Oleh: Bernadina Yamtel*
Investasi kelapa sawit telah menjadi salah satu sektor ekonomi utama di Indonesia, termasuk di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Namun, dampak dari ekspansi industri ini terhadap masyarakat adat, khususnya suku Moi, patut mendapat perhatian serius.
Meningkatnya investasi tersebut berdampak pada situasi sosial, ekonomi, dan lingkungan–tidak terlepas dari kehidupan masyarakat adat Papua, termasuk suku Moi di Sorong.
Salah satu dampak paling signifikan dari investasi kelapa sawit adalah penguasaan tanah, yang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Ekspansi perkebunan kelapa sawit sering kali terjadi tanpa melibatkan Masyarakat Hukum Adat (MHA)–pihak yang terdampak langsung.
Tidak adanya ruang konsultasi yang memadai dengan komunitas lokal, menjadikan MHA tidak banyak mengetahui informasi yang berkaitan dengan hak-hak mereka.
Hal tersebut bertentangan dengan perintah konstitusi. Bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat adat dan prinsip NKRI.
Terdapat ketentuan yang mengharuskan keterlibatan masyarakat adat Papua, dalam perundingan-perundingan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemodal. Sebagaimana UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua–sebagaimana telah diubah UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 21/2001 tentang Otsus.
Ketentuan mengenai keterlibatan masyarakat adat Papua, dalam proses perundingan antara pemerintah dan pemodal disebutkan dalam pasal 42 ayat 3. Dan ayat 2 menyebutkan pemodal harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah maupun pemodal (investor) tetap memberikan informasi kepada masyarakat adat, berkaitan dengan hak-hak dan dampak yang akan ditimbulkan dikemudian hari. Hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC).
Masuknya investasi, terutama perkebunan kelapa sawit memberikan dampak buruk bagi masyarakat hukum adat Moi atau Malamoi. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sebagian besar tanah adat mereka dijadikan perkebunan sawit.
Beberapa perusahaan yang beroperasi di atas lahan masyarakat adat tersebut, di antaranya, PT Henrison Inti Persada (32.546,3 hektare), PT Inti Kebun Sejahtera (38.300 hektare), dan PT Inti Kebun Sawit (37.000 hektare).
Di Kabupaten Sorong sendiri setidaknya terdapat tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebaran tujuh perusahaan sawit tersebut, berpotensi mengalihkan tanah masyarakat adat Moi untuk perkebunan sawit luas mencapai 213.548,30 hektare.
Alih fungsi tanah adat tersebut akan menghilangkan akses mereka terhadap wilayah adat adat, serta merusak mata pencaharian. Yang lebih riskan adalah hubungan tanah, budaya dan spiritual terputus.
Investasi kelapa sawit juga berdampak serius pada lingkungan. Penebangan hutan untuk membuka lahan perkebunan merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Hutan-hutan yang menjadi rumah bagi flora dan fauna endemik, serta sumber kehidupan bagi masyarakat adat Moi mengalami deforestasi. Yang berdampak pada kualitas udara, air, dan tanah.
Perubahan lingkungan ini mempengaruhi kehidupan masyarakat adat, dan mengurangi sumber daya alam mereka.
Hal tersebut dibuktikan dengan peristiwa banjir yang dialami oleh warga kampung Ninjemur, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong. Belum lama ini kampung dan dusun sagu terendam banjir.
Susana Fadan, warga Kampung Ninjemur mengatakan, banjir sebesar itu belum pernah terjadi di kampung mereka. Selain karena penggusuran hutan secara besar-besaran, banjir juga terjadi karena tempat-tempat keramat diusik.
Meskipun investasi kelapa sawit dapat membawa pertumbuhan ekonomi, dampaknya terhadap kesejahteraan sosial masyarakat adat seringkali diabaikan.
Proyek-proyek perkebunan sering kali tidak memberikan manfaat langsung kepada komunitas lokal, seperti lapangan kerja yang adil atau akses ke layanan dasar.
Sebaliknya, masyarakat adat Moi sering kali mengalami penurunan kualitas hidup, dengan terbatasnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Organisasi masyarakat sipil dan masyarakat hukum adat Moi, telah aktif dalam mengadvokasi perlindungan hak-hak mereka. Mereka menuntut pengakuan resmi atas hak atas tanah adat, serta transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan-perusahaan perkebunan.
Berbagai upaya dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak ini, melalui jalur hukum dan negosiasi langsung dengan pihak-pihak terkait.
Untuk mengatasi dampak negatif ini, penting bagi pemerintah dan perusahaan untuk menerapkan praktik-praktik investasi yang lebih berkelanjutan. Dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan adalah langkah krusial, untuk memastikan bahwa kebutuhan dan hak mereka diperhatikan.
Selain itu, harus ada kebijakan yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, untuk membantu memitigasi dampak negatif dari industri kelapa sawit. Pemkab Sorong juga harus konsisten melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!