Oleh: Siorus Degei
Posisi Gereja Papua (DGP) menurut Pater Neles Tebai dan Pater Bernard Baru, OSA, dalam sebuah kesempatan Pastor Neles Kebadabi Tebai, mantan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) mengutarakan pandangannya terkait posisi Gereja di antara dualisme ekstrem NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati, yakni bahwa “Yesus sendiri punya pilihan sangat jelas. Ia berpihak pada kaum papa, orang miskin, tertindas, dan sakit. Yesus tidak berada pada posisi netral. Sebab, posisi netral itu posisi abu-abu. Karena itu, Gereja harus berpihak pada orang miskin dan tertindas seperti Yesus”.
Kira-kira demikian konsep Pater Neles Tebai terkait posisi ideal Gereja, yakni memainkan peran kenabian dan sikap kemartiran Kristus (the passion of Christ). Bukan Gereja yang melulu menampilkan andil “Judaz Iskariot”, “Para Ahli Taurat” dan “Kaum Farisi”. Dan hal ini dihayati dan dihidupi oleh mendiang Pater Neles Tebai sampai akhir hayatnya.
Berikut konsep peran Gereja menurut Pastor Bernardus Bofiwots Baru OSA, Tokoh Rohaniawan Agustinian Katolik Papua dan Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Agustinus (OSA), Sorong-Papua Barat. Dalam dua tulisan mutakhirnya, yaitu Jangan Jadi Judas Iskariot, Gereja Harus Tunjukkan Peran Dialogis Untuk Solusi Bermartabat Atas Konflik Bersenjata di Papua (Sinarkeadilan.com, 22/9/2022), dan Kritikan Johann Baptist Metz atas peran Gereja dan upaya mengakhiri kekerasan kemanusiaan di Tanah Papua (1/2-2/2), (Jubi.co.id, 21/9/2022).
Rupanya pandangan mendiang Pater Neles Tebai disegarkan dan dipertegas kembali oleh Pater Bernard Baru perihal disposisi yang ideal bagi Gereja dan yang notabenenya setarikan napas dengan misi keselamatan Yesus Kristus (Missio Dei).
Pater Baru menegaskan bahwa sudah bukan jamannya lagi Gereja melulu memainkan Judaz Iskariot, sudah saatnya Gereja menampilkan dan memainkan peran dialogis untuk solusi bermartabat atas konflik Jakarta-Papua.
Pada tulisan keduanya, Pater Baru meminjam pemikiran otokritik dari seorang teolog Jerman, profesor emeritus dari teologi dasar di Wilhelms University of Münster, yakni Johann Baptist Metz (5 August 1928 – 2 December 2019). Dia dianggap sebagai pendiri baru teologi politik pada 1970-an dan 1980-an dan merupakan salah satu teolog Jerman paling berpengaruh pasca-Konsili Vatikan II.
Kurang lebih Metz melalui pemikiran-pemikiran teologis mau mengajak agar Gereja sebagai institusi dan umat Allah mau bersolidaritas dengan realitas penindasan, penderitaan dan penjajahan yang sedang dialami oleh umat Allah di mana Gereja itu berada dengan mencari solusi penyelesaian dan perdamaian yang bermartabat.
Sekarang coba kita korelasikan, relevansikan dan kontekstualkan pandangan eklesiologis kontraktual dari Pater Neles Tebai dan Pater Bernard Baru di atas dalam hiruk-pikuk konflik intelektual DGP (Pdt. Dr. Benny Giyai, Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman dan lainnya) versus KPK, Mahfud MD, Kepala BIN, Mendagri, PDIP dan lainnya.
Pertama, apakah Lukas Enembe, Eltinus Omaleng, Ricky Ham Pagawak, dan elite korup, kolusif dan nepotis lainnya adalah manifestasi konkret dari wajah Gereja Papua yang papa, miskin, tertindas dan sakit?
Yang jelas mereka tidak papa, miskin, tertindas dan sakit, baik secara fisik maupun metafisik, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Bahwa sudah sangat jelas Lukas Enembe, Eltinus Omaleng, Ricky Ham Pagawak, dan lainnya adalah manifestasi konkret dari wajah kebobrokan elite politik yang berdansa riang di atas puing-puing tulang-belulang rakyat papa, tersingkir, dan sakit yang sejatinya di Papua.
Bahwa Lukas Enembe, Eltinus Omaleng, Ricky Ham Pagawak, dan elite korup, kolusif dan nepotis lainnya adalah simbolisme konkrit dari ketamakan mamon dan uang ala Otsus dan DOB di Papua yang sudah dimeteraikan dengan darah, air mata dan nyawa kaum periferi dan diaspora di Papua.
