Oleh: Thomas Ch Syufi
Siang itu, pukul 12.20 waktu Papua, langit Port Numbay (Jayapura) begitu cerah. Tak ada awan yang menggantung di langit. Sepoi berembus dari Samudra Pasifik. Menyisir berbagai sisi rumah dan pepohonan, serta memberikan kesejukan dan kedamaian bagi ribuan pelayat di halaman rumah mendiang Filep Karma.
Di tengah suasana ibadah pelepasan jenazah mantan tahanan politik Papua itu dari keluarga Karma-Noriwari kepada masyarakat Papua, terdengar pekikan dan nyanyian lagu khas masyarakat Pegunungan Tengah Papua. Bergantian dari arah bukit dan jalan raya menuju ke rumah duka.
Sekitar dua menit kemudian suara itu mendekati pintu pagar rumah sederhana milik tokoh pejuang Papua merdeka itu. Terlihat sekitar 15 orang masuk lewat koridor utama pelataran rumah, yang sudah disediakan dua tenda dan dipenuhi pelayat.
Mereka terdiri atas ibu-ibu dan bapak-bapak paruh baya, anak muda, laki-laki dan perempuan. Sebagian berpakain biasa, separuh lagi berpakaian noken bermotif Bintang Kejora. Di barisan terdepan adalah seorang pemuda 20-an tahun, sembari berorasi.
Di tengah ibadah yang dipimpin oleh pendeta dari Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua itu, mereka menyampaikan aspirasi dan tangisannya, dengan membawa krans bunga jambul ukuran sekitar 2×1,5 meter.
Lalu juru bicara itu menyebut bahwa mereka adalah perwakilan dari ribuan pengungsi Nduga di “Hutan Ndugama”. Mereka berbelasungkawa atas kepergian pemimpin mereka, Filep Karma–tokoh kharismatik yang dihormati atas konsistentensinya memperjuangkan Papua merdeka.
”Bapak Filep Karma milik bangsa Papua, Bapak Filep Karma pemimpin kami bangsa Papua, dia bukan milik keluarga Karma, tetapi Bapak Karma milik semua orang Papua. Dia sudah menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak dasar orang kecil, tertindas, yang ada di balik gunung, di pengungsian, di lembah, pesisir, dan pulau,” ujar sang orator, disambut tangisan hiateris dari keluarga dan massa pendukung Filep.
Dia mengatakan, Filep Karma mungkin satu-satunya pemersatu bangsa Papua yang dihormati dan dicintai oleh rakyat Papua. Karma melihat permasalahan orang Papua secara komprehensif. Karma adalah simbol pemimpin yang bisa mempersatukan orang Papua, dan peduli terhadap kepentingan orang Papua, status politik Papua, serta nasib ribuan pengungsi di Nduga, yang sudah hampir 4 tahun hidup merana dan mati di hutan belantara, akibat konflik TPNPB/OPM dengan TNI/Polri.
Mereka menangis dan menengadah ke langit, memohon pertolongan Tuhan untuk Filep Karma. Sekaligus memapah mereka yang terhuyung-huyung, mengusap air mata dan melihat penderitaan mereka sebagai pengungsi di Nduga.
Filep Karma dapat membuktikan kesetiaannya pada nilai kemanusiaan dan kebebasan, melalui keaktifannya dalam setiap aksi damai rakyat Papua, terhadap berbagai kebijakan pemerintah Indonesia–yang cenderung menggerus nilai dan martabat kemanusiaan orang Papua. Juga operasi militer yang berujung pada kekerasan dan pengungsian masif di Nduga, Intan Jaya, Kiwirok (Pegunungan Bintang), dan Maybrat (Papua Barat), yang mencapai sekitar 60 ribu sampai 100 ribu orang pada Desember 2018, dan belum kembali rumahnya (Kompas, 3 Maret 2022).
Setelah ibadah pelepasan dan penghormatan terakhir secara organisatoris oleh sejumlah faksi perjuangan kemerdekaan Papua, sekitar pukul 2 siang WP, jenazah Filep diarak ke tempat pemakaman di kawasan Ekspo-Waena, Kota Jayapura, hingga dimakamkan sekitar pukul 9 malam.
Dalam perjalanan, massa terus bertambah. Ribuan orang memenuhi jalan raya. Mulai dari pelajar/mahasiswa, hingga orang dewasa ikut berpartisipasi. Ada yang hanya berjejer di tepi jalan, menghamburkan bunga dan memberikan penghormatan kepada aktivis pro-kemerdekaan Papua, yang ditemukan meninggal dengan berpakaian selam scuba di bibir Pantai Base-G, Jayapura, Papua, 1 November 2022 itu.
Suasana ini mirip tiga puluhan tahun lalu, ketika ribuan orang menyambut pemimpin antipolitik apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela (1918-2013) saat bebas setelah 27 tahun dipenjara (1962-1990) atas vonis Pengadilan Rivonia. Pukul 3 sore, waktu Cape Town pada 11 Februari 1990, empat ribuan orang memadati tepi jalan di Cape Town.
