Oleh: Helmi*
Presiden Jokowi dalam keterangan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 11 Januari 2023, mengakui 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Sikap tersebut diambil setelah pemerintah mendapatkan rekomendasi dari Tim Non-Yudisial Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Tempo.co, Jumat, 13 Januari 2023).
Apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tersebut dapat dinilai dari dua sisi. Di satu sisi, bagi negara, hal tersebut dapat dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral atas nasib para korban, yang selama ini mengalami kebuntuan.
Namun, di sisi lain, para korban tentu beranggapan bahwa peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang telah terjadi “tidak cukup” dan “tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum dan mengadili para pelaku”.
Penuntasan kasus secara nonyudisial tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meski mekanisme nonyudisial dapat juga dilakukan melalui rekonsiliasi, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM, yang dikhawatirkan tidak dapat menjamin hak korban pelanggaran HAM berat.
Pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan Keppres Nomor 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-Yudisial, sejak awal dicurigai hendak menghilangkan proses yudisial dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu maupun kasus-kasus pelanggaran HAM berat sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sehingga menimbulkan kesan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, “ada korban, tapi tidak ada pelaku yang diadili di pengadilan melalui pengadilan HAM”.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dalam konteks Papua, seharusnya berlandaskan pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, yang secara jelas menyebutkan “……..Pemerintah membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Provinsi Papua”.
Hal tersebut adalah sebuah keniscayaan dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM, mengingat sejauh ini, pemerintah belum membentuk pengadilan HAM dan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Provinsi Papua, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Kasus Wasior (2001) dan kasus Wamena (2003) adalah dua kasus yang masuk dalam daftar urutan ke-12 kasus pelanggaran HAM berat, yang diakui negara dan disebutkan oleh Presiden Joko Widodo, dalam pernyataan terkait laporan hasil rekomendasi tim PP HAM nonyudisial.
Kasus Wasior maupun kasus Wamena adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah ada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh karena itu, sudah seharusnya negara mendorong penuntasan kasus tersebut melalui mekanisme yudisial.
Mengadili pelaku pelanggaran HAM berat secara hukum sesuai standar HAM internasional melalui Pengadilan HAM Ad hoc sesuai UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan mereformasi sistem penegakan hukum yang berorientasi HAM, adalah sikap yang sudah seharusnya dilakukan oleh negara untuk memberi kepastian hukum, dalam rangka pemenuhan hak korban. Dengan demikian, tidak terjadi lagi pelanggaran HAM berat di masa mendatang yang pelakunya tidak tersentuh hukum.
Sudah selayaknya negara memberi penjelasan tentang kerangka penyelesaian pelanggaran HAM berat secara komprehensif. Dan menegaskan bahwa rehabilitasi yang akan dilakukan tidak menggantikan bentuk penyelesaian lainnya, terutama penyelesaian melalui jalur hukum atau yudisial, agar praktik impunitas dapat diakhiri dan dapat meminimalisir kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa mendatang. (*)
* Penulis adalah advokat pada Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP)
Editor: Timoteus Marten