Oleh: Helmi*
Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey kepada Jubi, Sabtu (15/1/2023) menyatakan pihaknya masih menelaah dan melakukan pengecekan silang atas temuan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua terkait kasus penembakan warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, pada 14 Desember 2022. Koalisi Penegak Hukum dan HAM telah membuat pengaduan di Komnas HAM yang didasarkan dari hasil investigasi koalisi yang dilakukan sejak 17 Desember 2022 sampai 20 Desember 2022.
Dalam peristiwa 14 Desember 2022, terdapat sembilan warga sipil yang terdiri dari beberapa pelajar (anak) dan tiga orang dewasa yang ditembak. Salah satu korban, Moses Nakes Erro (32) meninggal dunia saat menjalani perawatan di RSUD Mappi, 17 Desember 2022.
Sebelumnya Perwira Penghubung Polda Papua untuk Provinsi Papua Selatan, Kombes Erick K. Sully menyebut, sejumlah anggota polisi telah diperiksa, karena diduga terkait kejadian tertembaknya delapan warga asal Distrik Minyamur, di Distrik Keppi, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Diakuinya, ada total 12 amunisi yang dikeluarkan polisi saat kejadian 14 Desember 2022
“Pemeriksaan anggota, mereka (polisi) yang menjadi korban masih diambil keterangannya, termasuk senjata yang mereka bawa dan amunisinya. Jadi ada 4 peluru hampa, 4 peluru karet dan 4 peluru tajam yang dikeluarkan saat kejadian,” ujarnya kepada Kompas, Sabtu (17/12/2022).
Kasus penggunaan senjata api maupun kekerasan yang melibatkan oknum-oknum TNI/Polri dan mengakibatkan korban warga sipil di Mappi, bukan hal baru pertama kali terjadi. Akan tetapi, kasus seperti itu telah berulang kali tanpa proses penyelesaian hukum yang tuntas. Hal tersebut tentu menyisakan dua persoalan, yaitu merugikan kepentingan korban dan pelakunya tak tersentuh hukum.
Sayang sekali bila Komnas HAM tidak mendekat ke metode investigasi khas Mark Fell, pimpinan FBI yang menginvestigasi kasus skandal Watergate tahun 1970-an di Amerika. Cara Felt menangani investigasi ini justru “mengurung” Richard Nixon. Felt selalu berbagi informasi yang menuntun dua jurnalis legendaris surat kabar Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein membongkar skandal Watergate.
Berbekal informasi dari Mark Felt, Bob Wodward dan Carl Bernstein aktif memberitakan skandal Watergate. Cara itu mengakibatkan semua informasi menjadi terbuka. Nixon, akhirnya kehilangan amunisi politiknya untuk terus bersembunyi dan menyangkal dari kasus keterlibatan Gedung Putih dalam skandal Watergate itu.
Fakta tersaji dari hari ke hari. Terang benderang dan kredibel. Itu menjadi amunisi Komisi Yudisial Kongres AS, yang mulai memprakarsai pemakzulan kepada Richard Nixon. Mereka terus memberi dukungan pada Archibal Cox, jaksa independen dari Harvard Law Departmen, yang menyelidiki kasus itu.
Semakin hari semakin eksplosif. Nixon bereaksi aneh, mendesak Jaksa Agungnya memberhentikan Archibal Cox. Cox terlempar, diganti Leon Jeworsky. Menariknya Leon terus menemukan fakta mematikan. Dan Nixon tak berkutik.
Nixon harus mundur dari kepresidenannya. Fakta yang diperoleh dari kombinasi manis antara Felt, dengan Archibal Cox dan Leon Jeworsky, serta Bob Wodward dan Carl Benstein, dua jurnalis legendaris itu, mengurung Nixon. Canggih cara kerja mereka.
Mungkinkah Komnas HAM mengambil sedikit saja metode Felt? Sekadar sebagai cara meredam disinformasi, apa yang menyulitkan Komnas HAM untuk turun melakukan investigasi? Maukah Komnas HAM terbuka soal fakta dalam kasus Mappi yang terjadi pada 14 Desember 2022? Kalau tidak mau, maka Komnas HAM mau kemana?
Komnas HAM tidak memiliki kemampuan menghentikan munculnya pertanyaan atas seluruh aspek dalam kasus ini. Komnas HAM harus tahu itu. (*)
*Penulis adalah advokat pada Aliansi Demokrasi untuk Papua