakat adat terpaksa menghentikan perusahaan itu.
Belajar dari kisah Yohanis Masari, Ondoafi Kampung Bundru yang dituduh mencuri kayu di hutan adatnya, kemudian pengusaha pengelola kayu, maka fungsi pencegahan terjadinya suap, harus dilakukan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Selain itu, perlu membenahi sistem birokrasi dalam penanganan pengelolaan hutan, baik di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, kepolisian, dan perusahaan pengelola kayu, maupun masyarakat adat sebagai pemilik hutan.
Walau pembenahan sistem birokrasi dalam penanganan pengelolaan hutan sudah dilakukan, tetapi belum terintegrasi dan melalui proses yang panjang, dari penataan perizinan, audit kepatuhan pelaku usaha, penyederhanaan dan harmonisasi regulasi, hingga penguatan kelembagaan.
Keterlibatan banyak pihak juga menjadi kunci keberhasilan. Namun, pelaksanaan perbaikan ada di tangan pemerintah.
Walau begitu, tampaknya ada beberapa keterbatasan dalam upaya pencegahan tindak korupsi di sektor kehutanan.
Sering kali upaya pencegahan dalam perbaikan sistem mandek karena persoalan birokrasi. Salah satunya perubahan formasi birokrasi yang sering dilakukan dan sulit diprediksi. Kebanyakan hal ini terjadi karena aspek politik di sistem birokrasi.
Selain itu, komitmen jangka panjang dalam melaksanakan perbaikan yang masih rendah, serta sistem yang sudah dibangun dengan baik, tapi sering tak dijalankan. (*)
*Penulis adalah jurnalis di Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!