Oleh: Pares L. Wenda
Dalam perspektif resolusi konflik dengan kajian utama pada kekerasan struktural, dalam hubungannya dengan pemekaran provinsi baru, seperti kata Johan Galtung, pada abad 18 orang sakit TBC meninggal dunia karena keterbatasan fasilitas kesehatan masih bisa dimaklumi. Ini tidak termasuk dalam kategori kekerasan.
Kini dengan fasilitasi yang serba canggih, banyak penemuan obat TBC, tetapi penderita tidak bisa dilayani dan ditelantarkan, maka di situ ada unsur kekerasan dalam perspektif kekuasaan dan kekerasan struktural.
Kajian utama Johan Galtung adalah kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Saya memfokuskan tulisan ini pada kekerasan struktural dengan aktor utama negara dan perangkatnya yang memaksakan pemekaran.
Pemekaran tiga provinsi di Papua yang didorong pemerintah pusat melalui hak inisiatif DPR diduga sebagai bentuk kekerasan struktural, karena negara mengabaikan penolakan mayoritas rakyat Papua. Negara mengabaikan suara rakyat lalu menggunakan kekuasaan sebagai alat legitimasi untuk melakukan pemekaran.
Oleh karena itu, penulis membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian utama, yaitu, analisis masalah, strategi penyelesaian dan pembelajaran sebagai satu penyelesaian konflik di dunia.
Analisis
Kekerasan adalah setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural atau spiritual, juga perilaku, sikap, kebijakan atau kondisi yang melemahkan, mendominasi atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain (Galtung, 1971). Kekerasan struktural adalah kekerasan tidak langsung (bukan berasal dari orang tertentu), tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu.
Pertanyaannya, apakah di Papua terjadi konflik struktural dalam proses mendorong pemekaran provinsi? Mari kita eksplor melalui riset LIPI (2009).
Riset LIPI mengungkapkan empat akar masalah yang bersumber dari kekerasan struktural, yaitu sejarah dan status politik Papua yang belum selesai secara tuntas dalam perspektif Jakarta dan Papua, pelanggaran HAM, marginalisasi OAP (orang asli Papua), dan kegagalan pembangunan.
Diduga kuat bahwa tidak ada satu pun empat akar masalah itu yang berhasil diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah, karena tidak ada satu bukti resolusi konflik yang dihasilkan pemerintah.
Indikator pembangunan Papua dalam perbandingan nasional dari sisi Human Development Index (HDI) dalam tiga tahun terakhir Papua dan Papua Barat masih rendah. Data statistik perbandingan dua provinsi ini per 2019 sampai 2021 memperlihatkan angka HDI sebagai berikut; Papua Barat pada tahun 2019 mencapai 64,70, tahun 2020 mencapai 65,09 dan tahun 2021 mencapai 65,26, sedangkan di Papua mencapai 60,84 pada tahun 2019, mencapai 60,44 tahun 2020 dan 60,62 pada tahun 2021.
Malah dalam tiga tahun di atas HDI Provinsi Papua justru turun dibandingkan data 2009 (64,50), 2010 (64,90), dan 2011 (65,40). Ini di era otonomi khusus (otsus), maka benarlah riset LIPI (2009) bahwa HDI sebelum Otsus Jilid I jauh lebih baik daripada sesudah otsus berjalan 9 tahun (sejak Otsus jilid I ditetapkan tahun 2001).
Indikator kegagalan pembangunan paling menonjol adalah perkembangan dunia wirausaha. Banyak pengusaha asli Papua kurang mendapat perhatian pemerintah, baik dalam proyek berskala nasional, maupun lokal.
Dalam pengelolaan dunia usaha yang murni juga tidak banyak OAP yang mengelolanya. Kebanyakan OAP menjadi konsumen. Masih banyak sumber kekayaan alam di Papua yang tidak dikelola dengan baik.
Selain potensi natural recourses yang tidak dikelola dengan baik, juga local wisdoms yang dimiliki setiap daerah pun tidak dilirik, untuk diberdayakan sebagai ajang promosi wisata daerah dan aset yang mendatangkan nilai PAD (pendapatan asli daerah). Dalam konteks ini dikelola juga, tetapi ketidakseriusan, dan kontinuitas yang belum dilakukan oleh pendamping (pemerintah) dan tidak ada kerja sama pemerintah dan pihak ketiga untuk menggarap potensi daerah, baik itu local wisdoms maupun natural resources. Kalaupun ada yang mengelola adalah mereka yang mempunyai factory dan modal besar, dan itu siapa? Mereka adalah teman-teman non-Papua.
Ini yang terjadi di Blok Wabu di Intan Jaya, Freeport di Timika, dan bisnis multinasional yang beroperasi di Papua. Dalam small business dan large business sudah menjadi kekerasan struktural. Apalagi dengan hadirnya tiga provinsi baru akan memproduksi structural violence baru.
Jika pemerintah tetap memaksakan pemekaran dengan segala legalitas dan konsekuensi politiknya, maka rakyat Papua juga tidak bisa tinggal diam. Rakyat Papua harus mengambil kendali pembangunan daerah, agar tidak terjadi pelanggaran HAM, marginalisasi dan kegagalan pembangunan di kemudian hari.
Fakta tidak bisa kita hindari bahwa pengalaman dengan Provinsi Papua ditambah Papua Barat telah menunjukkan kekerasan struktural tetap ada. Apalagi dengan ditambah tiga provinsi baru. Minimal meminimalisir kekerasan strukturalnya, dengan regulasi-regulasi dari turunan UU No. 2/2021 dapat memposisikan OAP sebagai tuan rumah dari pemekaran-pemekaran itu, sambil tetap mendorong penyelesaian masalah Papua secara inklusif, mengikat, dan permanen.