Kedua, apakah dengan menjadi juru selamat, pahlawan, perisai, tameng dan topeng atas Lukas Enembe, Eltinus Omaleng, Ricky Ham Pagawak, dan lainnya yang ditunjukkan oleh DGP adalah manifestasi konkret dan konsekuensi logis dari Gereja yang vokal, royal, frontal, total, dan loyal menampilkan dan memainkan peran dialogis,
Rekonsiliator, dan reformator etis fidei sebagaimana konsep Pater Bernard Baru atas pemikiran Johann Baptist Metz? Yang jelas adalah bahwa apa yang sudah, tengah dan (mungkin akan terus, jika tidak ada khilaf dan insaf, rekonsiliasi) ditampilkan oleh DGP (Pdt. Dr. Benny Giyai, Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman dan lainnya) tidak lebih dari peran “neo-Judaz Iskariot”, “neo-kaum farisi” dan “neo-para ahli taurat”.
Jokowi (NKRI) berburu harta karun di West Papua: Inti masalahnya
Sebenarnya penulis tidak begitu tertarik untuk membahas dan mengupas panjang lebar seperti ini terkait kasus Lukas Enembe dan peran ganda DGP di dalamnya. Hal ihwal yang mendorong penulisan ini adalah adanya sebuah keprihatinan sebab hampir semua aktor intelektual, aktif HAM dan kemanusiaan di Papua semacam berbondong-bondong masuk dalam jebakan cipta kondisi NKRI demi suksesnya misi eksploitasi sumber daya alam di Papua guna melunasi utang luar negeri yang berkisar 7.163,12 triliun.
Perlu ada sensibilitas dan sensitivitas dalam satu semangat kolegialitas dan kolektivitas untuk memahami strategi pengalihan isu dan penggiringan opini publik di Papua. Bahwa kepentingan NKRI di West Papua lebih besar nilainya daripada nyawa orang Papua.
Kemungkinan besar KPK punya data tentang penggunaan divestasi saham 10% dari hasil pembagian saham Rio Tinto di Freeport, yang mana itu diperuntukkan kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika sejak tahun 2018.
Kita mesti ingat bahwa demi untuk mengamankan sahamnya Kasus sebanter papa minta saham bisa ditutup dengan “kopi mirna” (2015). Penulis hendak mengajak DGP, dan semua orang Papua baik yang pro-kontra Lukas Enembe. Malah penulis sangat tidak peduli dengan gap-gap seperti ini sebab senada dengan Pdt. Dr Benny Giyai bahwa “orang Papua mau jadi gubernur kah, bupati kah, DPR kah, titel muka depan belakang kah, PNS, TNI-Polri kah, Tapi harus sadar bahwa kita orang Papua Ini, ibarat bergaya di dalam penjara”.
Bahwa kita semua harus sadar juga bahwa dalam hari-hari ini ada dua keberhasilan Jokowi di Papua.
Pertama, berhasil luncurkan jaringan 5G. Ini berarti tenaga manusia, yakni 800-an karyawan yang di-PHK itu sudah pasti kehilangan pekerjaan.
Kedua, berhasil ambil alih pembangunan smelter di Freeport dari Rio Tinto ke Inalum. Keberhasilan ini dibayar dengan harga: Pertama, mutilasi di Timika; Kedua, penganiayaan di Merauke; Ketiga, Penangkapan Eltinus Omaleng; Keempat, penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi.
Lantas apa yang mesti dibuat?
Pertama, percayakan kasus Lukas Enembe pada KPK. Di samping menjamin kesehatannya. Jangan terlalu memposisikan kasus ini sebagai inti persoalan Papua. Sampai-sampai ada adagium “jika LE ditangkap, Papua merdeka”. Ini sangat mengerdilkan kesucian substansi persoalan West Papua.
Kedua, gugat nasib 800-an karyawan yang di-PHK kepada Jokowi, Eric Thohir, Bahlil Lahadalia, dan semua pencuri liar dan buas di seantero teritori West Papua.
Ketiga, tolak kunjungan Jokowi, Erick Thohir, JWW, Bahlil Lahadalia, dan semua tamu tak diundang dan atau pencuri dari Jakarta. Seraya, jangan Jual-beli tanah, kembali ke Honai dan Lahan Ulayat.
Keempat, dan yang terakhir tolak semua bentuk pembangunan jalan raya, pelabuhan, bandara, tiang listrik, jaringan telkomsel dan sarana-prasarana penunjang eksploitasi sumber daya alam lainnya di Papua. (*)
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua