Opini  

Politik “badut”, kebodohan yang membunuh sepak bola Indonesia 

Indonesia, Badut
Foto Ilustrasi, replika Piala Dunia U-20. - fifa.com

Oleh: Sudjarwo Husain *

Badut adalah ekspresi seni, dengan mempertontonkan hiburan yang menggambarkan pola perilaku kehidupan sosial manusia sehari-hari. Badut tak melulu tentang hal-hal lucu, terkadang juga bertindak bodoh.

Di sejumlah negara, kebodohan diibaratkan dengan perilaku badut. Istilah badut kerap digunakan untuk mengkritisi politisi-politisi yang bertindak seenak perutnya, dan berambisi mencari keuntungan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain.

Seno Gumira Ajidarma, penulis, sastrawan, wartawan dan pekerja teater pernah membuat sebuah tulisan menggelitik tentang politik badut. “Badut politik adalah kekonyolan karena yang membuat orang tertawa adalah kebodohannya. Bukan kebodohan manusia lugu, melainkan kebodohan manusia yang berusaha tampak pintar tapi gagal. Maka tawa yang lahir dari perilaku badut politik ini bukanlah tawa kebahagiaan yang wajib disyukuri,” tulis Seno dalam artikelnya berjudul “Badut Politik, Komoditas Politik” yang dipublikasikan Tempo.co, Selasa, 13 November 2018.

“Tawa bagi perilaku badut politik adalah tawa yang mewakili perasaan tidak enak, seperti yang berlangsung dalam discomfort humor. Bedanya, ini bukan panggung komedi. Ini realitas politik. Dengan demikian, jika dalam konteks panggung komersial penonton dirugikan sekadar karena batal terhibur, dalam kehidupan sosial para badut politik merugikan kemanusiaan karena eksistensi mereka yang mubazir.”

Dalam hal badut politik, lanjutnya, ketika sensasi keterkejutannya memudar, saat itulah ketersadaran kritis melahirkan geleng-geleng kepala, yang memiliki makna dominan seperti berikut: kok bisa? Artinya, perilaku badut politik yang menimbulkan tawa itu untuk sekilas berada di luar nalar orang banyak (yang sudah salah kaprah disebut “akal sehat”)

Kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 adalah imbas dari kebodohan praktik politik badut. Betapa tidak, perhelatan sepak bola dunia itu digagalkan hanya karena keikutsertaan Israel, yang notabene menjadi satu di antara tim yang lolos lewat babak kualifikasi; bukan diundang seperti pertandingan tarkam.

Penolakan terhadap keikutsertaan Israel tidak hanya muncul dari sejumlah ormas, tapi juga dari seorang yang menjabat sebagai gubernur, yang diketahui tengah berambisi untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

Anehnya, penolakan itu baru muncul di sisa waktu yang sangat dekat menuju kick off Piala Dunia U-20. Lucunya lagi, kehadiran delegasi Israel di Indonesia bukan hanya sekali, dan bukan hanya di iven ini. Jelas, orang awam sudah menduga, ini bukan persoalan konsistensi dukungan terhadap Palestina, melainkan ambisi politik yang memanfaatkan momen.

Mungkin saja, dengan mengumbar pesona, mencari sensasi, itu akan memikat simpati dan menaikkan elektabilitasnya. Sayangnya, itu malah jadi bumerang dan berdampak pada nasib sepak bola Indonesia sebagai olahraga terpopuler dan banyak dicintai oleh jutaan manusia di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Penolakan terhadap keikutsertaan Israel dari seorang hingga dua orang gubernur tentu menjadi sebuah lelucon. Ketidaktahuan akan sepak bola yang mengundang tawa. Dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina dan menolak Israel berakibat fatal karena federasi sepak bola internasional (FIFA) langsung merespons dengan tegas.

Drawing atau pengundian grup dibatalkan, lalu berlanjut dengan dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Lucunya, perhelatan akbar itu hanya menyisakan waktu sebulan lebih.

FIFA sangat tegas melindungi sepak bola dari kontaminasi politik. Sebagaimana tertuang dalam Law of the Game FIFA, bahwa dalam pertandingan sepak bola tidak boleh ada pesan-pesan politik, jargon politik, dan provokasi politik, termasuk tidak boleh menyampaikan pesan-pesan politik di kaus pemain maupun dengan cara verbal. Semua sudah diatur dan kalau dilakukan, maka akan ada hukuman yang sangat berat.

“Tolong, mari sekarang kita fokus ke sepak bola! Kita tahu sepak bola tidak hidup dalam lingkungan eksklusif, dan kita semua sadar banyak tantangan dan kesulitan dari situasi politik di seluruh dunia,” demikian pernyataan Presiden FIFA, Gianni Infantino lewat surat yang dikirim kepada negara-negara peserta Piala Dunia Qatar 2022.

Presiden Joko Widodo juga paham adanya risiko yang akan berimbas pada penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia terkait sensitifitas politik. Sebelumnya ia meminta kepada sejumlah pihak agar tidak mencampuradukkan olahraga dengan politik.

“Saya menjamin keikutsertaan Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik kita terhadap Palestina karena dukungan kita terhadap Palestina selaku kokoh dan kuat. Dalam urusan Piala Dunia ini kita sependapat dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati oleh anggotanya. Jadi jangan mencampuradukkan urusan olahraga dengan politik,” kata Jokowi dalam pidato singkatnya.

Sayang, meski sudah mengutus Ketua Umum PSSI, Erick Thohir untuk menemui FIFA di Swiss guna mencari solusi, status Indonesia sebagai tuan rumah sudah dicabut.

Kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak. Netizen ramai-ramai menyerbu akun media sosial Ganjar Pranowo yang dianggap sebagai biangnya. Kesedihan juga terucap dari para pesepak bola Indonesia. Mereka kesal dan kecewa karena mimpi untuk melihat Indonesia tampil di Piala Dunia sirna dalam waktu sekejap.

“Ormas, partai politik, dan tokoh-tokoh lainnya, yang hanya mencari simpati rakyat dengan menolak timnas Israel bertanding di Indonesia dengan dalih keadilan, sangat memalukan. Mati-matian dukung negara lain tapi nasib anak negeri sendiri tidak dipikirkan. Kalian harus bertanggung jawab, karena telah mengubur mimpi insan sepak bola muda sepak bola Indonesia,” tulis pemain Persita Tangerang, Nelson Alom pada postingan Instagramnya, @alom.90, Kamis (30/3/2023).

Sepak bola hanya sekadar olahraga biasa, tapi banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada olahraga ini. Mengacaukan sepak bola dengan politik, tak ubahnya badut bodoh dengan lelucon konyolnya.

“Sepak bola adalah hal terpenting dari hal-hal yang kurang penting dalam hidup,” kata pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi. ()

* Penulis adalah jurnalis Jubi. 

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250