Marginalisasi di siang bolong juga diperlihatkan dalam dokumen hasil pemilihan legislatif 2019, yang menunjukkan sebagian parlemen (provinsi dan kabupaten/kota) dikuasai non-OAP. Misalnya di DPRD Kota Jayapura dari 40 kursi terdapat 27 non-OAP dan 14 OAP. Dari 13 kursi OAP, orang Port Numbay 6 kursi dan 7 lainnya OAP dari daerah lain.
Ini menunjukkan bahwa marginalisasi nyata di depan mata. Ini kekerasan institusional, struktural dan kebijakan yang mendominasi.
Di lain sisi kasus pelanggaran HAM dan distorsi sejarah belum tersentuh. Tuntutan PBB dan rakyat Papua minta pelapor khusus masuk Papua juga tidak diizinkan oleh pemerintah.
Lalu bagaimana kekerasan struktural bisa terjadi? Novri Susan dalam Pengantar Sosiologi Konflik (2009) yang dikutip Cahya Dicky Pratama membagikan beberapa kekerasan, salah satunya kekerasan struktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang diciptakan oleh suatu sistem yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (Kompas.com, 25/11/2020).
Johan Galtung dalam Mufti Makarim membagi kekerasan struktural ke dalam tiga bagian; kekerasan langsung (antara pelaku-korban), kekerasan struktural (yang bersumber dari struktur sosial [antar orang, masyarakat, kumpulan masyarakat (aliansi, daerah)]), dan [di balik keduanya] kekerasan kultural (simbolis dalam agama, ideologi, bahasa, seni, pengetahuan, hukum, media, pendidikan; gunanya melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural).
Kekerasan kultural dan kekerasan struktural menyebabkan kekerasan langsung. Kekerasan langsung juga menguatkan/memperburuk kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Kekerasan langsung berupa fisik/verbal tampil sebagai perilaku yang tidak berubah, karena akarnya adalah struktur dan budaya.
Dari ketiga akar kekerasan ini, kekerasan struktural dan kekerasan kultural menghasilkan kekerasan langsung. Ketiganya tidak terpisahkan karena konsep yang satu mempengaruhi dua lainnya, atau dua mempengaruhi satu.
Ketiga konsep kekerasan ini sama-sama terjadi di Papua. Kekerasan langsung akibat dari kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Konteks kekerasan struktural ini paling menonjol di Papua.
Galtung menjelaskan, kekerasan struktural terjadi karena kebutuhan untuk hidup terancam, kebutuhan atas kesejahteraan tidak terpenuhi, kebutuhan atas identitas terancam, kebutuhan akan kebebasan tidak terpenuhi secara maksimal. Supaya tidak terjadi konflik setidaknya harus terjadi resolusi konflik bagi para pihak, dengan pendekatan nonlitigasi atau litigasi. Ini berdampak pada proses ending-nya, karena pendekatan litigasi dan nonlitigasi pasti berbeda.
Resolusi konfliknya selalu dengan pendekatan nonlitigasi. Penyelesaian nonlitigasi ini banyak juga yang berhasil, salah satunya konflik antara pemerintah Meksiko dengan pemberontak Zapatista.
Kekerasan struktural selalu terjadi di Papua dan tidak ada resolusi konflik antara pemerintah dengan perwakilan rakyat Papua. Setiap pihak terus mempertahankan posisi sementara konflik struktural terus terjadi.
Dewasa ini sangat mungkin terjadi resolusi konflik Papua untuk perdamaian dibanding dengan resolusi 2504 tetapi tidak melibatkan OAP. Resolusi itu terjadi antara Indonesia, Belanda, Amerika dan PBB.
Hingga hari ini Pepera 1969 dan Resolusi 2504 ibarat buah simalakama, karena keputusan politik saat itu dalam konteks resolusi konflik terjadi kekerasan verbal. Konstruksi berpikir yang dibangun adalah orang Papua bodoh, tidak mengerti, dan mereka tidak bisa ikut dalam berbagai perundingan dalam upaya memasukkan Papua dalam Indonesia. Tidak ada satu pun orang Papua yang hadir sebagai wakil pemerintah.
Kini resolusi konflik sangat mungkin terjadi, karena Papua memiliki ULMWP/Government Interim. Jakarta (negara) tentu siap menghadapi ULMWP, karena Jakarta sudah mempunyai pengalaman menyelesaikan konflik di Aceh dan Timor Leste.
Perlu resolusi konflik baru Jakarta-Papua dengan melibatkan Belanda, Amerika dan PBB sebagai pihak ketiga yang membuat Resolusi 2504 dan Pepera 1969.
Dari dua dokumen sajarah ini (Resolusi 2504 dan Pepera 1969) LIPI (2009) menemukan hasil hasil yang dicapai pemerintah selama lebih dari 50 tahun, yaitu, distorsi sejarah dan status politik Papua yang belum tuntas, pelanggaran HAM, marginalisasi, dan kegagalan pembangunan.
Semua ini telah menghasilkan kekerasan struktural. Artinya dua dokumen itu telah membuat Papua hingga hari ini bergejolak.
Pemerintahan Indonesia dan generasi saat ini mewarisi kesalahan sejarah founding fathers bangsa Indonesia. Karena itu, perlu resolusi konflik baru dengan rakyat Papua dalam kerangka penghargaan atas kemanusiaan, bukan atas nama NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati. (*)
Penulis adalah pemerhati sosial-politik Papua dan Members at Large Baptist World Alliance Youth Department
Discussion about this post