Penyambutan Mandela dipimpin oleh mantan istri Mandela, Winnie Madikizela (1936-2018). Jadi, penghormatan rakyat Afrika Selatan terhadap Nelson Mandela dan penghormatan rakyat Papua kepada Filep Karma menjadi peristiwa penting dalam sejarah yang terus dikenang. Sekaligus sebagai bukti kesabaran mereka dalam memperjuangkan keadilan dan persamaan hak.
Konsistensi
Pujian dan penghormatan terhadap Filep Karma datang dari berbagai kalangan di Papua, Indonesia, bahkan dunia. Filep memang sosok yang rendah hati. Padahal dia adalah salah satu anak dari keluarga terpandang di Papua. Bapaknya, Andreas Karma, pernah menjabat Wakil Bupati Jayapura (1967-1971), Bupati Jayawijaya (1972-1982), dan Bupati Yapen/Serui (1982-1991). Andreas Karma dengan cemerlang menorehkan gagasan dan sikap mentalnya dalam kanvas sejarah kemanusiaan di Papua.
Filep Karma sebagai aktivis pro-kemerdekaan Papua sudah teruji dari sisi iman dan intelektualitas. Dengan iman, ia menyatakan segala sesuatu berlandaskan pada cinta kasih dengan kerendahan hati. Filep juga seorang intelektual andal, karena ia telah mengatakan kebenaran kepada kekuasaan.
Tanpa beban dan kepentingan apa pun, ia berani menentang sistem kolonialisme, diskriminasi, dan rasialisme Indonesia yang terus menghimpit dan mencengkram orang Papua. Sistem yang saban hari tidak memihak dan justru menjerumuskan orang Papua jatuh ke dalam kubangan atau lembah kekerasan yang berulang kali, sejak Papua diambil alih secara de facto oleh Indonesia pada 1 Mei 1963 dan diperkuat dengan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang penuh rekayasa dan manipulatif.
Dari pengalaman historis sebagai anak keluarga elite yang tumbuh dalam realitas ketidakadilan yang merajalela di Papua, Filep harus angkat bicara. Filep belajar dari ketidakadilan negara Indonesia. Ia mengkampanyekan kemerdekaan Papua. Ia tidak mewarisi jejak ayahnya untuk meniti karier dalam dunia politik praktis atau birokrasi Indonesia. Ia berani menanggalkan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada pemerintah daerah Provinsi Papua yang dirintisnya sejak tahun 1987, untuk terjun dalam gerakan politik kemerdekaan Papua tahun 1998.
Sarjana politik jebolan Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (UNS), yang sempat memperoleh beasiswa dan melanjutkan kuliah di Asian Institute of Management Manila, Filipina ini, ikut turun jalan untuk menuntut reformasi dan mendesak pengunduran diri Presiden Soeharto. Di sela-sela gerakan reformasi, Filep Karma menyerukan kemerdekaan tanah airnya, Papua, sekaligus berpartisipasi dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di Pulau Biak, 6 Juli 1998.
Salah satu penyintas tragedi Biak Berdarah ini kemudian ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, tetapi dibebaskan karena tahapan banding pada November 1999, setelah 10 bulan meringkuk dalam penjara. Namun, pada 2004, Filep kembali mendapat vonis hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan yang sama, ia mengibarkan bendera Bintang Kejora di Abepura, Jayapura, Papua, 1 Desember 2004, bersama Yusak Pakage yang divonis 10 tahun penjara.
Penahanan terhadap Filep Karma dan Yusak Pakage cukup menyedot perhatian berbagai pihak, terutama Human Rights Watch (HRW) dan Amnesti Internasional (AI). Dua lembaga HAM internasional itu memrotes penangkapan dua aktivis pro-kemerdekaan Papua atas kebebasan mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai. Hingga AI menetapkan mereka sebagai tahanan hati nurani atau tahanan keyakinan (prisoners of conscience) dan HRW menyebut mereka tahanan politik dan menuntut pembebasan mereka secepat mungkin.
Atas penahanan sewenang-wenang terhadap Filep yang mengekspresikan pandangan politiknya secara damai pada tahun 2004 tersebut, ibu Filep, Eklefina Noriwari (84), pada 2011 mengajukan petisi kepada Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (atau menggugat ke UN) atas penahanan sewenang-wenang agar Filep dibebaskan. Selanjutnya, pada 29 Juli 2008, sebanyak 40 anggota Kongres Amerika Serikat mengirim surat kepada pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Isinya meminta Karma dan Pakage.
Atas tekanan berbagai pihak, termasuk masyarakat internasional atas penahanan keduanya, Yusak dibebaskan pada 2010 dan Filep Karma dibebaskan tahun 2015–meski ia berkali-kali menyatakan tidak siap keluar dari penjara atau menolak grasi Presiden Jokowi. Bersambung. (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR)