Oleh: Zebedeus G. Mote
Menciptakan Papua tanah damai memang sangat sulit. Papua memiliki beragam problem yang mengancam eksistensinya. Di tengah krisis menciptakan kedamaian di tanah ini, banyak aktivis kemanusiaan pun ditangkap oleh pihak keamanan atau TNI/Polri. Mengapa? Karena para aktivis dianggap mengganggu dinamika hidup pemerintahan Indonesia di Papua. Dan memang ini tanggung jawab negara untuk mengamankan, sekaligus menciptakan suasana yang aman dan damai.
Kebijakan negara dalam mengamankan konflik di Papua masih sangat menyimpang, tidak holistic, dan jauh dari harapan bersama, yaitu menciptakan perdamaian. Jika Indonesia masih mempertahankan cara demikian, maka harapan kita untuk menciptakan perdamaian tentu tidak terwujud.
Cita-cita damai ini tentu untuk memelihara harkat dan martabat manusia sebagai bentuk penghormatan asasi, sebagaimana dikehendaki oleh aktivis kemanusiaan, terlebih untuk mewujudkan impian “pencipta segala-sesuatu”.
Papua tidak aman dan akan ada konflik baru kalau aktivis kemanusiaan itu terus-menerus ditangkap dan dipenjarakan. Maka harapan dan cita-cita luhur bangsa tentu tidak terwujud.
Para aktivis kemanusiaan dianggap mengancam negara karena Indonesia masih “kaku” melihat esensi persoalan Papua secara menyeluruh. Apakah penangkapan solusi menciptakan perdamaian?
Pada bagian ini tentu muncul dua persepsi. Negara mengatakan itu solusi, tetapi bagi orang Papua jawaban atas pertanyaan subjudul di atas ini pasti berbeda.
Bahwa pemenjaraan aktivis kemanusiaan bukanlah solusi. Masyarakat luas menilai, hal semacam ini sangat menjauh dari harapan untuk menciptakan perdamaian.
Para pejuang kemanusiaan adalah mereka yang peduli terhadap nilai-nilai fundamental manusia. Jika pejuang kemanusiaan dianggap pemberontak atau label lainnya, maka akan terjadi krisis nilai kemanusiaan.
Orasi tentang nasib bangsa Papua, dianggap merusak tatanan hidup bangsa Melayu Indonesia. Nilai manusia pun lompat pagar. Nalar keamanan negara mulai “dihantui” sejak lama, seakan dididik untuk memangsa “nilai kebenaran” dunia.
Perang iblis sudah diambil alih oleh manusia. Setan lipat tangan dan duduk di kursi sofa, yang penuh dengan darah dan air mata masyarakat.
Perlu disadari bahwa realitas atas tindakan dunia sudah berubah. Sebenarnya tidak pantas jika penangkapan dan pemenjaraan pejuang kemanusiaan, dijadikan jalan satu-satunya umtuk mencari solusi. Jika ada akal sehat cobalah aparat keamanan Indonesia menyadari hal ini.
Tidak hanya aktivis kemanusiaan, banyak orang Papua yang ditangkap itu berhubungan dengan pelbagai insiden. Namun, alasan penangkapannya sering kurang jelas, apa lagi buktinya.
Alasan penangkapan yang digunakan oleh TNI/Polri adalah ‘person’ itu terlibat atau menjadi pendukung ULMWP atau KNPB. Yang menonjol juga bahwa mereka kemudian diproses hukum dan dijadikan tersangka dengan tuduhan makar (Theo van den Broek, 2020: 122).
Indonesia tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses menyelesaikan masalah. Mengapa? Karena aktivis ditangkap secara paksa. Dalam unsur keterpaksaan, damai berubah menjadi tangisan dan derita mendalam.
Penjara bukanlah solusi damai, tetapi hanya menambah luka. Jika demikian TNI/Polri harus menghentikan penangkapan semena-mena. Letakkan akar permasalahan dengan baik. Bebaskan tahanan kemanusiaan.
Masih adanya tahanan di West Papua merupakan bukti, bahwa Indonesia tidak bisa menyelesaikan beragam masalah di Papua. Pejuang kemanusiaan ditangkap semena-semena “bagai binatang buruan”.
Jika pihak keamanan sebagai antek-antek negara tidak bertindak sebagai manusia yang bermoral, maka kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan tentu terjadi sepanjang masa di Papua, Indonesia dan dunia. Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi penangkapan para aktivis, sebab, itu bukanlah solusi dalam proses menciptakan Papua tanah damai.
Hemat penulis TNI/Polri seakan manusia ‘tidak beragama’ jika menangkap aktivis semena-mena. Tindakan yang ditunjukkan itu bagai ‘teoris’.
Sikap yang mesti diambil adalah sadar dan tahu diri bahwa mereka yang ditangkap adalah manusia beragama, sehingga harus menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban.
Saatnya sadar. Pandanglah sesama manusia Papua sebagai saudara. Negara Indonesia segera hentikan penangkapan semena-mena terhadap aktivis Papua. TNI/Polri harus menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran.
Mengungkapkan persoalan dasar di Papua secara benar, akan memberikan kepuasaan, rasa keadilan dan kebenaran kepada masyarakat. Melalui ini tentu awal yang baik menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya (Tim SKP Jayapura, 2006: 36-37).
Penangkapan atas aktivis kemanusiaan itu terjadi karena ada masalah. Maka negara perlu dialog dengan aktivis HAM, Lembaga Bantuan Kemanusiaan (LBH) dan lembaga lain yang bisa dipercaya, untuk mencari solusi bersama, demi mewujudkan Papua tanah damai.
Jika terus menangkap aktivis, maka kekerasan tetap melahirkan kekerasan baru, dan rakyat sipil tetap menjadi korban di atas korban. Atau korban berjatuhan jika kedua belah pihak tidak sepakat bagaimana menyelesaikan persoalan di Papua.
Sejak Papua diintegrasikan dalam bingkai NKRI 1963, aktivis kemanusiaan maupun rakyat Papua yang ditangkap, dipukuli, dihilangkan nyawanya, divonis makar dan bentuk penganiayaan lainnya, tidak pernah memberikan proses hukum yang adil. Malahan muncul beribu pertanyaan, pukulan dan bentuk penganiayaan lainnya.
Salah satu contoh penangkapan sadis adalah Arnold Clemens Ap.
Selama ditahan, Arnold diinterogasi dengan berbagai macam teknik. Melalui cara ini Kopassandha berharap Arnold mengakui bahwa ia terlibat dalam OPM dan membongkar seluruh jaringan OPM, yang menurut Kopassandha terdiri dari dua kubu.
Kubu pertama yang revolusioner. Mereka berada di hutan yang berjuang dengan senjata, termasuk di antara mereka adalah anggota TNI yang melakukan desersi.
Kubu kedua adalah OPM yang berada di kantor gubernur dan Universitas Cenderawasih (Uncen) atau akademisi lainnya. Arnold dipaksa untuk memberitahukan seluruh jaringan OPM yang kemudian akan diberantas secara diam-diam dengan operasi rahasia (George Junus Aditjondro, 2000: 145).
Proses hukum yang adil pun tentu dalam tekanan militer Indonesia. Di satu sisi pihak keamanan dan intelijen memainkan strategi yang sangat sadis, untuk mengajukan tawaran ‘pertanyaan’ untuk gabung dalam bingkai NKRI. Dalam arti tidak bersuara atas nasib hidup bangsa Papua. Dalam hal ini berbahagialah mereka yang mengabdikan perjuangan suci menuju Papua tanah damai–sebagaimana yang diimpikan oleh manusia Papua dan nenek moyangnya.
Hemat penulis, supaya tidak terjadi hal-hal demikian negara mesti mencari solusi yang jelas, yaitu, duduk-bicara. Aktivis kemanusiaan Papua dan Jakarta harus berdialog untuk mencari solusi secara holistik. Metode yang penulis tawarkan adalah dialog Jakarta-Papua, sebagaimana yang digagas Jaringan Damai Papua (JDP). Para pejabat tertinggi negara dan aktivis kemanusiaan harus duduk bicara.
Metode dan langkah-langkahnya adalah pakai rumusan dialog perspektif Papua dan Jakarta. Sebelum duduk-bicara, kedua pihak tidak perlu saling mencurigai, karena itu akan memperlambat dialog Jakarta-Papua. (*)
Penulis adalah anggota Kebadabi Voices Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Papua